Petunjuk dan Kesesatan di Dalam (Perkara) al-Ushul

 Petunjuk dan Kesesatan di Dalam (Perkara) al-Ushul

Soal:

Bismillah ar-rahman ar-rahim.

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan kepada syaikhuna, di dalam asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III halaman 301 baris pertama dan kedua dinyatakan: “adapun al-furû’ (cabang) maka tidak mengikutinya dinilai kefasikan jadi tidak disebutkan atasnya al-hudâ (petunjuk)”. Dikatakan kepada saya bahwa wajib ditempatkan kata adh-dhalâl -kesesatan- menggantikan kata al-hudâ -petunjuk- itu. Apakah kata itu di sini keliru? Terima kasih. (Nadir az-Za’tariy)

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Topik yang Anda isyaratkan dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III ada dalam bab “Kullu Ijmâ’in Ghayru Ijmâ’i ash-Shahâbati Laysa bi-Dalîlin Syar’iyyin -Semua Ijmak Yang Bukan Ijmak Shahabat Bukan Merupakan Dalil Syara’-“. Saya kutipkan apa yang diperlukan untuk jawaban atas pertanyaan Anda:

“ … adapun terkait ijmak ummat, ijmak ahlul halli wal ‘aqdi dan ijmak para mujtahid, mereka mengatakan bahwa ijmak ummat merupakan hujjah syar’iyah. Mereka berdalil atas hal itu dengan firman Allah SWT:

﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (TQS an-Nisa’ [4]: 115).

Aspek penarikan hujjah dengan ayat ini bahwa Allah SWT mengancam orang yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Andai yang demikian itu tidak haram niscaya Allah tidak mengancam atasnya, dan niscaya antara hal itu dengan yang haram berupa penentangan kepada Rasul saw tidak dihimpunkan dalam ancaman, sebagaimana tidak mungkin ada ancaman terhadap penghimpunan antara kekufuran dan memakan roti yang mubah. Jadi mengikuti selain jalan orang-orang mukmin adalah haram. Dan jika mengikuti selain jalan mereka adalah haram maka wajib mengikuti jalan mereka. Sebab tidak ada jalan keluar dari keduanya, yakni tidak ada pertengahan di antara keduanya. Dan dari wajibnya mengikuti jalan mereka, menuntut keberadaan ijmak ummat merupakan hujjah, sebab jalan seseorang adalah ucapan, perbuatan atau keyakinan yang dia pilih. Jawaban atas yang demikian itu ada dalam tiga aspek:

Pertama, ayat tersebut meski qath’iy tsubut tetapi zhanni ad-dilâlah. Jadi tidak layak menjadi dalil bahwa ijmak ummat merupakan dalil syar’iy. Sebab penetapan bahwa itu merupakan dalil syar’iy harus menggunakan dalil qath’iy, sebab itu termasuk bagian dari ushul, sehingga di situ tidak cukup dalil zhanniy.

Kedua, al-hudâ (petunjuk) di dalam ayat tersebut berarti ad-dalîl (dalil/bukti) atas keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw, dan tidak berarti hukum syara’. Sebab al-hudâ (petunjuk) di dalam perkara ushul itu adalah lawan dari adh-dhalâl (kesesatan). Adapun di dalam al-furû’ (cabang) maka tidak mengikutinya dinilai sebagai kefasikan (al-fisq) dan tidak disebut atas al-hudâ (petunjuk). Adapun sabîl al-mu`minîn (jalan orang-orang mukmin) yang wajib diikuti adalah apa yang dengannya mereka menjadi orang-orang mukmin yaitu tauhid. Tidak wajib mengikuti mereka dalam kemubahan. Juga tidak semua yang berbeda dengan jalan mereka dinilai haram. Pengharaman apa yang berbeda dengan jalan orang-orang mukmin itu hanya benar dalam satu potret, yaitu kekufuran dan semacamnya yang termasuk perkara ushul yang tidak ada perbedaan tentangnya. Yang menunjukkan bahwa wajib mengikuti jalan orang-orang mukmin yang dengannya mereka menjadi mukmin, adalah bahwa ayat tersebut diturunkan tentang orang yang murtad. Sebab turunnya (sabab an-nuzûl) ayat tersebut menentukan topik yang dengannya ayat tersebut diturunkan, meski bersifat umum mencakup semua apa yang terhadapnya berlaku topik ini. Jadi ayat tersebut khusus dalam topik murtad dan tidak berlaku umum mencakup semua jalan orang-orang mukmin”, selesai kutipan dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III.

Supaya kami jelaskan jawaban atas pertanyaan Anda: apakah seperti yang ada di teks di atas “maka tidak disebutkan atasnya al-hudâ -petunjuk-“, atau seperti yang ada dalam ucapan teman Anda “maka tidak disebutkan atasnya adh-dhalâl -kesesatan-“, maka harus dijelaskan kata al-hudâ -petunjuk- tersebut:

  1. Sesungguhnya al-hudâ -petunjuk- di dalam ushul itu berarti akidah, yakni iman kepada Allah, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan seterusnya. Dan lawan dari al-hudâ -petunjuk- adalah adh-dhalâl -kesesatan-
  2. Teks ayat tersebut menegaskan hal itu. Allah SWT telah mengancam orang yang tidak di atas petunjuk dengan ancaman Jahannam dan itu seburuk-buruk tempat kembali, yakni orang yang tidak di atas al-hudâ -petunjuk- maka dia kafir. Jadi al-hudâ -petunjuk- itu adalah Akidah Islamiyah dan bukan hukum-hukum syara’. Dan berikutnya, tidak mengikuti petunjuk itu adalah kufur yakni sesat –dhalâl-. Akan tetapi, tidak mengikuti hukum syara’ adalah kefasikan (al-fisqu).
  3. Hal itu juga ditegaskan oleh sebab turunnya ayat tersebut yang telah kami sebutkan di atas. Yaitu bahwa ayat tersebut diturunkan tentang seorang laki-laki yang murtad, dan itu berlaku terhadap setiap orang yang murtad. Oleh karena itu, al-hudâ -petunjuk- di dalam ayat tersebut adalah akidah. Sebab orang yang murtad, dia tidak di atas petunjuk (al-hudâ), yakni dia menjadi kafir. Jadi al-hudâ -petunjuk- itu adalah Akidah Islamiyah.
  4. Dari yang disebutkan sebelumnya, maka masalah tersebut adalah sebagai berikut:
  5. Sesungguhnya, orang yang telah menjadi jelas untuknya petunjuk (al-hudâ) yakni Akidah Islam kemudian dia menentang Rasul saw dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin berupa tauhid dan iman, dia menjadi kafir, sesat, masuk ke dalam Jahannam dan itu seburuk -buruk tempat kembali. Yakni bahwa petunjuk (al-hudâ) itu adalah mengikuti jalan orang-orang mukmin yakni iman yang diyakini orang-orang mukmin. Dan lawan dari petunjuk (al-hudâ) dengan makna itu adalah kesesatan –adh-dhalâl-.
  6. Adapun mengikuti hukum-hukum syara’ (al-furû’), maka bukan yang dimaksud dengan petunjuk yang ada di dalam ayat yang mulia itu, tetapi (mengikuti hukum syara’) itu merupakan amal saleh, dan lawannya adalah kefasikan (al-fisqu).
  7. Ini berarti bahwa mengikuti ushul yakni akidah adalah al-hudâ (petunjuk) dan tidak mengikuti adalah kesesatan (dhalâl). Sedangkan mengikuti al-furû’ adalah amal saleh dan tidak mengikuti al-furû’ adalah al-fisqu (kefasikan).
  8. Dan sekarang kita renungkan nas tersebut:

(Bahwa al-hudâ (petunjuk) di dalam ayat tersebut berarti dalil (bukti) atas keesaan Allah SWT dan kenabian Muhammad saw, dan tidak berarti hukum syara’. Sebab al-hudâ (petunjuk) itu tentang ushul dan lawannya adalah kesesatan (adh-dhalâl).

Adapun al-furû’ (cabang) maka tidak mengikutinya dinilai kefasikan. Jadi tidak disebut atasnya al-hudâ (petunjuk)”. Sebagaimana yang Anda lihat, nas itu terdiri dari dua kalimat:

Pertama: terhadap tidak mengikuti al-ushûl yakni iman disebutkan sesat (adh-dhalâl) … dan atas mengikuti al-ushûl yakni iman disebutkan al-hudâ (petunjuk) …

Kedua: terhadap tidak mengikuti al-furû’ yakni hukum-hukum syara’ disebutkan al-fisq (kefasikan) … dan terhadap mengikuti al-furû’ yakni mengikuti hukum-hukum syara’ disebutkan amal saleh…

Sebagaimana Anda lihat, nas itu jelas dalam kalimat pertama … Adapun kalimat kedua, maka bagian pertamanya jelas. Jadi tidak mengikuti al-furû adalah kefasikan … Tetapi kami di bagian kedua menggunakan kata ganti (adh-dhamîr), kami katakan lâ yuthlaqu ‘alayh al-hudâ -tidak disebutkan terhadapnya petunjuk-. Dan itu bisa dipahami dari konteks bahwa kata ganti di sini kembali kepada al-ittibâ’ sebab kami di bagian pertama kalimat, kami sebutkan tentang ‘adamu al-ittibâ’ -tidak mengikuti-. Begitulah, di bagian kedua adalah tentang al-ittibâ’ (mengikuti). Sehingga kata ganti dalam ‘alayh -terhadapnya- kembali kepada mengikuti (al-ittibâ’). Yakni begini: “falâ yuthlaqu ‘alâ al-ittibâ’i al-furû’ al-hudâ – maka terhadap mengikuti furu’ tidak disebutkan al-hudâ -petunjuk-‘. Dengan begitu, kata al-hudâ -petunjuk- itu di sini adalah shahih, dan bukan seperti yang dikatakan teman Anda (diganti) adh-dhalâl (kesesatan).

Dan berikutnya, konotasi kalimat kedua adalah begini: adapun al-furû’ maka tidak mengikutinya dinilai kefasikan, dan terhadap mengikuti al-furû’ tidak disebut al-hudâ -petunjuk-“.

Saya berharap di dalam ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

4 Shafar al-Khayr 1442 H

21 September 2020 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/70681.html

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *