Mediaumat.news – Ketua Umum LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 berpotensi diterapkan sewenang-wenang.
“Penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan ekstremisme,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Selasa (19/1/2021).
Chandra khawatir lantaran di dalam Perpres tersebut tidak dijelaskan definisi “ekstremisme”, apa yang dimaksud “ekstremisme” karena apabila dibedah secara bahasa terdapat 2 (dua) kata yaitu “ekstrem” dan “isme”.
Sehingga harus didefinisikan secara konkrit dan memiliki batasan yang jelas paham apa yang dapat dikategorikan “ekstremisme”. Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur sehingga berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang.
Padahal, lanjutnya, hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya.
Menurut Chandra, karena ketiadaan defenisi yang jelas, terukur dan objektif terkait paham/isme dan “ekstrem” maka bagaimana memvalidasi kebenaran? Yang kemudian dikhawatirkan membuat pemerintah berpotensi menjadi aktor tunggal yang dapat memonopoli kebenaran suatu defenisi.
Bila itu terjadi, lanjut Chandra, maka akan seperti zaman abad kegelapan. Saat itu, banyak ilmuwan hingga filsuf yang dipenjarakan dan dibunuh karena menyuarakan pendapat dan pengetahuan yang berbeda.
Galileo Galilei adalah salah satu contoh bagaimana seorang ilmuwan yang memiliki pendapat berbeda mengenai alam semesta, terpaksa dikurung oleh rezim kekuasaan yang “berselingkuh” dengan hukum sebagai alat legitimasi. “Tentu saya sangat yakin bahwa pemerintah tidak ada niat dan tidak berniat untuk melakukan hal demikian,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo