Mediaumat.news – Pengelolaan tambang migas Blok Rokan Riau yang diambil alih PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), unit usaha PT Pertamina (Persero) dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) bukanlah hal yang istimewa.
“Pengelolaan Blok Rokan oleh Pertamina bukan hal yang istimewa,” ujar Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada Mediaumat.news, Kamis (12/8/2021).
Ishak mengungkapkan, ada empat alasan kenapa pengambil alihan Blok Rokan itu bukan hal yang istimewa.
Pertama, cadangan blok tersebut sudah semakin menipis setelah hampir satu abad dikelola oleh perusahaan minyak asing, yakni Caltex yang kemudian berubah menjadi Chevron.
Kedua, pengelolaan tersebut bukan karena BUMN Indonesia (Pertamina) berdaulat atas pengelolaan SDA di Indonesia, namun karena Pertamina menang dalam pelelangan atas blok tersebut setelah Chevron habis masa kontraknya.
“Dengan kata lain, posisi Pertamina sejajar dengan perusahaan minyak lain dalam memperebutkan pengelolaan blok migas di tanah air. Ini merupakan konsekuensi UU Migas,” beber Ishak.
Ketiga, untuk mengelola blok tersebut, Pertamina juga harus membayar signature bonus USD780 juta dan Komitmen Kerja Pasti sebesar USD500 juta. Jika ditotal nilainya sekitar Rp19 triliun.
“Ini semakin menunjukkan bahwa tidak ada unsur kedaulatan pemerintah yang diwakili Pertamina dalam mengelola SDA migas di negara ini,” kata Ishak.
Keempat, hal tersebut jelas bertentangan dengan syariat Islam. Syariat Islam mengharuskan SDA yang melimpah seperti migas harus dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, apalagi asing, sebab merupakan barang milik umum.
“Hal-hal tersebut terjadi lantaran sumber daya alam di negara ini dikelola atas prinsip liberalisme,” pungkas Ishak.[] Agung Sumartono