Persekusi Dakwah Hingga ke Luar Negeri
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Ketika penyiksaan, pemboikotan hingga ancaman pembunuhan benar-benar mengancam para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim, maka demi menjaga keimanan mereka dari berbagai ujian yang bisa membuat mereka murtad kembali, Nabi SAW memerintahkan mereka untuk hijrah ke Habasyah. Peristiwa ini disebut hijrah pertama. Dalam kitab ar-Rahiq al-Makhtum, disebutkan, bahwa tekanan yang dimulai pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 kenabian masih lemah. Tapi, terus meningkat hingga pertengahan tahun ke-5 kenabian.
Saat itu, QS al-Kahfi turun, selain untuk menjawab pertanyaan kaum kafir Quraisy, juga memberi isyarat kepada orang Mukmin tentang kisah Ashab al-Kahfi, “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” [Q.s. al-Kahfi: 16]
Pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian, beberapa sahabat diizinkan Nabi SAW untuk hijrah ke Habasyah. Mereka berjumlah 12 pria, dan empat wanita. Mereka dipimpin oleh Utsman bin ‘Affan, bersama Sayyidah Ruqayyah, putri Nabi SAW. Mereka berangkat di tengah malam, sehingga orang-orang Quraisy tidak bisa memprediksi bahwa mereka keluar hendak ke laut. Mereka pun dibawa oleh dua kapal perniagaan yang membawa mereka ke Habasyah.
Pada bulan Ramadhan, tahun yang sama, Nabi SAW keluar ke Haram, di sana ada banyak orang, termasuk pemuka kaum kafir. Saat itu, Nabi SAW tiba-tiba membacakan QS an-Najm, ketika sampai di akhir surat itu seolah jiwa mereka melayang, karena begitu dahsyatnya mukjizat Alquran yang mereka dengar. Kemudian Nabi pun membaca, “Fasjudu li-Llahi wa’buduh” [bersujudlah kepada Allah, dan sembahlah] [QS an-Najm: 62], Nabi pun sujud. Tak satu pun yang hadir di sana sanggup menahan diri, kecuali ikut bersujud.
Berita tersebut sampai kepada para sahabat di Habasyah, bahwa orang kafir Quraisy telah masuk Islam. Karena itu, mereka pun kembali ke Makkah. Tetapi, nyatanya kaum kafir Quraisy itu tidak masuk Islam. Maka, ujian demi ujian tak urung mereka alami kembali di Makkah. Karena itu, Nabi SAW mengizinkan mereka hijrah yang kedua ke Habasyah. Tetapi, ini lebih sulit, karena tujuan mereka sudah diketahui oleh kaum kafir Quraisy. Jumlah mereka yang hijrah kali ini sebanyak 83 pria, dan 19 wanita.
Ketika kaum kafir Quraisy tahu, bahwa Habasyah merupakan tempat yang aman untuk melindungi agama orang-orang Islam, maka mereka mengirim dua orang yang mempunyai kemampuan diplomasi ulung. Mereka adalah ‘Amru bin al-‘Ash dan dan ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka pun menyusul ke Habasyah, menghadap Raja Najasyi, dengan membawa hadiah banyak, dengan tujuan untuk mendeportasi kaum Muslim keluar dari Habasyah, dan kembali ke Makkah.
‘Amru bin al-‘Ash berkata kepada Raja Najasyi, “Wahai Paduka Raja, telah melarikan diri ke negeri Anda, para pemuda yang bodoh. Mereka meninggalkan agama kaumnya, juga tidak memeluk agama Paduka. Mereka membawa agama baru, yang mereka buat. Kami dan Paduka tidak mengenalnya. Kami telah mengirim kepada Paduka, pemuka kaumnya, agar Paduka mendeportasi mereka kepada kaumnya..” Ucapan delegasi kaum kafir Quraisy ini diamini oleh Petrik, pemuka agama Nasrani. Namun, Raja Najasyi mempunyai pertimbangan lain.
Raja Najasyi bertanya kepada mereka, “Gerangan agama apakah ini, yang membuat kalian memisahkan diri dari kaum kalian? Dengannya, kalian tidak memeluk agamaku, juga agama siapapun dari agama-agama ini.” Ja’far bin Abu Thalib, sebagai juru bicara kaum Muslim, menjelaskan, “Wahai Paduka Raja, sebelumnya kami adalah kaum Jahiliyah. Kami menyembah berhala, makan bangkai, melakukan perbuatan keji [zina], memutus kekerabatan, berbuat buruk kepada tetangga, yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Kami tetap seperti itu hingga Allah mengutus kepada kami seorang utusan di antara kami, yang kami ketahui nasabnya, kejujurannya, amanah dan kesucian jiwanya.
Beliau mengajak kami untuk mengesakan dan menyembah Allah, meninggalkan apa yang sebelumnya kami dan nenek moyang kami sembah, baik batu maupun berhala. Beliau memerintahkan kami berkata jujur, menunaikan amanah, menyambung kekerabatan, berbuat baik dengan tetangga, tidak menodai kehormatan dan darah, melarang kami berbuat keji, berkata bohong, makan harta anak yatim, menuduh orang baik-baik berzina. Beliau memerintahkan kami menyembah Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Kami pun mengikutinya, sebagaimana agama Allah yang beliau bawa kepada kami. Kami pun menyembah Allah, dan tidak menyekutukannya dengan apapun. Kami haramkan apa yang Dia haramkan untuk kami. Kami halalkan apa yang Dia halalkan untuk kami.
Maka, kaum kami pun memusuhi kami. Mereka menyiksa kami, dan mengusik kami dari agama kami, agar kami kembali menyembah berhala daripada menyembah Allah, serta menghalalkan kembali kebusukan yang sebelumnya kami anggap halal. Ketika mereka memaksa kami, menzalimi kami dan mengintimidasi kami, menghalangi kami dari agama kami, maka kami keluar ke negeri Paduka, dan memilih Paduka dari yang lain. Kami berharap mendapatkan perlindungan Paduka, dan tidak terzalimi di sisi Paduka Raja.”
Raja Najasyi bertanya, “Apa ada bukti sesuatu yang Dia bawa dari sisi Allah?” Ja’far pun menjawab, “Tentu.” Raja Najasyi kembali bertitah, “Coba bacakan kepadaku.” Ja’far membacakan dari awal QS Maryam, “Kaf Ha Ya ‘Ain Shad.” Demi Allah, Raja Najasyi pun menangis, sampai jenggotnya basah karena linangan air mata. Para uskupnya pun ikut menangis, sampai membasahi lembaran mushaf mereka, ketika mereka menyimak apa yang dibacakan Ja’far kepada mereka.
Raja Najasyi pun berkata, “Sesungguhnya ini, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, benar-benar keluar dari sumber yang sama. Pergilah kalian berdua. Demi Allah, saya tidak akan pernah menyerahkan mereka kepada kalian.” Maka, ‘Amru bin al-‘Ash dan ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah pun keluar. ‘Amru berkata kepada ‘Abdullah, “Besok kita akan datang lagi menghadap raja, dan kita akan sampaikan apa yang lebih mendasar lagi.” Esok harinya, ‘Amru pun mengutarakan kepada Raja Najasyi apa yang menjadi pikirannya, dengan harapan bisa mempengaruhinya.
“Wahai Paduka Raja, mereka telah mengatakan tentang Isa bin Maryam kata-kata yang berat.” Raja Najasyi pun mengirim utusan untuk menanyai mereka tentang Isa. Mereka sempat khawatir, tetapi mereka sepakat, apapun yang akan terjadi, mereka harus menyampaikan apa ada. Ja’far menjelaskan, “Kami menyatakan tentang Isa sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi kami, bahwa beliau adalah hamba, utusan, ruh dan kalimah Allah, yang disampaikan kepada Maryam perawan yang suci.”
Setelah dibacakan QS Maryam, dan mendapatkan penjelasan yang jelas dan gamblang tentang Isa, justru Raja Najasyi semakin yakin tentang agama yang dianut oleh Ja’far, dan kawan-kawan. Raja Najasyi pun mengusir utusan kaum Kafir Quraisy, dan hadiah yang mereka bawa disuruh membawa kembali. “Demi Allah, saya tidak menginginkan emas sebesar gunung Dubur [di Habasyah], dengan syarat menganiaya siapapun di antara kalian.”
Maka, upaya persekusi kaum Kafir Quraisy di luar negeri pun gagal total, dengan izin dan pertolongan Allah. Wallahu a’lam.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 211