Perppu Ormas, Presidential Threshold dan Pemilu 2019

Saya masih berkeyakinan dikeluarkannya Perrpu Ormas tidak terlepas dari nuansa permainan dan kepentingan politik. Perppu ini telah menelan “korban” dengan dicabutnya izin bagi organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Kemenkumham pada 19 Juli 2017. Hal ini bukan berdasarkan asumsi, namun berdasarkan perabaan saya terhadap beragam peristiwa yang terjadi di negeri ini, khususnya era pemerintahan Jokowi.

Adanya gelombang aksi bela Islam mulai dari aksi  yang dilakukan pada 14 Oktober 2016 atau kerap disebut Aksi 1410 seusai shalat Jumat. Dimana aksi unjuk rasa ini menuntut agar penyelidikan atas kasus penistaan terhadap Alquran yang merujuk pada surah al-Maidah ayat 51. Kemudian pada 04 November 2016 kembali diadakan aksi serupa dengan judul Aksi Bela Islam II atau Aksi Damai 411. Dalam pelaksanaannya tidak lagi di Balai Kota, tetapi berpindah ke depan Istana. Perwakilan massa yang mengikuti Aksi Bela Islam II ini meminta untuk bertemu Presiden Joko Widodo.

Memasuki 2017, tepat pada 11 Februari, kembali diadakan Aksi Bela Islam IV masih dengan tema besar untuk mengawal jalannya persidangan Ahok. Aksi ini dikoordinasi oleh Forum Umat Islam (FUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Aksi yang dikenal juga dengan Aksi 112 awalnya akan dilaksanakan di Lapangan Monas Jakarta. Namun, tempat acara mendapatkan perubahan menjadi di Masjid Istiqlal dengan acara shalat bersama dan tausiyah dari beberapa ulama.

Terakhir pada 21 Februari 2017 menjadi tanda berlangsungnya Aksi Bela Islam V. Peserta aksi berkumpul di kawasan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senayan, Jakarta Pusat. Jika aksi-aksi sebelumnya digaungkan oleh FPI, kali ini aksi yang dilakukan merupakan gagasan Forum Umat Islam (FUI). Meski begitu, peserta yang mengikuti tidak kalah ramai dengan aksi-aksi sebelumnya.

Gelombang aksi tersebut disebabkan karena adanya dugaan kuat penistaan agama pada 27 September 2016 oleh Gubernur DKI pada waktu itu, Ahok di Kepulauan Seribu. Dan saya meyakini, keluarnya pernyataan penistaan agama dari Ahok baik langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh aksi yang dilakukan HTI dengan jargon “Tolak Pemimpin Kafir” serta “Haram Memilih Pemimpin Kafir” pada 04 September 2016 di Bundaran Patung Kuda dengan peserta aksi sekitar 20 ribu orang.

Artinya, saya melihat aksi HTI ini memicu pernyataan dari saudara Ahok. Dan kemudian akhirnya muncul gelombang aksi dari umat Islam, selain juga karena adanya proses hukum yang terkesan lamban atas kasus penistaan agama ini. Dampak politiknya adalah menurunnya elektabilitas dari petahana, dan puncaknya Ahok tidak terpilih menjadi Gubernur DKI pada Februari 2017 dan sekarang menjadi narapidana kasus penistaan agama.

Dari situ, HTI secara tidak langsung memberikan pengaruh politik atas beragam peristiwa di atas. Bahkan kemudian memberikan dampak kalahnya banyak calon pemimpin daerah yang jika dilihat secara dukungan parpol, sebagian besar sama dengan yang mendukung Ahok. Dimana parpol-parpol tersebut juga yang sebagian besarnya sekarang berada di dalam lingkaran kekuasaan.

Perppu Ormas dan Presidential Threshold (PT)

Dari sini, saya melihat ada benang merah, jika seakan terlihat bahwa sasaran utama dari Perppu Ormas Nomor 02 tahun 2017 adalah HTI. Sebab proses panjang dari UU Nomor 17 tahun 2013 dirasa akan sulit untuk membubarkan ormas yang dianggap bermasalah. Apalagi banyak yang berpandangan jika proses dilakukan sebagaimana diatur dalam norma UU Nomor 17 tahun 2013, HTI akan mampu memberikan argumen di pengadilan sehingga tidak layak untuk dibubarkan. Saya tidak berani mengatakan bahwa ini adalah bentuk “balas dendam” menghilangkan “ganjalan”. Namun bisa jadi ada yang beranggapan demikian, atau paling tidak menduga demikian.

Maka, dalam melihat perppu ini saya melihat ada beberapa kesan mengganjal seperti tergesa-gesa, berlebihan dan seolah ingin mengalihkan perhatian publik dari persoalan utama. Terkesan tergesa-gesa dikarenakan Menkumham pernah mengatakan proses pembubaran akan melalui pengadilan agar fair. Nyatanya dengan kesan yang memaksa pemerintah mengeluarkan perppu berikut narasi argumentasi-argumentasinya. Meski argumentasi yang dilontarkan menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan, bahkan pakar.

Terlihat berlebihan disebabkan prosesnya sangat sepihak dan subjektif yang mengarah kepada tindakan represif atau otoriter. Tanpa memberikan ruang bagi HTI untuk menjelaskan duduk persoalannya. Padahal sangat penting bagi rakyat untuk mendengarkan argumentasi dari HTI, semisal penjelasan tentang AD/ART HTI dan lainnya. Maka wajar jika banyak pakar yang menilai tindakan ini tak ubahnya sebuah cerminan dari rezim diktator. Kesan berikutnya, yaitu adanya aroma pengalihan perhatian publik yang sangat terlihat menurut saya. Sederhananya, sekarang pemerintah sedang dalam tugas berat menyelesaikan persoalan utamanya. Persoalan utama menurut saya adalah terwujudnya keadilan dalam segala sektor, yang ini belum sepenuhnya dirasakan masyarakat. Dengan adanya Perppu Ormas perhatian publik akan terfokus pada HTI, dan nyatanya itu benar menjadi perbincangan hangat dimanapun.

Lalu, bagaimana dengan konteks presidential threshold yang pada 20 Juli 2017 RUU Pemilu disahkan DPR ? Dan dengan disahkannya RUU Pemilu berdampak pada penetapan keberadaan Presidential Threshold 20 persen. Ternyata jika melihat benang merahnya dengan perppu ormas, pendukung Presidential Threshold adalah mereka pula yang hampir bisa dipastikan mendukung Perppu Ormas.

Pemilu 2019

Tidak dipungkiri jika sekarang sudah mulai muncul ke permukaan suhu pertarungan pada pemilu 2019. Baik isu atau wacana siapa yang akan mencalonkan sebagai presiden dan lain sebagainya. Saya yakin setiap parpol sudah melakukan strategi-strategi politik dalam menghadapi pemilu 2019 nanti. Survei-survei pun banyak bermunculan tentang siapa yang hendak menjadi capres maupun cawapres. Media sosial juga tidak luput dari perbincangan tentang hal itu.

Semua euforia itu akan dipandang biasa oleh masyarakat jika yang terjadi adalah proses alami tanpa ada intrik maupun permainan-permainan politik kotor. Hanya saja bagi saya sangat sulit untuk menghindari keterkaitan antara apa yang terjadi belakangan ini dengan pemilu 2019. Utamanya adalah persoalan Perppu Ormas dan Presidential Threshold. Keduanya mau tidak mau memberikan ruang bagi orang untuk menilai apakah mempunyai kepentingan politik atau tidak.

Saya sarankan dan harapkan kepada pemerintah sebenarnya, agar terhindar dari penilaian dan prasangka yang tidak baik tentang Perppu Ormas dan Presidential Threshold. Dimana keduanya sangat terindikasi kuat berhubungan dengan proses politik hingga pemilu 2019 nanti. Semestinya pemerintah bersabar dengan UU Nomor 17 tahun 2017 jika memang ada ormas yang dianggap bermasalah. Lalui semua proses yang ada dalam UU tersebut, dan tidak perlu mengeluarkan Perppu Ormas. Dan semestinya pula pemerintah tidak perlu berlebihan untuk mendorong Presidential Threshold 20 % berlaku. Meski semua itu sudah terlambat. Maka, sangatlah wajar jika banyak orang, termasuk saya berpandangan jika semua yang terjadi tidak pernah terlepas dari kepentingan dari para elit politik berikut partai politiknya. Sekian.

Jogja, 21 Juli 2017

 

Lutfi Sarif Hidayat
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)
sumber: pojok-aktivis.com
Share artikel ini: