Oleh: Salamuddin Daeng
Memang enak jadi presiden, bisa menggunakan segala macam cara termasuk memperalat BUMN, menggunakan uang dan kekayaan BUMN untuk mempertahankan kekuasaan.
Pemerintah tidak peduli BUMN bangkrut, toch bukan perusahaan milik pribadi atau keluarga. Pemerintah juga tidak peduli BUMN banyak utang, toch bukan utang pribadi atau keluarga.
Itulah yang terjadi dengan Pertamina sekarang. Sebuah BUMN yang 100 % sahamnya dimiliki oleh pemerintah, kini menjadi tumbal bagi ambisi pencitraan penguasa yang selalu tampil gagah-gagahan meskipun sebenarnya kere.
Sebuah sumber internal Pertamina menyebutkan bahwa pemerintah Jokowi berhutang sekitar Rp. 40 triliun kepada Pertamina, dan belum ada tanda tanda akan dibayar. Akibatnya Pertamina mengalami pendarahan keuangan yang parah. Para pekerja BUMN tersebut menjadi korban.
Tidak hanya itu pertamina sepanjang tahun ini telah mengeluarkan uang sedikitnya Rp. 800 miliar demi urusan BBM satu harga yang diinstruksikan Presiden Jokowi. Presiden meminta Pertamina mensubsidi BBM sementara pemerintah menolak melakukan subsidi melalui APBN.
Tindakan pemerintah yang memperalat keuangan pertamina akan berakibat fatal, mengingat Pertamina sampai saat ini masih menanggung utang sekitar Rp. 100 triliun ke pasar keuangan global.
Apa yang dihadapi Pertamina tampaknya juga sama dengan yang dihadapi BUMN yang lain, dipaksa berhutang, dipaksa mengeluarkan dana subsidi, uangnya dipinjam oleh pemerintah, yang mengakibatkan BUMN mengalami pendarahan.
Cara pemerintahan Jokowi menggunakan sumber daya BUMN untuk pencitraan pribadi adalah cara cara preman, penggunaan kekuasaan secara semena-mena.
Mestinya skema BBM satu harga yang dijalankan Presiden Jokowi menggunakan mekanisme UU APBN sehingga jelas pertanggungjawabannya dan tidak dapat disalahgunakan untuk kepentingan pencitraan Pribadi presiden.[]