Pimpinan Polri Wajib ‘Copot’ Kapolresta Kendari
(Catatan Hukum atas Tindakan Bar Bar yang dilakukan Oknum Kepolisan Polres Kendari Terhadap Aksi Mahasiswa)
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. | Ketua LBH PELITA UMAT
Ditengah absennya gerakan aktivis kampus atas banyaknya kebijakan yang tidak pro rakyat di rezim Jokowi, publik merasa lega karena masih ada Aksi Penyampaian Pendapat dalam bentuk aksi demonstrasi damai menolak kenaikan harga BBM sekaligus mengkritik melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan Kota Kendari, Sultra. Publik merasa lega, mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat, masih peduli menyuarakan suara keprihatinan terhadap rakyat -di tengah absennya DPR selaku wakil rakyat- untuk memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya.
Namun kelegaan itu berubah menjadi keprihatinan dan kecaman yang meluas, manakala publik mendengar kabar adanya tindakan represif oknum aparat kepolisian yang membubarkan kegiatan demo mahasiswa di Kendari dengan cara memukul, mencekik, menendang dan mengejar mahasiswa yang terekam kamera dan beredar luas di jejaring sosial media. Patut disayangkan, kepolisian negara Republik Indonesia yang seharusnya bertindak menjalankan fungsi melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat, justru bertindak represif, bar bar, mengunggah kebencian terhadap adik-adik Mahasiswa, dengan rangkaian tindakan kekerasan fisik dengan cara memukul, mencekik dan menendang adik-adik mahasiswa yang sedang melakukan aksi damai.
Yang sangat disayangkan, tindakan pembubaran secara bar bar itu dilakukan oleh aparat kepolisian hanya berdalih kegiatan tidak mengantongi izin. Kemudian, kegiatan dibubarkan juga berdasarkan tuduhan terhadap ajaran Islam khilafah yang dianggap radikal dan mengancam kebhinekaan.
Karena itu, kami merasa perlu mengajukan kritik kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, baik secara formil maupun materiil. Kritik disampaikan, agar Kedepan kepolisian bisa bertindak lebih profesional, lebih bijak, dan dapat menjalankan fungsi melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat secara baik.
KRITIK FORMIL
Yang perlu dipahami, tidak semua kegiatan di tengah masyarakat wajib izin kepada kepolisian. Kegiatan sosial di tengah masyarakat yang bersifat publik, adakalanya tidak wajib meminta izin, cukup memberi pemberitahuan bahkan tidak perlu meminta izin atau memberikan pemberitahuan kepada kepolisian.
Pertama, kegiatan-kegiatan publik yang masuk dan terkategori keramaian umum, seperti pesta kembang api, Pentas musik band dangdut, Wayang Kulit, Ketoprak, Dan pertunjukan lain, adalah kegiatan keramaian umum yang wajib mengantongi izin dari kepolisian.
Ketentuan ini berdasarkan pada KUHP pasal 510 tentang Keramaian Umum, Petunjuk pelaksanaan kapolri No.Pol : Juklak / 29 / VII / 1991 Tgl 23 juli1991 tentang Pengawasan , Pengendalian dan Pengamanan bahan Peledak Non Organik ABRI dan Petunjuk lapangan Kapolri no. Pol : Juklap / 02 / XII / 1995 / Tentang Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat.
Kedua, kegiatan-kegiatan publik yang masuk dan terkategori aktivitas menyampaikan pendapat di muka umum seperti unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, mimbar bebas, penyampaian ekspresi secara lisan, aksi diam, aksi teatrikal, dan isyarat, penyampaian pendapat dengan alat peraga, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, petisi, spanduk, dan kegiatan lain yang intinya bertujuan menyampaikan pendapat di muka umum, kesemuanya tidak perlu izin tetapi cukup memberitahu kepada kepolisian.
Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umum Jo. Pasal 6 Perkapolri No. 7 tahun 2012, Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Penanganan dan Pengamanan Perkara Menyampaikan Pendapat di muka Umum.
Pasal 10 UU No. 9/1998 :
“(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri”.
Pasal 6 Perkapolri No. 7/2013 :
“Penyelenggara kegiatan penyampaian pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberitahukan secara tertulis kepada kepolisian setempat sebelum pelaksanaan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum”.
Ketiga, kegiatan-kegiatan publik yang masuk dan terkategori aktivitas menyampaikan pendapat di muka umum berupa kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan seperti : kuliah umum, mimbar bebas kampus, ceramah agama, Dakwah Islam, Sholat Jum’at, Sholat Idul Adha atau Idul Fitri, atau kegiatan lain yang terkategori kegiatan keagamaan, tidak memerlukan izin juga tidak perlu mengirim pemberitahuan kepada kepolisian.
Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 10 ayat (4) UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umum yang menyatakan :
“Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan”.
KRITIK MATERIIL
Sesungguhnya substansi kegiatan yang dilakukan adik-adik mahasiswa Gerakan Mahasiswa Pembebasan, adalah kritik mahasiswa terhadap kebijakan kenaikan harga BBM dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika melalui aksi unjuk rasa damai. Karena itu, kepolisian wajib melayani dan mengamankan aktivitas penyampaian pendapat di muka umum adik adik mahasiswa ini berdasarkan ketentuan UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum, juga sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 7 tahun 2012, Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Penanganan dan Pengamanan Perkara Menyampaikan Pendapat di muka Umum.
Keliru besar, jika kepolisian menggunakan pendekatan represif membubarkan kegiatan mahasiswa hanya dengan dalih tidak mengantongi izin. Kegiatan mahasiswa dimaksud telah mengirim pemberitahuan, dan karenanya telah cukup memenuhi prosedur penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana diatur dalam undang undang. Kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum tidak memerlukan izin kepolisian.
Yang lebih parah lagi, kepolisian bukannya melayani dan mengamankan aktivitas penyampaian pendapat dimuka umum, tetapi justru melakukan intervensi terhadap substansi kritik mahasiswa, dengan menuding kegiatan mahasiswa sebagai kegiatan radikal karena mengusung ajaran Islam khilafah yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Mengenai ajaran Islam khilafah ini, perlu untuk diketahui bahwa tidak ada satupun produk hukum baik keputusan pengadilan, keputusan pejabat TUN (beshicking) atau UU tertentu (regeling) yang menyatakan khilafah sebagai ajaran yang terlarang. Satu-satunya putusan pengadilan yang membahas diskursus khilafah adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengadili perkara sengketa TUN antara HTI melawan kemenkumham.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta baik pada tingkat Pertama maupun Banding, amarnya hanya menyebut Mencabut Keputusan Menteri Hukum Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tanggal 02 Juli tahun 2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, berkedudukan di Jakarta Selatan. Tidak ada satupun amar putusan yang menyatakan khilafah sebagai ajaran terlarang, bertentangan dengan Pancasila, atau disebut ajaran radikal.
Karena itu sangat tidak beralasan ketika kepolisian membubarkan kegiatan mahasiswa yang berdalih pada tudingan radikalisme khilafah.
Padahal dalam ketentuan pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 disebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Bahkan dalam ketentuan pasal 28 UUD 1945 ditegaskan: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul , mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Justru yang harus dipertanyakan adalah kenapa oknum kepolisian memukul mahasiswa ? Kenapa oknum kepolisian menendang mahasiswa ? Kenapa kepolisian mencekik leher mahasiswa ? Kenapa kepolisian membubarkan aksi mahasiswa ?
Karena itu, dengan dalih apapun kepolisian tidak berhak mengekang apalagi memberangus kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat warga negara yang dijamin konstitusi. Oknum Kepolisian di Polres Kendari telah melanggar hukum baik hukum disiplin profesi dan pelanggaran pidana, karena telah menendang mahasiswa, memukul dan mencekik leher mahasiswa bahkan membubarkan aksi mahasiswa.
Kami dari LBH PELITA UMAT menuntut kepolisian agar menindak tegas oknum aparat yang telah bertindak bar-bar, agar diproses secara hukum baik penegakan disiplin profesi dan proses pidana. Hal ini penting, agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan kepada institusi Polri dan agar kepolisian benar-benar dapat kembali menjalankan fungsi melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat secara baik.
Secara kelembagaan, pimpinan Polri juga wajib menindak tegas pimpinan polres Kendari dengan mencopot dari jabatannya. Sebab, tindakan bar-bar kepolisian ini tidak lepas dari lemahnya kontrol Kapolres Kendari pada kinerja bawahannya. [].
Sumber: lbh-pelitaumat.com