PKAD Sindir KSAD: Apa yang Ditakutkan dari Islam?

 PKAD Sindir KSAD: Apa yang Ditakutkan dari Islam?

Mediaumat.id- Pernyataan kontroversi Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman perihal kalimat ‘jangan terlalu dalam mempelajari agama’, mendapat sorotan dari berbagai kalangan termasuk Pengamat Politik dan Media dari Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Hanif Kristianto.

“Pejabat publik yang di situ sebagai seorang Muslim tentunya, kenapa dia harus takut dengan keislamannya? Apa yang ditakutkan dari keislamannya? Apa yang ditakutkan dari Islam?” ujarnya dalam Kabar Petang: Narasi KASAD Dudung Offside? di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (08/12/2021).

Seperti diketahui, pernyataan tersebut terlontar saat Dudung memberikan kultum usai salat Subuh bersama prajurit Kodam XVIII/Cenderawasih, sebagaimana ditayangkan di akun YouTube Dispenad dan seperti dikutip dari situs resmi TNI AD (6/12).

Meski sudah ada klarifikasi dari Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad), namun kegaduhan di tengah masyarakat tidak bisa terhindarkan. “Kalaupun ada klarifikasi, misalnya tadi ada tambahan harus ada ustaz, itu sudah menjadi bahan perbincangan, kemudian dimaknai apa adanya oleh publik,” tutur Hanif.

“(Pun) tidak ada kalimat penjelas berikutnya. Ini yang juga menimbulkan makna-makna ganda, kalau kita berbicara dari sisi kalimat yang diucapkan,” sambung Hanif.

Tak hanya itu, pernyataan kontroversi lain seperti dilansir dari laman resmi Kostrad pada 13/9, Dudung yang ketika itu masih menjabat Pangkostrad juga meminta para prajuritnya untuk tidak fanatik berlebihan dalam beragama karena semua agama itu benar di mata Tuhan. “Kalau semua agama itu sama, kenapa kok ada orang pindah agama?” timpal Hanif mempertanyakan.

Sebetulnya, ucapan semua agama benar atau sama itu menurut Hanif, otomatis tertolak. Sebab terdapat perbedaan terkait sebutan Tuhan dari masing-masing agama. Bahkan ada agama yang mengakui memiliki banyak Tuhan.

Sama halnya dengan fenomena penurunan baliho dari FPI yang waktu itu menurut Hanif, sangat memukul hati umat Islam. “Ketika terjadi peristiwa itu, ada peristiwa pembanding yakni ketika KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata Papua) yang dengan nyata-nyata yang minta ditangkap, kemudian mengangkat senjata. (Namun) bagi personil TNI maupun kepolisian itu masih dianggap saudara,” sesalnya.

Meski hal itu tergolong pendekatan humanis karena memang sorotan dari lembaga hak asasi manusia (HAM), namun mengapa juga proses penurunan baliho tersebut menggunakan parade kendaraan militer berikut senjata lengkap. Perlakuan yang menurut Hanif amat kontras ketimbang KKB Papua atau pun terhadap seseorang yang baru diduga terlibat terorisme.

Dari persoalan-persoalan tersebut, akhirnya masyarakat hanya akan fokus kepada hal-hal kecil yang justru menurut Hanif berpotensi makin memecah belah. “(Sementara) sumber daya alam kita ini dikuasai oleh asing kita diam, sementara antar ormas bentrok kita juga diam. Kita lebih ngurusi perkataan satu orang,” tambahnya.

Akidah

Oleh karena itu, bagi para penguasa yang juga sebagai Muslim, agar senantiasa meyakini akidah Islam, yang kata Hanif, bukan berarti mereka belum beriman, tetapi sebagai tolok ukur dalam sebuah kepemimpinan.

Kemudian, bekerja sesuai tupoksinya masing-masing juga ia harapkan. “Kita bukan seorang kiai atau ulama, kemudian kita berfatwa, kan juga kurang tepat. Karena ini kaitannya dengan keilmuan,” tuturnya dengan menjelaskan bahwa tidak semua harus diucapkan dan tidak semua yang diketahui harus dikritisi.

Berikutnya, tambah Hanif, ketika seseorang bertindak atau mengucap, sebetulnya yang dilakukan itu mencerminkan isi pikiran dan informasi yang telah ia dapatkan.

Semisal ‘Tuhan kita bukan orang Arab’, kalimat kontroversi yang juga terlontar dari mulut sang Jenderal, menurut Hanif pun salah karena menganalogikan Tuhan sebagai orang. “Tuhan tidak bisa dipersamakan dengan orang. Orang itu kan makhluk yang diciptakan. Makhluk pun berbeda dengan Al-Khaliq, Penciptanya,” terangnya.

Selanjutnya, seorang penguasa atau pejabat publik, harus siap untuk mendapatkan kritik yang tentu saja kritik membangun.

Sedangkan yang juga tak kalah pentingnya, imbuh Hanif, penguasa atau pun pejabat harus dekat dengan rakyatnya. Tidak boleh setengah-setengah yang justru terkesan jadi ajang pencitraan. “Ikhlas lillahi ta’ala, dekat dengan mereka, mengurusi urusan mereka, urusan rakyat ini,” tandasnya.

Ia juga menuturkan, sebelum hari ketika mulut dikunci, tetapi kaki dan tangan bersaksi, para penguasa atau pejabat jangan sekali-kali menyakiti hati umat Islam. “Kalau hati sudah terluka, siap-siap dengan doa yang tidak terduga. Bisa jadi doa kejelekan, bisa jadi doa yang, ‘Ya Allah segera turunkan penguasa negeri ini’. Bisa jadi itu,” tuturnya.

Sehingga, dengan melihat fenomena demikian, ia khawatir, kalau-kalau informasi yang masuk ke kepala Jenderal Dudung adalah salah. “Nah inilah tugas bagi kita sebagai umat Islam, menyampaikan informasi yang benar, kan begitu,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *