Mediaumat.info – Pengamat politik Dr. Suswanta, M.Si. menyatakan, gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) serta aksi penolakan massif terhadap penetapan hasil pilpres 2024 telah membuka mata hati umat tentang kebobrokan mendasar sistem demokrasi.
“Pelajaran berharga dari pilpres 2024. Gugatan di MK dan PTUN serta aksi penolakan massif terhadap penetapan hasil pilpres 2024 membuka mata hati kita semua tentang kebobrokan mendasar sistem demokrasi,” ujarnya kepada media-umat.info, Sabtu (6/4/2024).
Suswanta mengatakan, pesta demokrasi adalah sebuah pesta politik dengan biaya fantastis yang hanya menghasilkan pemenang semu buah dari banyaknya kecurangan mulai dari perubahan kebijakan, ketidaknetralan Presiden dan aparatnya serta politik uang.
Suswanta melihat, hal itu merupakan buah dari sistem politik demokrasi, yaitu ketika aturan hukum dan politik diserahkan kepada manusia, maka pembuatan aturan itu akan mengikuti hawa nafsu manusia yang membuatnya.
Menurutnya, orang yang sedang berkuasa akan membuat aturan yang menguntungkan diri, keluarga dan kroninya dengan segala cara meski dengan melanggar aturan yang telah dibuatnya sendiri. Kritik dan saran dari rakyat tidak akan didengar, bahkan sebaliknya yang mengkritik akan dipersoalkan dengan alasan pencemaran nama baik dan penyebaran kebohongan.
Selain itu, kata Suswanta, gugatan di MK dan PTUN serta aksi penolakan hasil pilpres 2024 juga menyadarkan umat bahwa yang bermasalah bukan hanya proses pemilunya, tetapi juga pejabat negara di lembaga-lembaga negara yang terkait dengan penyelenggaran pilpres 2024.
“Sebab para pejabat negara tersebut menggunakan fasiltas negara bukan untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan segelintir orang. Sehingga kredibilitas dan netralitas mereka dipertanyakan,” jelansya.
Gugatan PDIP di PTUN
Suswanta memandang, materi gugatan PDIP terhadap KPU ke PTUN agar mencabut penetapan hasil pilpres 2024 kuat secara hukum dikarenakan empat hal. Pertama, sesuai dengan salah satu bidang lingkup kewenangan PTUN yaitu pemilu dan penyalahgunaan kewenangan.
Kedua, subjek hukumnya jelas, yaitu orang atau badan hukum di satu pihak (PDIP) dan badan atau pejabat tata usaha negara di lain pihak (KPU).
Ketiga, objek hukumnya juga jelas, yaitu keputusan yang dikeluarkan KPU, yakni Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024
Terkait tanggapan KPU terhadap gugatan PDIP yang menyatakan bahwa segala perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilpres ditangani MK sangat lemah, Suswanta menilai, gugatan PDIP ke PTUN ini berkaitan dengan maladministrasi KPU karena masih menggunakan PKPU Nomor 19 tahun 2023 dalam menetapkan Gibran Sebagai Cawapres. Padahal dalam PKPU tersebut syarat capres-cawapres masih 40 tahun. Sementara itu, gugatan PDIP ke MK berkaitan dengan sengketa suara.
Kecil Kemungkinan
Suswanto meyakini, secara politik, kecil kemungkinan PTUN mengabulkan gugatan PDIP ini. Sebab kecurangan piplres sudah dilakukan sejak awal pencalonan Gibran sebagai cawapres dan berlanjut pada pelaksanaan sampai perhitungan suara termasuk antisipasinya menghadapi gugatan dari kubu paslon 01 dan 03.
Ia menduga, intervensi politik terhadap hakim PTUN sangat mungkin terjadi, sebagaimana intervensi Presiden Jokowi yang mengirim surat ke ketua KPU agar menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres.
“Jika MK dan KPU saja bisa diintervensi, apalagi hakim PTUN,” bebernya.
Selain itu juga berkembang opini bahwa pihak yang melayangkan gugatan di MK dan PTUN sebagai pihak yang belum legowo dengan kekalahan dalam pilpres 2024 dan pengulangan pilpres adalah pemborosan anggaran serta menyebabkan perluasan konflik vertikal atau horizontal di masyarakat.
Tidak Legitimasi
Terakhir Suswanta mengingatkan, pemerintah yang terpilih dari hasil kecurangan terstruktur, sistematis dan massif (TSM) tidak akan memiliki legitimasi di mata rakyat. Terlebih lagi kecurangan tersebut telah menjadi opini dunia, maka pemerintah terpilih akan dianggap illegal oleh negara-negara di dunia. Suatu hal yang akan menimbulkan problem serius dalam diplomasi internasional.
“Ibarat orang yang menang kompetisi tapi dengan cara curang, maka harusnya didiskualifikasi, kalau tidak maka tidak akan dianggap sebagai pemenang. Menang tanpa kepercayaan. Ironis!” pungkasnya. [] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat