Pinangki Lepas Kerudung Usai Bebas Penjara, Siyasah Institute: Ini Pelecehan
Mediaumat.id – Beda gaya berbusana terpidana kasus korupsi Pinangki Sirna Malasari saat persidangan dan setelah bebas bersyarat, mendapat sorotan dari banyak pihak termasuk Direktur Siyasah Institute Iwan Januar. “Ini pelecehan,” tegasnya kepada Mediaumat.id, Kamis (8/9/2022).
Seperti diberitakan, penampilan mantan jaksa tersebut tak lagi berkerudung setelah mendapat bebas bersyarat. Padahal sebelumnya ketika proses persidangan sempat mengenakan kain penutup kepala bagi Muslimah sebagai salah satu simbol dari nilai-nilai ajaran Islam.
Ia juga menilai, Pinangki ketika itu tengah mengikuti modus umum yang dipakai di pengadilan oleh para pesakitan lain. “Peci, kerudung, jilbab jadi bagian para terdakwa untuk mengemis keringanan hukum di depan hakim,” terangnya.
“Harusnya kementerian agama, ormas-ormas Islam, MUI menegur para pengacara agar jangan main-main dengan ajaran Islam,” imbau Iwan.
Pasalnya, kerudung dan jilbab bukanlah kedok untuk berkamuflase agar dapat belas kasihan dari hakim di pengadilan.
Oleh karena itu, orang yang pertama kali mengajarkan modus itu, menurut Iwan, bakal menanggung dosa jariah. Sebabnya tindakan dimaksud diikuti oleh setiap orang yang berperkara di pengadilan.
Sebagai informasi, mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari bebas bersyarat dari Lapas Wanita Kelas IIA Kota Tangerang, Selasa (6/9/2022). Diketahui, ia adalah terpidana korupsi yang menerima suap dari Djoko Tjandra, napi kasus hak tagih Bank Bali.
Perjalanan Kasus
Sebelumnya, Pinangki dijerat Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Pasal 15 jo Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pinangki dinyatakan terbukti menerima uang suap USD500.000 dari Djoko Tjandra. Ia juga melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total mencapai USD375.229.
Lantas ia pun divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun ia ajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan hukumannya dipotong menjadi 4 tahun penjara.
Kala itu hakim menilai, terdakwa pemufakatan jahat dalam perkara terpidana kasus Djoko Tjandra telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta ikhlas dipecat dari profesi sebagai jaksa.
Tak hanya itu, Pinangki, yang ditangkap oleh tim penyidik Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejagung pada 11 Agustus 2020 juga merupakan seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia empat tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Pertimbangan lainnya adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Karena putusan itu, banyak pihak mendesak agar jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung.
Namun JPU menganggap putusan tersebut sudah sesuai tuntutan mereka. Sehingga pihaknya tidak mengajukan kasasi.
Pemberantasan Korupsi Mati
Lantaran itu, lanjut Iwan, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, mati di rezim Jokowi. “Memang masih ada operasi penangkapan para koruptor, tapi publik ingin melihat kasus-kasus besar dengan para pelaku yang merupakan aparat penegak hukum dijatuhi hukuman berat,” sambungnya.
Namun alih-alih demikian, yang terjadi justru hukuman bagi para koruptor semakin ringan. Sebagaimana catatan ICW, kata Iwan, rata-rata vonis yang dijatuhkan di bawah empat tahun.
Tak heran, putusan tersebut tidak akan membuat perilaku korupsi berkurang apalagi hilang. Lebih-lebih enggak bakalan memberikan efek jera bagi para pelaku.
Padahal, selain hukuman berat, para pelaku harusnya dijatuhi sanksi pemiskinan dengan menyita aset kekayaan yang terindikasi didapat dari jalan haram tersebut. Bahkan menurut Iwan, bisa saja sampai hukuman mati.
Tetapi yang terjadi, penanganan kasus korupsi dan semacamnya lagi-lagi terkesan tak serius. “Ini jelas memainkan rasa keadilan di tengah masyarakat,” timpalnya.
Apalagi sebagaimana syarat dan ketentuan caleg DPR yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu, terangnya, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR atau DPRD.
Padahal pada Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuat daftar peraturan yang secara gamblang melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai calon anggota DPR, DPRD, serta DPD.
“Harusnya mereka diberlakukan larangan terjun kembali ke kancah politik selama periode tertentu,” ucapnya.
Secara KPK pun, beber Iwan terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan ketuanya sendiri, sekadar ditegur tertulis, semacam surat peringatan dua dan berlaku hanya 6 bulan.
Adalah Firli Bahuri, ketua KPK yang terbukti telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku terkait penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi pada September 2020 lalu.
“Juga pada Lili Pintauli,” tambahnya, yang juga hanya dikenakan sanksi berupa pemotongan gaji pokok 40 persen selama dua belas bulan.
Padahal wakil ketua KPK tersebut terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunakan pengaruh selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi, dalam hal ini berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK yaitu Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial.
“Kalau di internal KPK saja sudah tak ada ketegasan hukum, bagaimana KPK berhadapan dengan kasus-kasus besar seperti e-KTP atau Harun Masiku?” bimbangnya.
Paling tidak, tambah Iwan memisalkan, KPK harusnya menjadikan kasus Ferdy Sambo sebagai momentum bersih-bersih di tubuh Polri dari dugaan peredaran uang haram di sana. “Namun, sampai sekarang tak ada respons,” pungkasnya.[] Zainul Krian