Mediaumat.id – Wacana tentang rencana penghapusan BBM jenis pertalite dan nantinya kendaraan dipaksa beralih ke pertamax green, dinilai bakal makin merusak kedaulatan dan ketahanan energi nasional.
“Potensi kebijakan ini pasti makin merusak kedaulatan dan ketahanan energi nasional khusus BBM,’ kritik Pemerhati Politik Faisal Sallatalolhy di dalam sebuah tulisan di akun Facebook pribadinya Faisal Lohy, Kamis (7/9/2023).
Penting diketahui, sebagaimana disampaikan Dirut Pertamina Nicke Widyawati di dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (30/8/2023), pihaknya tengah mengkaji untuk pencampuran bioetanol pada BBM jenis pertalite (RON 90), sehingga nantinya produk yang dijual perseroan minimal setara BBM RON 92 atau akan disebut pertamax green 92.
Namun saat ini Pertamina juga mulai mencampurkan etanol 7% (E7) pada pertamax (RON 92), sehingga menaikkan kadar oktan menjadi setara RON 95, sehingga dijual dengan nama pertamax green 95.
Bahkan ke depan, perseroan berencana hanya menjual tiga jenis bensin yakni pertamax green 92, pertamax green 95, dan pertamax turbo.
Terlepas itu, lebih lanjut Faisal pun melontarkan pertanyaannya, “Memangnya Indonesia, terutama Pertamina punya kesanggupan menyiapkan etanol, E7 persen sesuai kebutuhan produksi pertamax?”
Sedangkan data Kementerian ESDM mencatat, kuota penyediaan E7 oleh negara, terutama PT Pertamina, hanya sanggup memenuhi kebutuhan produksi sebanyak 5,77 juta kiloliter pertamax 92 sepanjang 2022. Itu pun, kata Faisal, sebagian diimpor Pertamina dari luar.
Pun dengan APBN 2023 juga mencatat, bahwa kuota konsumsi BBM pertalite 2023 ditetapkan 23 juta kiloliter.
“Kalau pertalite dihapus dan jumlah pengguna sebanyak itu dialihkan ke pertamax, dari mana kebutuhan etanol 7 persen untuk produksi pertamax sebanyak 23 juta kiloliter diperoleh?” tanyanya.
“Mau tidak mau, impor etanol harus dinaikkan,” jawabnya tegas. Sebab untuk kebutuhan produksi pertamax 5,77 kiloliter saja, seperti yang ia paparkan sebelumnya, etanol masih harus diimpor.
Dungu
Celakanya, rencana penaikan impor etanol 7% untuk dukung migrasi pertalite ke pertamax sudah dijawab dirut Pertamina, Nicke Widyawati.
Bahkan, kata Faisal, di saat yang sama Dirut telah meminta kepada Kementerian Keuangan menghapus bea masuk impor etanol untuk mendukung kebijakan penghapusan pertalite dan diganti pertamax green 92.
“Di sinilah letak ‘kedunguan’ pemerintah. Ngotot lahirkan kebijakan tanpa memperhatikan, pertimbangan inward looking dan thread spesific,” tandasnya.
Artinya, negeri ini bakal ‘diserbu’ etanol impor yang sangat berpotensi menjebol APBN, serta dikarenakan harga di pengguna terakhir dipastikan naik, juga berdampak bakal makin memiskinkan masyarakat.
Sebab, menurut Faisal, impor etanol untuk sekadar mengejar produksi pertamax 92 di atas kuota 22 juta kiloliter bukanlah jumlah sedikit.
Memang, jelas Faisal, ambisi menaikan standar BBM untuk mereduksi polusi udara adalah hal positif. “Namun harus mempertimbangkan kesanggupan dan daya dukung internal,” pungkasnya.[] Zainul Krian