Oleh: Muhammad Alauddin Azzam | Peneliti Utama di Civilization Analysis Forum (CAF)
Pilkada di Indonesia telah mengalami perjalanan cukup panjang dan penuh tantangan. Sejak tahun 2005 berlanjut ke tahun 2011, 2015, 2017, dan hari ini 2018. Pemenangnya pun berbeda-beda setiap tahunnya. Bisa dari partai yang sama, bisa juga partai berbeda. Kebijakan yang diterapkan pun berubah-ubah. Kira-kira apa yang Anda rasakan dengan hasil pilkada, terutama pemimpin yang terpilih baik di tingkat gubernur, bupati, hingga wali kota dari tahun ke tahun ?
Hari ini, pilkada kembali diselenggarakan. Namun, ada yang cukup menggemparkan dengan menjelang masuknya pilkada hari ini yakni pusaran korupsi jelang pilkada. Masih hangat di telinga kita kasus-kasus yang menyangkut kepala-kepala daerah di Indonesia. Sebuah artikel berjudul “6 Dinasti Politik dalam Pusaran Korupsi, Suami-Istri hingga Anak-Orangtua Bersekongkol” (https://nasional.kompas.com) menjadi ingatan bagi kita semua.
Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menyoroti adanya dinasti politik setelah Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun, yang merupakan calon gubernur Sulawesi Tenggara terlibat kasus suap. Anak dan ayah itu diduga menerima suap-suap dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018. Uang suap berasal dari Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah. Suap itu digunakan Asrun untuk biaya politiknya maju sebagai calon gubernur Sulawesi Tenggara di Pilkada 2018. Asrun yang pernah berkuasa 10 tahun sebagai Wali Kota Kendari sejak 2007-2017 menggunakan mantan Kepala BPKAD Kota Kendari, Fatmawati Faqih, untuk jadi penghubung dengan pihak pemberi suap, dalam hal ini Hasmun.
Tahun sebelumnya kita juga masih ingat kasus Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Atut merupakan tersangka sejumlah kasus korupsi bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Anak Atut, Andika Hazrumy, menjabat sebagai anggota DPD Banten 2009-2014, sementara istrinya Ade Rossi Khoerunisa menjabat sebagai anggota DPRD Kota Serang 2009-2014. Begitu pula dengan Ratu Tatu Chasanah, saudara Atut yang menjadi Wakil Bupati Kabupaten Serang 2010-2015. Dinasti Banten keluarga Atut berawal dari sang ayah, Tubagus Chasan Sochib. Pria yang dikenal memegang kendali Banten itu mengantarkan pasangan Djoko Munandar-Ratu Atut sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2001.
Dinasti politik yang kental dengan korupsi juga terjadi di Kutai Kartanegara. Bupati Kutai Kartanegara terseret kasus korupsi. Ayah Rita, yang juga mantan Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani Hassan Rais lebih dulu menjadi terpidana kasus korupsi. Syaukani merupakan terpidana penyalahgunaan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Sepanjang 2001-2005, Syaukani berhasil meraup dana sebesar Rp 93,204 miliar. Sementara Rita, merupakan tersangka tiga kasus korupsi.
Korupi di dalam lingkaran dinasti politik menyeret Wali Kota Cimahi periode 2012-2017 Atty Suharti bersama suaminya, Itoc Tochija, menjadi tersangka kasus penerimaan suap terkait proyek pembangunan pasar di Cimahi, dengan nilai total proyek mencapai Rp 57 miliar. Atty dan suaminya ditangkap petugas KPK setelah diduga menerima suap dari dua pengusaha.
Mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron adalah contoh lain dari dinasti politik. Dia merupakan penguasa di Bangkalan selama 10 tahun atau dua periode mulai 2003 sebelum turun takhta pada 2013. Terdakwa kasus suap jual beli gas alam Bangkalan Fuad Amin bersiap menjalani sidang dengan agenda tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) atas eksepsi tim penasihat hukum terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Kamis (21/5/2015). JPU meminta Majelis Hakim untuk menolak eksepsi terdakwa karena surat dakwaan telah disusun sesuai ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.(TRIBUNNEWS/HERUDIN) Fuad kemudian digantikan putranya sendiri, Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan Periode 2013-2018. Makmun saat itu menjadi bupati termuda dengan usia 26 tahun. Pada 2014, Fuad yang terbentur aturan menjabat Bupati Bangkalan karena sudah dua periode, dilantik putranya menjadi anggota DPRD Bangkalan. Dia kemudian terpilih menjadi Ketua DPRD Bangkalan 2014-2019.
Hal yang menjadi sorotan juga terkait kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Klaten periode 2016–2021, Sri Hartini. Pada Desember 2016, Sri tertangkap tangan dalam operasi KPK. Dia menjadi tersangka terkait jual beli jabatan di Klaten. Kepemimpinan di kabupaten tersebut tak pernah lepas dari pasangan suami-istri sejak tahun 2000. Sri Hartini merupakan istri dari mantan Bupati Klaten periode 2000-2005, Haryanto Wibowo. Haryanto kemudian digantikan oleh Sunarna. Pada pilkada 2010, Sunarna menggandeng Sri Hartini sebagai wakilnya. Baca juga : Rincian Suap Rp 12,8 Miliar yang Diterima Bupati Klaten Keduanya pun memenangi pilkada 2010. Keluarga Haryanto kembali masuk dalam lingkaran kekuasaan di Klaten. Setelah menjabat dua periode tahun 2005-2015/
Bupati Banyuasin periode 2013-2018, Yan Anton Ferdian ditangkap KPK terkait kasus suap proyek di dinas pendidikan Banyuasin. Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian (tengah) digiring petugas kepolisian saat keluar dari gedung Subarkah Direktorat Kriminal Khusus Polda Sumsel, Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (4/9). Yan Anton ditangkap KPK setelah diduga menerima suap terkait ijon proyek. (ANTARA/NOVA WAHYUDI) Yan termasuk bupati termuda saat dia ditangkap KPK September 2016. Dia melanjutkan tampuk kekuasaan yang sebelumnya diduduki ayahnya, Amiruddin Inoed, selama 12 tahun.
Korupsi di lingkaran kepala daerah mengerikan bukan ? Mengapa bisa demikian ? Tulisan menarik dariUbedilah Badrun, Analis sosial politik UNJ yang menuliskan analisis tentang pilkada yang berjudul “Evaluasi Pilkada dan Solusinya” yang menarik untuk diambil menjadi pembahasan berikutnya. Contoh biaya politik mahal ini bisa dicermati misalnya pada biaya pilkada 2018 yang mencapai angka Rp 15,2 triliun yang berasal dari sumber APBN dan APBD (Kemendagri,2018). Sementara biaya politik dari sang calon kepala daerah yang jumlahnya 117 daerah untuk pilkada 2018 angkanya bisa mencapai Rp 11,7 trliun (Puspol Indonesia, 2018). Karena itu, terjadi dilapis elit tetapi juga terjadi di lapis masyarakat bawah, pembelahan sosial terjadi sehingga tidak sedikit terjadi konflik diantara rakyat, biaya politik juga sangat mahal.
Sebagai catatan evaluasi, pada tahun 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian penting terkait pilkada langsung. Kajian tersebut dilakukan melalui sebuah survei terpercaya terhadap bekas calon kepala daerah. Di antara temuan KPK tersebut adalah 51,4 persen calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas mereka, 16,1 persen mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang mereka cantumkan dalam LHKPN, 56,3 persen mengatakan donatur kampanye mengharap balasan saat calon kepala daerah terpilih, 75,8 persen calon kepala daerah mengatakan akan mengabulkan harapan donatur, 65,7 persen menyatakan bahwa donatur menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah jika terpilih (sumber: KPK,2015). Temuan KPK tersebut menggambarkan dengan jelas betapa korupsi sistemik memang menjadi pola yang dimulai sejak awal proses pilkada langsung dilaksanakan. (Badrun, Ubedilah viawww.republika.co.id/berita/kolom/wacana)
Karena itu, korupsi dari hasil kontestasi pilkada bisa dikatakan cukup berpotensi. Bila kembali ke perjalanan pilkada dan track record kepala-kepala daerah di Indonesia belakangan ini membuat kita justru bertanya-tanya. Apakah semua kisah ini menjadi pilkada dan kekecewaan kita ? []