Persekongkolan Terbesar Barat di Abad Modern

Penguasaan Israel terhadap bumi Palestina tidak lepas dari konspirasi negara-negara adidaya.

Krisis umat manusia terbesar di zaman modern adalah penjajahan Palestina oleh Israel yang dibalut dengan legitimasi negara-negara adidaya dan lembaga internasional.

Betapa tidak, bila ramai penolakan penjajahan terhadap suatu bangsa dilakukan di awal abad modern ini, bahkan Barat harus mengubah strategi imperialismenya melalui dekolonialisasi. Namun dalam perkara penjajahan Israel terhadap Palestina, mereka malah membidani, menjagai dan terus melakukan upaya legitimasi dengan mengaburkan nilai-nilai yang mereka anut sendiri.

Bumi Palestina, yang wilayahnya, berdasarkan historis secara konsisten meliputi wilayah di antara Laut Tengah (Mediteran), Laut Mati (Dead Sea) dan Sungai Jordan (Shaleh. 2002: 13), dan menjadi wilayah yang berpenghuni sejak lama, sejatinya adalah milik umat Islam. Islam hadir di bumi Palestina pada tahun 636 M ketika Khalifah Umar bin Khattab menerima Al Quds setelah mengusir Romawi. Sempat terlepas masa Perang Salib, namun dapat dikuasai kembali hingga berakhirnya kekuasaan Kekhilafahan Turki Ustmani di Palestina tahun 1917.

Namun hingga kini, penjajah Israel dan pendukungnya, terus berupaya memutarbalikkan fakta sejarah kepemilikan tersebut.

Klaim Israel Atas Palestina

Israel menyatakan bahwa bumi Palestina adalah miliknya. Namun Israel tidak menafikan fakta sejarah bahwa bangsa Yahudi telah meninggalkan daerah Palestina berabad-abad. Dan pada masa modern, dengan bantuan Inggris, Israel kembali menduduki Palestina dan mendirikan negara Israel di sana.

Berdasarkan sumber resmi Israel, mereka mencatat bahwa sejarah bangsa Yahudi dimulai sejak 4000 tahun yang lalu. Sejarah perjalanan Israel dibagi menjadi 15 periode. (Ellen Hirsch, Fact About Israel. Israel Information Centre, 1996. 10-31)

Berdasarkan sumber tersebut, jelas bahwa klaim Israel terhadap Palestina dibangun atas klaim sejarah yang mereka susun sendiri.

Penguasaan Israel terhadap bumi Palestina tidak lepas dari konspirasi negara-negara adidaya. Terutama Inggris yang kemudian dilanjutkan oleh Amerika Serikat.

Perjanjian Sykes-Picot

Palestina adalah wilayah kekhilafahan Turki Utsmani. Pada 14 Juli 1915 sampai 10 Maret 1916, Syarif Hussein penguasa Hijaz dan Henry McMahon dari Inggris melakukan perjanjian rahasia. Hussein berjanji untuk melakukan perlawanan kepada Turki Utsmani dan Inggris menjanjikan kemerdekaan negara-negara Arab (Esposito, 1995: 28) berdasarkan penjanjian tersebut pada 16 Juni 1916, Syarif Hussein mendeklarasikan revolusi di Hejaz dan bersekutu dengan Inggris (Shaleh, 2002: 41)

Namun di sisi lain terdapat Persetujuan Sykes-Picot pada 3 Januari 1916 antara Francois Georges Picot dari Perancis dengan Mark Sykes dari Inggris untuk membagi wilayah Turki Utsmani (Van Houeve, 1995:9) Setelah keduanya melakukan survei dan negosiasi, akhirnya perjanjian tersebut diresmikan pada Mei 1916. Kesepakatan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa sekutu akan memenangi Perang Dunia ke-1.

Di bawah Perjanjian Sykes-Picot, Prancis bermaksud untuk mendapatkan wilayah atau kontrol langsung di Suriah, Lebanon dan Turki tenggara, termasuk wilayah di sekitar Alexandretta. Inggris menguasai Irak dan Yordania saat ini dan daerah-daerah di Palestina di sekitar pelabuhan utara Haifa. Sementara, kota suci Yerusalem dan Betlehem akan berada di bawah kendali internasional.

Perjanjian Balfour

Di sisi lain, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour menjanjikan kepada Presiden Federasi Zionis Inggris, Rothschild bahwa bangsa Yahudi untuk mendirikan tanah air bagi mereka di Palestina. Janji ini merupakan imbalan atas bantuan orang-orang Yahudi Zionis di seluruh dunia terhadap Inggris selama Perang Dunia I. Deklarasi ini disetujui oleh Kabinet Inggris. (Husaini, 2004: 13) Tokoh utama dalam deklarasi ini adalah Dr Chaim Weizmann, dosen kimia Universitas Manchester yang juga tokoh zionisme.

Tak lama pasca Deklarasi Balfour, 11 Desember 1917, pasukan Inggris di bawah pimpinan General Allenby memasuki Yerusalem, diikuti ribuan pasukan relawan Yahudi. Peristiwa ini menjadi tanda-tanda berakhirnya pengasingan bangsa Yahudi dari ‘tanah air’nya.

Perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour yang diformalkan dalam Perjanjian San Remo 1920 dan di Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922. Hasilnya Suriah dan Lebanon menjadi mandat Prancis dan Yordania, Irak, dan Palestina termasuk Yerusalem berada di bawah mandat Inggris. Sementara Syarif Hussein gagal mendapatkan wilayah yang dijanjikan McMahon. Dan di sinilah masalah Palestina bermula (Sihbudi dan Hadi, 1992: 103-104)

Inggris kemudian membentuk pemerintahan militer di Palestina akhir Juni 1920 berubah menjadi pemerintahan sipil. Kemudian, diangkat Hermert Samuel sebagai Komisaris Tinggi Inggris di Palestina (1920-1925) yang bertugas untuk merealisasikan proyek-proyek zionis di Palestina. Tahun 1925 berdiri Universitas Ibrani di Yerusalem (Shaleh, 2002: 45-46).

Untuk memperkuat populasi Yahudi di Palestina, maka dilakukanlah migrasi besar-besaran bangsa Yahudi dari Eropa ke Palestina. Migrasi bangsa Yahudi ke Palestina berlangsung selama lima periode sejak 1880.

Peran PBB

Sedari awal kemunculannya, negara Israel mendapatkan legitimasi dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Majelis Umum PBB mengeluarkan pada 29 Nopember 1947 membagi Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka dan rezim internasional khusus untuk kota Yerusalem.

Pada Resolusi no 181, Inggris sudah menginformasikan kepada PBB bahwa mandatnya telah dicabut atas Palestina mulai 1 Agustus 1948. Namun ternyata Inggris menyerahkan mandatnya pada 15 Mei 1948, sehari setelah kemerdekaan Israel.

Bagi Israel, Resolusi ini telah dijadikan dasar dalam klaim deklarasi kemerdekaan Israel dengan menyebutkan “Atas dasar… resolusi Majelis Umum PBB dengan ini kami memproklamirkan berdirinya sebuah negara Yahudi di Tanah Israel – Negara Israel” (Husaini, 2004: 20)

Perang Arab – Israel

Eksistensi Israel yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 14 Mei 1948 diperkuat dengan terjadinya Perang Arab-Israel (al Nakhba) sehari pasca deklarasi kemerdekaan.. Perang ini berakhir pada Juli 1949. Alih-alih dapat mengalahkan Israel, melalui Nakhba, wilayah Israel bertambah menjadi 77,4 persen dari wilayah Palestina (Sachar, 1976: 350). Selain itu, PBB menegaskan penerimaannya Israel sebagai anggota PBB pada 1949.

Perang Arab-Israel berikutnya adalah perang 5-10 Juni 1967 yang dipicu oleh serangan Israel ke Mesir. Israel menuduh Mesirlah yang pertama kali melakukan serangan (Quandr, 1992). Melalui perang ini, Israel memperluas wilayahnya dengan menguasai seluruh wilayah Palestina termasuk Sinai dan Dataran Tinggi Golan.

Perjanjian Camp David

Karena Israel tidak kunjung mengembalikan wilayah yang dikuasainya pada 1967, maka pada tahun 1978 dibuatkan perjanjian Camp David. Isinya adalah disepakatinya hubungan damai antara Israel dan negara-negara Arab dengan menghormati wilayah yang dikuasainya. Dan yang terpenting adalah pengakuan negara-negara Arab terhadap kedaulatan Israel. []Budi Mulyana, Dosen Hubungan Internasional Unikom Bandung – Kandidat Doktor Hubungan Internasional Unpad

Share artikel ini: