PKAD: Besarnya Biaya Pemilu Tak Berbanding Lurus dengan Kualitas

Mediaumat.id – Analis senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan mengatakan besarnya biaya pemilu tak berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan.

“Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemilu tak berbanding lurus dengan kualitas legislator, maupun kualitas kepala daerah dan presiden yang dihasilkan dari proses pemilihan,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Kamis (24/2/2022).

Sebabnya, sejak awal penentuan urutan calon legislator dalam satu daerah pemilihan dari masing-masing partai dilakukan atas persetujuan ketua umum partai.

“Walaupun kualitas calon legislatornya bagus, tetapi kalau ketua partai tidak menghendaki dia ditempatkan di urutan atas dari daftar calon legislator, ya dia tidak bisa,” terangnya.

Sementara siapa pun tahu, peluang untuk dipilih bagi yang berada di urutan atas lebih besar dibandingkan yang di bawah.

Rekayasa

Berangkat dari situ, lanjut Fajar, proses rekayasa untuk menjadikan ‘calon jadi’ sangat berpotensi dilakukan. “Hanya calon legislator yang mempunyai hubungan kedekatan dengan ketua atau struktur partai yang pastinya akan lebih diuntungkan dibandingkan dengan calon lainnya,” tukasnya.

Sedangkan terkait pemilihan kepala daerah, kata Fajar, seorang kandidat wajib memperoleh dukungan partai pengusungnya.

Dan yang lebih memprihatinkannya, tatkala hendak melakukan lobi untuk mendapatkan dukungan partai, kandidat dimaksud harus menyerahkan sejumlah uang tertentu untuk bisa mendapatkan dukungan dari partai yang akan mengusungnya.

“Tanpa dukungan partai, hampir mustahil seseorang bisa maju menjadi calon kepala daerah,” ucapnya.

Begitu juga dalam proses kontestasi calon presiden dan wakil presiden. Meski skalanya nasional, di dalamnya tetap berlaku hukum yang sama. Hanya, kata Fajar, besaran uang untuk tiap-tiap partai pengusungnya menjadi semakin mahal. “Kalau tak memberikan mahar, tentu tak mungkin seseorang diusung menjadi calon presiden,” tukasnya.

Perlu diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengusulkan anggaran untuk penyelenggaraan pemilu 2024 sebesar Rp86,2 triliun. Naik Rp60,61 triliun dari anggaran tahun 2019 sebesar Rp25,59 triliun.

Menurut KPU, perihal kenaikan biaya pelaksanaan pemilu yang lebih banyak tersebut dikarenakan biaya operasional penyelenggaraan pemilu dan dukungan bagi perbaikan infrastruktur KPU di daerah juga membengkak.

Namun terlepas itu, Fajar tetap khawatir, dengan sistem pemilu seperti sekarang ini, para ketua partai politik bakal menjelma menjadi kekuatan oligarki yang bisa menentukan siapa yang akan dia pilih untuk kedudukan atau posisi apa yang dia kehendaki.

“Oligarki itu salah satunya ya para ketua partai politik, yang dia berkelindan pula dengan para pemilik modal yang biasanya akan mengambil bagian untuk berkontribusi dalam pemenangan calon legislator, kepala daerah bahkan presiden sekalipun,” terangnya.

Indikasinya, anggota legislatif yang terpilih untuk masa bakti 2019-2024 saja, hampir 50 persennya berlatar belakang pengusaha. “Memang terjadi perkelindanan antara para politisi dengan para pemilik modal, atau antara pemilik modal dengan para calon legislatif, kepala daerah maupun presiden,” terangnya lagi.

Ubah Sistem

Agar bisa terpilih orang-orang terbaik yang nantinya berkaitan dengan urusan mengurus rakyat, tetapi berbiaya murah serta tanpa cengkeraman oligarki, menurut Fajar, tentu saja harus mengubah sistem pemilihan.

Sebab, ia yakin, selama sistem yang digunakan masih seperti sekarang, yang akan terpilih adalah orang-orang yang tidak berpikir untuk kemaslahatan rakyat secara umum.

Berikutnya, selama mekanisme pemilunya juga masih menggunakan sistem demokrasi, (one man one vote) atau satu orang satu suara, hampir bisa dipastikan calon dengan amunisi atau logistik yang lebih besarlah yang akan jauh lebih diuntungkan. “Dia bisa membeli suara para pemilih,” timpalnya.

Sehingga tak heran, sistem demokrasi yang juga dikenal sebagai sistem politik high cost, membuka peluang bagi para pemilik modal atau kaum oligarki untuk bermain dan menanamkan pengaruhnya kepada siapa pun yang terpilih.

Melihat semua itu, Fajar menuturkan, sebenarnya Islam sudah mengajarkan cara memilih pemimpin dengan cara sederhana, murah dan mudah dalam proses suksesi kepemimpinan, serta hampir dapat dipastikan menghasilkan para pemimpin berkualitas.

Dengan kewenangan memilih yang menjadi otoritas khalifah, maka penyeleksian, penilaian kelayakan, pengangkatan serta pemberhentian para pejabat menjadi kehendak sang khalifah.

Misal, untuk jabatan wali (setingkat gubernur) maupun amil (setingkat bupati/wali kota), cukup yang menentukan adalah khalifah.

“Khalifah akan memilih orang-orang terbaik, dengan talenta terbaik dan kapasitas yang terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, khususnya jabatan sebagai penguasa,” ulasnya.

Cara ini menurut hemat Fajar, juga bebas dari cengkeraman oligarki. “Khalifah hanya mempertimbangkan terpenuhinya syarat-syarat in’iqad (keabsahan akad), maupun syarat afdhaliyah (keutamaan) dari masing-masing calon pejabat yang akan diangkat,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: