Mediaumat.id – Isu mundurnya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson karena berbagai skandal di pemerintahannya, dinilai Pengamat Politik Islam dan Militer Dr. Riyan, M.Ag. sebagai dilema yang ditimbulkan dari penerapan sistem sekularisme.
“Kita harus memahami bahwa pemerintahan di Inggris dan Barat lainnya, tegak atas asas sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan karena Abad Kegelapan (Dark Age) di Eropa karena penindasan rezim teokrasi Katolik. Dalam prakteknya, asas ini melahirkan demokrasi di bidang pemerintahan dan kapitalisme di bidang ekonomi. Standar dalam sistem seperti ini adalah sikap pragmatis, mengutamakan kepentingan dan manfaat secara material dan individual. Dan senantiasa menimbulkan dilema dan kontradiksi dalam berbagai perilaku, termasuk para politisinya,” ungkapnya kepada Mediaumat.id, Jumat (8/7/2022).
Menurutnya, dilema ini di antaranya, dalam kasus Inggris, satu sisi mereka berbicara tentang perlindungan masyarakat terhadap kejahatan seksual, tetapi di sisi lain mereka terlibat dalam praktik pelecehan seksual. “Kasus mundurnya Chris Pincher terkait pelecehan terhadap dua pria, mundurnya Imran Ahmad Khan karena pelecehan seksual ke anak laki-laki 15 tahun, Neil Parish dalam kasus menonton video porno dan lain-lain,” ujarnya.
Dalam kasus Indonesia, kata Riyan, di satu sisi mengklaim partai rakyat kecil (wong cilik), tapi di sisi lain membuat kebijakan yang pro kepada segelintir cukong pemodal oligarki (wong licik). “Indonesia pun saat ini sama. Yang menjadi asas dalam berpemerintahan adalah sekularisme,” tuturnya.
Dua Faktor
Maka, menurutnya, semua yang terjadi baik kasus Inggris dan Indonesia disebabkan dua faktor. Pertama, tidak adanya faktor kompetensi dari sisi kesadaran akan rasa malu bila melakukan penyimpangan, baik terkait pelanggaran prokes pandemi, kebohongan, korupsi dan kejahatan lain. “Bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan hanya melahirkan tanggung jawab sosial ke rakyat, tetapi pada saat yang sama juga ada tanggung jawab di hadapan Sang Pencipta, Allah SWT,” bebernya.
Kedua, faktor lingkungan yang sekuleristik, sangat berpengaruh dalam mendorong perilaku yang menyimpang tadi. “Jadi, jangan kaget, kalau pun sekarang para partai penguasa melakukan penyimpangan, nanti partai oposisi kalau berkuasa pun, akan berpotensi sama. Dalam kasus Indonesia, partai penguasa juga melahirkan koruptor, tetapi ketika tidak berkuasa sangat nyaring ke partai penguasa saat itu,” jelasnya.
Parah
Riyan menilai, mental rezim saat ini sudah sangat parah. Mereka sudah kehilangan kepekaan dan hati nurani dalam melayani masyarakat yang memberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengeluarkan kebijakan.
“Rakyat diperlakukan sebagai objek yang sifatnya kapitalistik. Misal, dalam contoh pembelian BBM pertalite dan solar yang sekarang menggunakan aplikasi MyPertamina yang terkoneksi dengan aplikasi LinkAja. Selain ribet dan menyulitkan, ternyata menjadi celah pengerukan dana masyarakat melalui isi ulang (top up) e-money di LinkAja. Belum lagi pemerintah terus mengeluh bila mensubsidi rakyat, tapi tidak pernah mengeluh kalau mengutang luar negeri berbasis bunga,” ungkapnya.
“Juga, ketika bicara tentang mahalnya minyak goreng dan antrean rakyat untuk mendapatkannya, di saat kita adalah produsen terbesar minyak kelapa sawit yang menjadi bahan dasar minyak goreng, karena usaha sawit dikuasai segelintir konglomerat,” tambahnya.
Menurutnya, faktor yang semakin memperparah mental para pejabat publik ini karena ada dalam cengkraman sistem sekuler kapitalistik yang mendorong terus kepada mereka untuk memperlakukan rakyat bukan dengan paradigma mengurus dan melayani, tapi paradigma bisnis seperti penjual dan pembeli.
“Sehingga kalau ada pengumuman mundur atau reshuffle kabinet, sesungguhnya itu hanya sekadar menunda waktu bagi penyimpangan berikutnya. Sekadar sirkulasi elite, bahkan sirkus kekuasaan semata. Sedangkan sistem sekulernya tetap dipertahankan,” katanya.
Bahaya
Riyan mengatakan, bahayanya mental semacam ini jika terus berkuasa. Ia mengutip Imam Al-Ghazali yang mengatakan rusaknya masyarakat karena rusaknya (perilaku) penguasa.
“Maka bahaya yang pasti dan langsung terasa adalah mental eksploitatif materialis ini akan menyengsarakan masyarakat dan menebar kerusakan (fasad) di semua aspek kehidupan baik ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, politik luar negeri,” ujarnya
“Selain itu pada hakikatnya, para penguasa zalim itu sedang merusak dirinya sendiri dengan perilaku menyimpang mereka,” imbuhnya.
Menurutnya, ini akan membuat kehidupan tidak berkah di dunia dan akhirat. Karena perilaku politik yang sekuleristik ini, para penguasa zalim ini akan sulit membawa dirinya apalagi masyarakat ke keberkahan dunia dan surga di akhirat. “Rasul SAW menyatakan, bahwa penguasa yang korup, maka dia tidak akan mencium harumnya surga. Mencium harumnya surga saja tidak, apalagi memasukinya,” tegasnya.
Oleh sebab itu, kata Riyan, maka yang dibutuhkan saat ini bukanlah sekadar mundur orang, apakah perdana menteri atau presiden atau menteri. Tapi yang diperlukan adalah perubahan sistem dan perubahan individu.
“Islam memandang sistem yang baik adalah sistem yang berasal dari Allah SWT yakni sistem Islam secara total (kaffah) dalam naungan khilafah. Individu pemimpin yang baik, yaitu mereka yang hanya mau tunduk kepada aturan Allah SWT,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it