Mediaumat.id – Apabila menilik definisi politik yang sebenarnya dari sudut pandang Islam yaitu mengurusi atau melayani kepentingan dan kebutuhan umat (ri’ayah as-syu’un al-ummah), maka aktivitas berpolitik sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari syariat Islam.
“Dalam Islam sendiri, politik adalah bagian integral dari syariat Islam itu sendiri,” jelas Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan kepada Mediaumat.id, Rabu (24/5/2023).
Di antaranya, kata Fajar, menghadirkan kekuasaan untuk memastikan kebutuhan dan kepentingan dasar masyarakat, semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan maupun keamanan terpenuhi dengan baik.
Artinya, politik Islam sangat berbeda dengan yang dilakukan dalam sistem kapitalis seperti yang saat ini diberlakukan. “Poltik dalam perspektif Islam jauh berbeda dengan maksud politik dalam kacamata sistem kapitalisme sekuler, yang hanya berkenaan dengan bagaimana cara untuk meraih kekuasaan an sich,” sebutnya.
Seperti diketahui bersama, hal ini bisa dilihat dari sejarah yang mencatat, bahwa sepanjang penerapan Islam sebagai sistem politik, ternyata agama ini tak pernah digunakan sebagai simbol untuk meraih kekuasaan. “Demikian pula kekuasaan tidak pernah menjadi tujuan akhir dari aktivitas politik, tapi hanya sebagai sarana untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat atau umat,” jelasnya.
Dengan kata lain, jelasnya, Islam menempatkan kekuasaan hanya sebatas sarana/wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat, bukan sebagai tujuan.
Sekulerisme
Adalah Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar yang sebelumnya terkesan menyampaikan agar agama jangan dijadikan alat politik.
“Supaya emosi keagamaan itu tidak dilibatkan lebih jauh dalam rangka memperjuangkan satu kepentingan jangka pendek,” kata Nasaruddin bersama tokoh agama lain saat beraudiensi dengan Komisi Pemilihan Umum atau KPU di Jakarta pada Jumat, 19 Mei 2023.
Lebih jauh, Fajar pun memandang pernyataan ini justru menegaskan betapa sekulerisme yang berpijak pada prinsip pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah), sudah sedemikian merasuk ke dalam pikiran masyarakat, termasuk para tokoh umat.
“Seolah-olah agama ini hanya boleh ditempatkan di ruang privat, dan tidak boleh dibawa-bawa ke ruang publik,” ucapnya menilai.
Termasuk, kata Fajar menambahkan, tidak boleh membawa-bawa agama ketika membicarakan masalah politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, maupun hal-hal berkenaan dengan kepentingan publik lainnya.
Celakanya, apabila prinsip tersebut direfleksikan dengan kondisi di negeri ini sekarang, fakta yang terjadi justru politisasi agama yang dilakukan untuk kepentingan meraih kekuasaan.
Tengoklah, ketika Nasaruddin juga menyerukan agar dalam berkampanye tidak menggunakan politik identitas, terlebih menjadikan agama sebagai alat politik, tetapi faktanya bertolak belakang.
“Kalau mau konsisten, maka calon-calon jangan gunakan atribut atau simbol-simbol agama juga, misalnya pakai kopiah, gamis, baju koko, sowan ke ulama, blusukan ke pesantren, dan sebagainya,” ujarnya.
Kendati demikian, Fajar mengaku tak heran dengan fenomena ini. Sebab di negeri ini tengah diberlakukan sistem politik demokrasi liberal, berikut ketentuan yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan sebagai tujuan utama berpolitik.
Edukasi
Dengan demikian, politik adalah sebuah keniscayaan yang tidak untuk dihindari tetapi dilaksanakan dengan cara sebaik-baiknya dan menjadikannya sebagai sarana untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Namun untuk bisa ke sana, kata Fajar, harus ada proses penyadaran dan edukasi yang masif kepada umat.
“Harus ada proses penyadaran dan edukasi yang terus-menerus dan masif di tengah- tengah umat yang mayoritas sudah tidak punya lagi pandangan yang benar tentang politik,” paparnya.
Tak hanya itu, sambung Fajar, untuk bisa menjalankannya pun perlu adanya institusi negara, sebagaimana pula politik opportunistik yang dijalankan oleh negara demokrasi sekuler seperti saat ini.
“Tanpa itu maka mustahil kita bisa berharap politik Islam akan dijalankan secara paripurna,” pungkasnya.[] Zainul Krian