PKI, CIA dan Freeport

(Kutipan Buku Solusi Indonesia)

@rozyArkom, Analis Politik APR
*
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1909-1977), seorang pemikir politik Islam, dalam kitab at Takatul al Hizbiy, mensyaratkan kemampuan tubsir maa wara’ aljidar (menelisik apa yang ada dibalik dinding atau tabir), bagi seseorang yang ingin mendalami sebuah peristiwa politik.

Mari kaitkan kemampuan tersebut dengan isu yang sedang hangat yakni isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Benarkah komunisme akan bangkit kembali dan menggusur hegemoni kapitalisme-liberal di negeri ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita awali dengan menelisik peristiwa sejarah yang terjadi di negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS). Tahun 1996, Probe Magazine, sebuah majalah berita prestisius yang terbit di New York, memuat artikel investigasi yang ditulis Lisa A Pease berjudul John F Kennedy, Indonesia, Central Intelligence Agency (CIA) and Freeport. Tulisan ini tersimpan rapih di National Archive, Washington DC. Ulasan Pease ini juga disadur dalam bahasa Indonesia oleh Majalah Kontan (Grup Kompas Gramedia).

Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis tentang sejarah panjang perebutan kekuasaan di Indonesia. Dan, manuver konspirasi Barat, dalam hal Ini AS melalui CIA serta perusahaan multinasional, untuk ‘menguasai’ Indonesia.

Yang menjadi sorotan Pease adalah sejarah sepak terjang perusahaan kapitalis raksasa Freeport, Caltex, dan Texaco yang berkolaborasi dengan Pemerintah AS, CIA dan (oknum) pejabat Indonesia dalam rangka mengendalikan politik dan ekonomi Indonesia.

Pease memulai tulisannya dengan mengulas tentang raksasa pertambangan AS, Freeport. Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba pada 1959. Saat itu Fidel Castro (1926-2016) berhasil mengudeta rezim diktator Fulgensio Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasi. Freeport yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbas. Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company Jan Van Gruisen. Dalam pertemuan itu, Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Erstberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy tahun 1936.

Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada Wilson perihal temuan Jean Dozy bahwa tanah Papua, selain memiliki keindahan alam, juga menyimpan kekayaan yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lain di seluruh dunia, kandungan biji tembaga yang ada di sekujur Gunung Erstberg terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.

Dengan bantuan pemandu lokal, Wilson menghabiskan beberapa bulan di antara penduduk asli dengan budaya hampir zaman batu, melewati tempat-tempat yang sulit pada perjalanannya menuju Erstberg. Wilson mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata dipenuhi bijih emas dan perak. Ia menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.

Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gunung Emas (Gold Mountain), bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan Freeport akan untung besar dan kembali modal dalam waktu tiga tahun. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerja sama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.

Namun lagi-lagi Freeport mengalami kenyataan hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik terjadi di Irian Barat. Hubungan Indonesia dan Belanda memanas, dan Soekarno mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.

Bantuan Presiden AS kala itu, John F Kennedy dalam melakukan mediasi perundingan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat menjadi pukulan bagi dewan direksi Freeport Sulphur. Freeport telah menjalin hubungan baik dengan Belanda yang telah mengizinkan misi eksplorasi awal ke Papua atau Irian Barat. Pada proses negosiasi, Freeport meloby PBB, tapi PBB mengatakan bahwa Freeport harus membahas rencana mereka dengan pejabat Indonesia. Ketika Freeport mendatangi Kedubes RI di Washington, mereka tak mendapatkan jawaban positif.

Forbes Wilson pun meradang,
“Tidak lama setelah Indonesia memperoleh kuasa atas Nugini/Irian Barat pada 1963, Presiden Soekarno yang telah mengonsolidasi kekuasaan eksekutif melakukan serangkaian gerakan yang akan mengecilkan hati bahkan investor Barat yang paling berminat sekali pun. Ia menasionalisasi hampir semua penanaman modal asing di Indonesia. Ia memerintahkan badan-badan AS, termasuk US Agency for International Development untuk hengkang. Ia menjalin hubungan yang sangat erat dengan Partai Komunis yang dikenal sebagai PKI.” (The Conquest of Copper Mountain, 1981).

Tahun 1962 merupakan tahun yang sulit bagi Freeport. Freeport diserang karena masalah penimbunan barang. Freeport masih terguncang karena fasilitas produksi mereka dinasionalisasi di Kuba. Dan sekarang mereka duduk, memandang potensi kekayaan di Indonesia. Dengan Kennedy memberikan dukungan diam-diam kepada Soekarno, harapan mereka kelabu.

Presiden Kennedy meningkatkan paket bantuan kepada Indonesia dengan menawarkan USD11 juta. Selain itu, ia merencanakan kunjungan pribadi ke Jakarta pada awal 1964. Sementara Kennedy mencoba menyokong Soekarno, kekuatan-kekuatan lain berusaha melawan upaya ini. Ketidaksenangan politikus di Senat meningkat atas bantuan kepada Indonesia sementara Partai Komunis di Indonesia tetap kuat. Kennedy berkeras. Ia menyetujui paket bantuan khusus pada 19 November 1963. Tiga hari kemudian, Soekarno kehilangan sekutu terbaiknya di Barat. Kennedy tewas tertembak secara misterius.

Tadinya Wilson ingin meminta bantuan Presiden Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, Kennedy malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.

Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Erstberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.

Dampak dari sikap Belanda mundur dari Irian Barat mengakibatkan perjanjian kerja sama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar USD11 juta dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan.

Segalanya berubah 180 derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum kapitalis global yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di AS.

Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson dalam kampanye pemilihan presiden 1964 adalah Augustus C Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.

Long telah lama menjadi Dirut di Texas Company (Texaco). Pada 1964, ia dan sekelompok konservatif lain, umumnya mogul bisnis Republikan bergabung untuk menyokong Johnson menghadapi Goldwater. Kelompok ini yang menyebut dirinya Komite Independen Nasional untuk Johnson (National Independent Committee for Johnson), terdiri dari orang-orang seperti Thomas Lamont, Edgar Kaiser dari Kaiser Aluminum, Robert Lehman dari Lehman Brothers, Thomas Cabot dari Cabot Corporation of Boston, dan tokoh-tokoh dunia usaha lain.

Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60% labanya diserahkan kepada Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan ini.

Augustus C Long amat marah terhadap Soekarno dan menginginkan orang ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.

Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara 1964-1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa paling krusial?

Pease mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira angkatan darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.

Jabatan sebagai penasehat intelijen luar negeri kepresidenan membuat Long bisa menyetujui atau mengusulkan kegiatan operasi rahasia. Pada 30 September 1965, kegiatan rahasia mengunci nasib Soekarno.

Soekarno bukannya tidak tahu, setelah kematian Kennedy, ia membaca gelagat tidak baik dari Barat,
“Saya memperoleh informasi bahwa CIA menggunakan Badan Pendukung Soekarnoisme untuk membunuh Soekarnoisme dan Soekarno.” (New York Times, 24/2/65)

Hal ini masuk akal. Dengan terancamnya kepentingan AS, semua bantuan asing dihentikan, tidak ada daya tawar ke IMF atau Bank Dunia, serta August Long pada Badan Penasehat Intelijen Luar Negeri AS, kejatuhan Soekarno hanya soal waktu, dan tidak akan lama lagi.

Operasi penggulingan Soekarno dimulai dari peristiwa kudeta atau kontra-kudeta yang dikenal sebagai G30S/PKI. Kelompok misterius yang menyebut diri Gerakan 30 September menguasai Jakarta. Letkol Untung yang mengumumkan lewat radio bahwa ia pimpinan gerakan tersebut, mengatakan kelompok tersebut telah merebut kendali atas pemerintahan untuk mencegah kudeta “kontra-revolusi” oleh dewan jenderal. (New York Times, 2-3/10/65)

Dalam suatu gerakan yang aneh dan kacau, sekelompok pimpinan militer muda membunuh sekelompok pimpinan yang lebih senior yang menurut mereka akan melaksanakan kudeta terhadap Soekarno dengan bantuan CIA. Namun apa yang terjadi setelahnya membawa Indonesia pada salah satu mimpi buruk paling berdarah yang pernah disaksikan dunia. Yang aslinya kontra-kudeta ini kemudian dicap sebagai kudeta dan dicat merah seterang mungkin. Kemudian, dengan dalih kemarahan karena kekuasaan Soekarno terancam, Nasution bergabung dengan Jenderal Soeharto untuk menumpas “para pemberontak”.

Yang semula melindungi kekuasaan Soekarno, berakhir dengan pencopotan kekuasaan Soekarno sepenuhnya. Akibatnya cukup mengerikan untuk dijelaskan dalam beberapa patah kata. Jumlah korban beragam, namun konsensus menyebutkan angkanya antara 200.000-500.000 terbunuh pra, saat dan pasca “kontra-kudeta” ini.

Majalah Time memberikan gambaran mengenai apa yang terjadi,
“Berdasarkan cerita yang dibawa ke luar Indonesia oleh diplomat Barat dan pelancong independen, komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai dalam jumlah ribuan. Unit-unit AD di pedalaman dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah interogasi di penjara-penjara terpencil. Bersenjata pedang berdaun lebar yang disebut parang, gerombolan rakyat malam-malam masuk ke rumah orang-orang komunis, membunuh semua anggota keluarga dan mengubur mayatnya di kuburan yang dangkal.” (Time, edisi Nopember 1965)

Pembantaian ini, saking banyaknya sehingga pembuangan mayat menjadi masalah sanitasi berat di Jawa Timur dan Sumatera Utara, dimana udara yang lembap membawa bau busuk daging. Pelancong dari daerah tersebut menceritakan parit yang penuh dengan mayat, transportasi sungai di beberapa tempat terhambat. Di kemudian hari, sejarah secara ringkas menggambarkan kejadian tersebut seperti ini, “Kudeta Komunis yang gagal yang membawa pada pengambil alihan antikomunis oleh militer di bawah pimpinan Jenderal Soeharto.” (The Concise Columbia Encyclopedia, 1989)

Namun kebenarannya jauh lebih kompleks. Indikasi yang meyakinkan dapat dibaca pada bagian di bawah ini yang dikutip dari artikel yang luar biasa karya Peter Dale Scott diterbitkan dalam jurnal Inggris Lobster (Musim Gugur, 1990). Scott mengutip dari seorang penulis, dimana ia mengutipnya dari seorang peneliti yang setelah diberi akses ke file Departemen Luar Negeri AS di Pakistan menemukan surat dari mantan Dubes AS, Walter P. McConaughy, yang melaporkan percakapan dengan agen intelijen Belanda. Menurut peneliti tersebut,

“Indonesia akan jatuh ke pangkuan Barat seperti apel busuk. Badan-badan intelijen Barat katanya akan mengatur suatu “kudeta komunis yang prematur (yang akan) gagal, sehingga memberikan kesempatan yang sah dan dinantikan AD untuk menumpas kaum komunis dan menjadikan Soekarno sebagai tawanan atas niat baik AD.” (Laporan Dubes AS, 4 Desember 1964)

Selanjutnya dalam artikel ini, Scott mengutip dari buku The CIA File,
“Setahu saya,” kata salah seorang mantan agen intelijen saat peristiwa itu terjadi “adalah bahwa CIA menurunkan beberapa orang pilihannya dan kegiatan sukses mencapai sasarannya dan sangat menguntungkan, sejauh menyangkut kepentingan kami.”

Ralph McGehee, veteran CIA selama 25 tahun, juga menyiratkan CIA dalam sebuah artikel, yang sampai sekarang masih disensor sebagian oleh CIA, diterbitkan dalam The Nation (11 April 1981),
“Untuk menyembunyikan perannya dalam pembantaian orang-orang yang tidak bersalah, CIA pada 1968 meramu cerita palsu mengenai apa yang terjadi (diterbitkan kemudian oleh CIA dalam sebuah buku, Indonesia-1965: Kudeta yang Makan Tuan (Indonesia-1965: The Coup That Backfire). Buku ini merupakan satu-satunya buku politik Indonesia yang diterbitkan CIA kepada umum. Saat menulis buku tersebut, CIA juga menulis kajian rahasia mengenai apa yang sebenarnya terjadi (satu kalimat dihapus). CIA sangat bangga dengan keberhasilan (satu kata dihapus) dan menyarankannya sebagai contoh untuk operasi (setengah kalimat dihilangkan).”

Operasi CIA pada peristiwa G30S/PKI sedikit banyak berkaitan dengan Freeport. Menurut Forbes Wilson, Freeport sebenarnya sudah tidak berharap dapat mengembangkan harta temuannya di Irian barat. Namun sementara pers di luar AS masih meraba-raba informasi yang simpang siur tentang siapa yang sebenarnya berkuasa, Freeport tampaknya memiliki jalur dalam. Dalam esai yang disebutkan sebelumnya, Scott mengutip kawat (delegasi AS di PBB) yang menyatakan bahwa Freeport Sulphur telah mencapai “pengaturan” pendahuluan dengan para pejabat Indonesia mengenai Erstberg pada April 1965 sebelum ada pernyataan resmi yang memberikan harapan.

Secara resmi, Freeport tidak punya rencana demikian sampai peristiwa Oktober 1965. Namun, berita resmi ini tampak ganjil bagi Wilson. Pada awal November, hanya satu bulan setelah peristiwa Oktober, Dirut Freeport yang sudah lama menjabat, Langbourne Williams mendatangi Direktur Wilson di rumahnya, menanyakan apakah sudah waktunya untuk memulai proyek di Irian Barat. Reaksi Wilson menarik. Ia melukiskannya dalam bukunya,
“Saya sangat kaget sehingga tidak tahu harus bicara apa. Bagaimana Williams bisa tahu begitu cepat bahwa rezim baru akan berkuasa? Soekarno masih presiden, dan secara resmi akan tetap presiden sampai 1967. Hanya orang dalam yang mengetahui dari awal bahwa Soekarno menghitung hari dan kekuatannya sudah lemah.”

Wilson menjelaskan bahwa Williams memperoleh “informasi pribadi yang membesarkan hati” dari “dua eksekutif Texaco”.

Perusahaan Long, Caltex dan Texaco berhasil menjalin hubungan yang erat dengan pejabat tinggi pada rezim Soekarno, Julius Tahija. Tahija yang menjembatani pertemuan antara Freeport dan Ibnu Sutowo, Menteri Pertambangan dan Perminyakan kala itu. Majalah Fortune menulis tentang Sutowo sebagai berikut (Juli 1973).
“Sebagai Direktur Utama Pertamina (BUMN migas), Letnan Jenderal Ibnu Sutowo menerima gaji bulanan hanya USD 250, namun ia hidup layaknya seorang pangeran. Ia bergerak di Jakarta dengan Rolls-Royce Silver Cloud milik pribadinya. Ia membangun perumahan keluarga yang terdiri dari beberapa rumah besar, sedemikian luasnya hingga para tamu pada pesta pernikahan putrinya hanya dapat mengikuti upacara pernikahan melalui CCTV.”

Dengan banyaknya bukti bahwa CIA terlibat dalam operasi ini, sama mungkinnya Sutowo bertindak sebagai penghubung untuk dana CIA. Setelah Soekarno jatuh dari kursi kepresidenan, Sutowo menyusun persetujuan baru yang mengizinkan perusahaan minyak mendapatkan persentase keuntungan yang lebih besar. Dalam artikel berjudul Oil and Nationalism Mix Beautifully in Indonesia (Juli 1973), Fortune menyebut kesepakatan pasca-Soekarno “luar biasa menguntungkan bagi perusahaan minyak”.

Sebab itulah, ketika UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draft-nya dirancang di Jenewa, Swiss yang didiktekan Rockefeller disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto adalah Freeport. Dengan tidak adanya Kennedy, Soekarno dan tata kelola yang jujur dan berkeadilan, Freeport mulai beroperasi. Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, diobral, dirampok dan dibawa kabur ke negara-negara kapitalis liberal.

Itulah sebabnya, siapapun yang akan menjadi presiden Indonesia, jika memang berniat mengubah rangkaian ironi yang terjadi sejak 1967 ini tak akan pernah mampu mengubah hegemoni raksasa kapitalis, termasuk merenegosiasi kontrak Freeport. Jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani menganggu hegemoni perusahaan kapitalis dunia, maka sebagaimana Soekarno, akan tragis nasibnya.

Kisah PKI, CIA dan Freeport merupakan salah satu dari banyak kisah sedih tentang konspirasi dan hegemoni penjajah di negeri ini. Dengan penuh intrik, Indonesia tercinta ini oleh para penguasanya dibiarkan untuk dikuasai dan dirampok para imperialis-kapitalis asing demi memperkaya diri dan kelompoknya sendiri.

Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai sekarang dan akan terus berlangsung di masa depan hingga rakyat tersadar akan bobroknya pemerintah dan sistem pemerintahan kapitalis yang saat ini diterapkan. Selanjutnya, secara sadar berjuang menumbangkan penguasa jahat nan korup, kemudian menggantinya dengan penguasa jujur yang menerapkan sistem adil dan mensejahterakan, yakni sistem Islam. [fr]

Share artikel ini: