Persatuan Dalam Ikatan Aqidah
Oleh: Achmad Fathoni (Dir. El Harokah Research Center)
Umat Islam merupakan satu kesatuan. Pengikatnya adalah akidah Islam. Rasulullah saw., “Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, saat ini kaum Muslim terpecah-belah. Apa yang diderita Muslim di Rohingnya dan Palestina, misalnya, dianggap bukan persoalan umat Islam lain. Pada masa Khilafah, umat Islam seluruh dunia disatukan.
Sepeninggal Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin dari kalangan para sahabat meluaskan wilayahnya hingga mencakup seluruh Jazirah Arab. Penyebaran Islam terus berkembang.
Pada masa Kekhilafahan Umayah umat Islam tersebar hingga Asia Tengah, Cina, Afrika Utara dan Andalusia. Pada masa Umayah juga umat Islam sampai ke Kaukasus, Maroko, Sisilia, dan Spanyol sebelah Barat. Di Timur, umat Islam terus tersebar ke Bukhara, Samarkand, Khawarism, Farghana, Taskent, sampai perbatasan Tiongkok. Pada masa ini pula Islam sampai ke Indonesia. Sunanto (2005) menyatakan bahwa menurut sumber-sumber Cina, menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Rabbih sebagaimana dikutip oleh Azra (2005) mencatat bahwa pada tahun 100H (718M) Raja Sriwijaya bernama Srindrawarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhilafahan Umayah meminta dikirim da’ yang bisa menjelaskan Islam kepadanya.
Luasnya wilayah kekuasaan Islam terus berkembang hingga berakhirnya era kekhilafahan Utsmaniyah pada tahun 1924 M. Umat Islam yang tersebar dalam daerah yang mencakup dua pertiga dunia ini disatukan dalam satu akidah. Mereka menyatu dalam kepemimpinan Khalifah. Hal ini menegaskan bahwa Khilafah merupakan institusi yang dapat mewujudkan kesatuan umat secara nyata.
Adapun kewajiban menegakkan Khilafah merupakan perkara syar’i yang sudah diketahui karena urgensitasnya (ma’lum[un] min ad-dini bi adh-dharurah). Allah SWT telah memerin-tahkan Rasulullah saw. untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum Muslim dengan syariah yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48). Perintah ini pun berlaku untuk kaum Muslim. Perintah untuk menegakkan syariah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah). Begitu juga banyak hukum yang tidak terlaksana tanpa adanya khalifah. Misalnya, ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS al-Baqarah [2]: 178), had bagi pelaku zina (QS an-Nur [24]: 2), dan had bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38) tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya khalifah. Jadi, ayat-ayat di atas hakikatnya adalah dalil tentang wajibnya mengangkat seorang imam (khalifah) yang menegakkan syariah Islam itu.
Banyaknya problematika yang tak kunjung selesai seperti pencaplokan kekayaan alam oleh asing, pembunuhan kaum Muslim, penjajahan negeri-negeri Muslim, dan sebagainya yang tidak kunjung usai juga menunjukkan perlunya Khilafah. Selain itu, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَةً
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka matinya adalah (laksana) mati jahiliah (HR Muslim).
Makna hadis ini menegaskan bahwa baiat itu wajib hukumnya. Padahal baiat itu hanya ada bila ada baiat kepada seorang imam (khalifah). Konsekuensinya, hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.
Kini, kaum Muslim yang berjumlah 1,8 miliar jiwa di dunia wajib mengangkat seorang khalifah. Keempat mazhab Ahlus Sunnah memandang wajib adanya Khilafah. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm menyatakan, “Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum Muslim itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum Muslim dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.”[]