Mediaumat.id – Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan sependapat dengan Greenpeace Indonesia yang menyebut isi pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di KTT PBB terkait perubahan iklim (COP26) di Glasgow hanya omong kosong.
“Jadi secara umum, saya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Greenpeace Indonesia,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (6/11/2021).
Menurut Fajar, apa yang disampaikan Jokowi di hadapan peserta COP26 beberapa hari lalu sebagian besar memang hanya klaim mengenai aktivitas dan output aktivitas yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka menurunkan emisi di berbagai sektor, khususnya sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Bahkan klaim yang disampaikan Jokowi tersebut dalam jangka panjang akan membawa konsekuensi yang juga berbahaya.
Ada beberapa pernyataan Jokowi dalam pidato tersebut yang dianggap Fajar hanya klaim saja. Pertama, Jokowi mengatakan Indonesia dalam transisi untuk penggunaan biofuel. Padahal kata Fajar, semakin tinggi intensitas penggunaan biofuel sebagai campuran bahan bakar, maka akan berkonsekuensi pada perlunya penambahan luas lahan tanaman kelapa sawit untuk bisa memenuhi kapasitas produksi biofuel yang dibutuhkan.
Kedua, Jokowi mengatakan akan mendorong sektor-sektor untuk melakukan carbon offset. Sesungguhnya, menurut Fajar, ini adalah solusi semu saja. Karena yang dibutuhkan sesungguhkan adalah upaya sungguh-sungguh untuk menurunkan emisi karbon dari hulu hingga hilir. Baru setelah itu kalau benar-benar semua upaya sudah dilakukan dan masih ada residu emisi yang tak bisa direduksi, maka dilakukan offsetting.
“Bukan dari awal mengampanyekan carbon offset, ini sama saja hanya bentuk ‘cuci dosa’ atau mengalihkan permasalahan dari satu tempat ke tempat lainnya,” sindir Fajar.
Ketiga, klaim bahwa Indonesia sudah melakukan proses rehabilitasi dan restorasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare, Fajar melihat, sesungguhnya yang terjadi adalah Indonesia sedang berproses untuk hal itu. Dan jamak yang terjadi jika paradigmanya sekadar proyek, maka kemungkinan berhasil bisa jadi di bawah 50 persen, terutama jika tidak diimbangi dengan pengelolaan yang teritengrasi dari kawasan hutan mangrove tadi.
Keempat, klaim bahwa Indonesia akan mencapai carbon net sink pada tahun 2030, Fajar menyebut itu masih merupakan rencana, dan masih banyak pihak yang mempertanyakan peluang keberhasilannya. Terutama jika beberapa sektor ternyata tak sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan.
“Akan selalu ada tarikan-tarikan kepentingan ekonomi jangka pendek yang punya peluang besar menggagalkan pencapaian tersebut,” ucapnya.
Kelima, klaim bahwa Indonesia sedang mengembangkan ekosistem mobil listrik. Fajar memandang, sejauh ini juga roadmap dan langkah-langkahnya masih belum jelas. Selain itu belum pernah ada kampanye atau sosialisasi yang masif kepada para pemangku kepentingan termasuk bentuk insentif dan disinsentif maupun kebijakan fiskal yang diambil agar orang tertarik untuk pindah ke moda transportasi listrik.
Fajar menilai, sebagian besar yang disampaikan Jokowi ini baru kebijakan dan rencana kebijakan yang sangat makro dan sampai saat ini sebagian besarnya belum ada turunan kebijakan teknisnya. Selain itu juga, sebagiannya bahkan dikhawatirkan akan kontrapoduktif dengan kebijakan low carbon development yang dicanangkan pemerintah sendiri. Khususnya apabila itu menyangkut tarikan-tarikan kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek.
“Jadi menurut saya memang masih jauh panggang dari api,” tegasnya.
“Ya saya kira kalau kemudian para pakar yang tahu persis kondisi Indonesia, mungkin akan tertawa mendengarkan apa yang disampaikan Pak Jokowi beberapa hari yang lalu,” sambung Fajar.
Bahaya
Ia menilai, rezim pembohong seperti ini sangat membahayakan, tidak hanya bagi masyarakatnya, tapi juga membahayakan bagi umat manusia secara keseluruhan. Sebab ketidakjujuran akan membuat banyak pengambil kebijakan berangkat dari asumsi yang tidak akurat atau tidak tepat.
Dan menurutnya, ini kalau dalam konteks keberlanjutan akan sangat membahayakan. Karena jika kebijakan publik dirumuskan dengan data atau asumsi-asumsi yang salah atau tidak akurat maka akan menghasilkan program-program, rumusan-rumusan target dan indikator yang juga salah. Ini sangat-sangat berbahaya.
“Jadi kalau rezim yang berkuasa sering berbohong, maka sangat mungkin akan banyak kebijakan-kebijakan publik yang dirumuskan dan diputuskan dengan cara-cara yang keliru alias tidak tepat. Dan ini membahayakan keberlanjutan negara ini ke depannya,” pungkas Fajar.[] Agung Sumartono