Persekusi dalam Sebuah Perspektif

Nur Rakhmad, SH (LBH Pelita Umat Jatim)

Beberapa kasus persekusi menyeruak Indonesia belakangan ini. Persekusi disorot lantaran perbuatan itu dapat meresahkan masyarakat. Sebenarnya kata persekusi itu sudah ada sejak dahulu.  Menurut Damar Juniarto (Anggota Koalisi Anti Persekusi dari Safenet) Damar mengungkapkan bahwa, Persekusi itu beda dengan main hakim sendiri, dalam makna yang sebenarnya persekusi itu adalah tindakan memburu seseorang atau golongan tertentu. “Adalah tindakan suatu pihak secara sewenang-wenang dan sistematis juga luas, jadi beda dengan main hakim sendiri,” jelas Damar saat menghadiri konferensi press bersama YLBHI serta Koalisi Anti persekusi, di kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (1/6/17).

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan persekusi menjadi atensi kepolisian. Tito juga telah memerintahkan jajarannya tidak gentar mengusut setiap kasus persekusi. “Mengenai persekusi, saya perintahkan kepada seluruh jajaran kepolisian, kalau ada yang melakukan upaya itu, jangan takut. Saya akan tindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku,” ujar Tito, Kamis (1/5) (detik.com, 2/6/17).

What?

Menurut Wikipedia Pengertian Persekusi (bahasa Inggris: persecution) adalah perlakuan buruk atau penganiayaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan, ketakutan, dan berbagai faktor lain dapat menjadi indikator munculnya persekusi, tetapi hanya penderitaan yang cukup berat yang dapat dikelompokkan sebagai persekusi.

Menurut Masyhur Effendi, Taufani Sukmana Evandri (2007) Pengertian persekusi adalah perampasan dengan sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar dan berhubungan dengan meniadakan identitas kelompok yang merupakan pelanggaran hukum internasional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang thd seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

Dari Media kumparan.com, Kombes. Pol. Drs. Martinus Sitompul, M.SiKombes. Pol. Drs. Martinus Sitompul, M.Si

Polisi menegaskan aksi persekusi merupakan tindakan melawan hukum. Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Martinus Sitompul, mengatakan ada 4 proses hukum untuk menjerat pelaku persekusi.

“Persekusi sebagaimana dipahami bahwa, persekusi  adalah perbuatan melawan hukum, perbuatan melawan hukum ini bisa dipidana bisa dilakukan proses hukum,” kata Martinus di Pos Polisi Cikopo, Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (7/6).

[Baca juga: Ada 87 Aduan Kasus Persekusi di Bulan Juni, 28 2017 terkait Habib Rizieq]

Proses hukum yang pertama, apabila memasuki rumah atau kantor tanpa seijin oleh pemilik rumah atau kantor yang kemudian tidak diharapkan kehadirannya pelaku bisa dikenakan Pasal 167 ayat 1 KUHP yang ancaman hukumannya satu tahun penjara. Proses hukum kedua, pelaku persekusi yang melakukan tindakan pememaksaan dapat dijerat Pasal 335 KUHP yang ancaman hukumannya 5 tahun penjara. Yang ini banyak menimpa beberapa ormas dan beberapa ulama.

“Yang ketiga apabila membawa satu orang, dua orang kemudian ke suatu tempat terpisah, yang dalam hal ini yang bersangkutan tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan yang terpaksa, ia (korban) tidak bisa berhubungan dengan dunia luar, maka ini bisa dikategorikan sebagai sebuah penculikan,” ungkap dia.

Lalu keempat, jika pelaku persekusi melakukan penganiayaan maka akan dijerat dengan Pasal 351 KUHP dengan hukuman 2 tahun penjara. Apabila penganiayaan itu dilakukan bersama-sama maka jeratan pasal yang dikenakan yakni Pasal 170 KHUP tentang pengeroyokan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun.

[Baca juga: Komnas HAM: Persekusi Sama Dengan Merampas Hak Kemerdekaan Berpendapat]

“Bagi kami, aparat kepolisian, telah diperintahkan kepada jajaran Polda dan Polres untuk melakukan tindakan tegas apabila ada kegiatan-kegiatan persekusi ini dilakukan,” tegas Martinus.

Dengan adanya tindakan tegas itu dia berharap dapat mencegah munculnya aksi persekusi lagi.

Ironi

Kasus persekusi belakangan yang sempat viral adalah yang menimpa Ustadz Felix Siauw, sebagai dai muda yang tengah digandrungi oleh umat Islam, khususnya kawula muda. Beliau berencana mengisi kajian di Masjid Manarul Islam, Bangil mengalami penolakan dari sebuah ormas di wilayah tersebut pada Sabtu, 4 November 2017. Beliau dianggap sebagai dai yang anti-Pancasila dan anti-NKRI.

Tak hanya Ustadz Felix yang mengalami persekusi, Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) dan KH Shobri Lubis juga ditolak di Garut. Pengurus Pimpinan Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Garut dikabarkan keberatan dengan rencana tablig akbar yang akan diisi oleh UBN, pimpinan AQL Center dan KH shobri (Ketua FPI). Acara tersebut rencananya akan diselenggarakan di Masjid Agung Alun-alun Kota Garut, Jawa Barat, pada Ahad, 11 November mendatang. Kemudian PCNU Garut melayangkan surat keberatan kepada ketua DKM Masjid Agung tertanggal 5 November 2017. Dalam suratnya, PCNU mengungkapkan alasan keberatan dengan kehadiran UBN dan KH Shobir, yaitu karena kedua dai tersebut kerap memberikan ceramah yang tidak menyejukkan, bahkan cenderung melukai perasaan sebagian warga Indonesia dan menimbukan keresahan. Jika keduanya tetap hadir, PCNU Garut mengkhawatirkan akan terjadi gejolak dan gerakan massa penolakan. PCNU Garut mengungkapkan, ada baiknya ketua DKM Masjid Agung mengganti dengan penceramah yang menyejukkan.

Selain persekusi terhadap sebagian dai, pernah beredar berita  larangan mahasisiwi bercadar di UIN Sunan Kalijaga menjadi perbincangan hangat banyak kalangan.  Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, mengatakan bahwa peningkatan jumlah mahasiswi bercadar yang menjadi puluhan menunjukkan gejala peningkatan radikalisme. Bahkan dia akan memecat dan mengeluarkan mahasiswinya yang tidak mau melepas cadar saat beraktivitas di kampus.

Maraknya kasus persekusi yang menimpa aktivis Islam belakangan terjadi di tengah-tengah penempatan istilah radikalisme yang akhir-akhir ini dilakukan pemerintah untuk menilai suatu pemikiran atau perbuatan dari individu atau kelompok tertentu, tidak diikuti dengan penjelasan indikator perbuatan atau pemikiran seperti apa yang masuk dalam kualifikasi radikal. Ketidakjelasan tolok ukur tersebut juga dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat karena satu sama lain akan saling “mempersekusi” dengan dalilnya sendiri-sendiri yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekisruhan dan kegaduhan yang dalam skala luas dapat menimbulkan perpecahan ditengah bangsa ini. Padahal pemerintah harusnya menghitung bahwa tuduhan radikalisme tanpa tolok ukur yang jelas tersebut, dapat memicu sentimen keagamaan ditengah masyarakat, apabila tuduhan radikalisme dilekatkan secara serampangan pada ajaran agama tertentu.

Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator hendaknya menjamin tidak ada pemasungan syiar dakwah Islam di masyarakat. Pemerintah hendaknya melayani masyarakatnya secara berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menghargai hak azasi manusia, nilai agama, persatuan dan kesatuan bangsa.

Resonansi

Apabila menemukan kegiatan di tengah masyarakat maupun postingan di media sosial yang dirasa meresahkan, masyarakat hendaknya tidak main hakim sendiri. Masyarakat bisa melaporkan ke polisi. Dan yang menjadi basis akidah umat Islam, tindakan melarang yang ma’ruf, menganjurkan kemungkaran tentu bertentangan dalam kaidah Islam, sebuah agama yang diyakini mayoritas rakyat di Negara ini.

Melarang dan mempersekusi sebagian umat Islam yang mengekspresikan syiar dan simbol-simbol Islam adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Di saat radikalisme ditafsirkan secara ambigu, tindakan menempatkan syiar Islam dan penegakan syariah Islam dan mengekspresikan simbol-simbol Islam dengan mengkaitkannya dengan gejala radikalisme, tidaklah berdasar, dan berbahaya. Karena pada hakekatnya seruan para dai dan kesadaran aktivis dakwah dalam mengekspresikan  syiar dakwah untuk mewujudkan kehidupan Islami adalah bentuk  perwujudan ketaatannya kepada Sang Pemberi Hidup, Sang Khaliq yang telah memberikan seperangkat aturan bagi dirinya.

Pemerintah diharapkan menyampaikan komunikasi publik dengan pendekatan merekatkan ukhuwah sesama rakyatnya, pemerintah harus menjadi bagian problem solving di tengah masyarakat bukan malah menjadi  problem entity. Penggunaan istilah radikalisme tanpa diikuti dengan penjelasan tolok ukurnya, berpotensi menciptakan problem baru dan berpotensi digunakan oknum jahat untuk  memecahbelah ukhuwah dan keutuhan bangsa. []

Share artikel ini: