Perpanjangan Jabatan Kades, Model Pembenaran Perpanjangan Jabatan Presiden?
Mediaumat.id – Sikap DPR dan pemerintah yang sudah memberi indikasi setuju untuk merevisi perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 menjadi 9 tahun, dinilai bakal menjadi model pembenaran untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan anggota DPR.
“Bisa jadi, perpanjangan masa jabatan kepala desa ini akan dijadikan model pembenaran untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan anggota DPR,” ujar Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (23/1/2023).
Bahkan dalam waktu dekat, ujarnya, kemungkinan para kepala desa ramai-ramai bakal menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden.
Lantas apabila hal ini sampai terjadi, lanjut Anthony, para kepala desa dimaksud dipandangnya pula sedang melakukan persekongkolan merancang kudeta konstitusi. “Kalau sampai itu terjadi, mereka seharusnya patut dipecat, karena kudeta konstitusi,” sebutnya.
Tidak Normal
“Kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Tidak normal!” kata Anthony lebih lanjut.
Ia menduga ide perpanjangan masa jabatan kepala desa itu tidak berdiri sendiri. Akan tetapi, ada sebuah skenario atau pekerjaan besar di balik layar yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. “Pasti ada kekuatan di balik layar,” sebutnya.
Terbukti, seperti yang ia katakan sebelumnya, DPR dan pemerintah memberikan indikasi bakal mengabulkan permintaan yang menurutnya tidak wajar tersebut di tengah wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau 3 periode.
Untuk diketahui sebelumnya, aksi unjuk rasa dilakukan oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (17/1/2023). Mereka menuntut agar masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun dan dapat dipilih kembali hingga dua periode.
Karenanya, mereka mendesak agar UU 6/2014 tentang Desa direvisi terutama terkait aturan masa jabatan kepala desa. Kata mereka, dengan masa jabatan sembilan tahun diharapkan persaingan politik agak berkurang.
Namun, menurut Anthony, dalih tersebut termasuk jalan pikiran yang sungguh lucu. “Apa relevansinya, dan di mana logikanya?” tanyanya, seraya menjelaskan prinsip dari demokrasi sendiri justru pembatasan masa jabatan kekuasaan dan meningkatkan persaingan politik.
Pun demikian dengan DPR yang menurutnya tidak bisa lantas membahas suatu undang-undang secara serampangan. “Harus terencana berdasarkan prioritas, masuk dalam prolegnas (program legislasi nasional) yang ditetapkan di rapat paripurna DPR,” detailnya.
Kalaupun di luar prolegnas, hanya bisa dilakukan kalau ada keadaan tertentu. Seperti ratifikasi perjanjian internasional, mengisi kekosongan hukum, mengatasi keadaan luar biasa atau urgensi nasional.
Sedangkan revisi UU tentang Desa tersebut tidak termasuk keadaan tertentu. Makanya, kembali ia menegaskan, DPR dan pemerintah tidak bisa membahas revisi UU tentang Desa terutama terkait masa jabatan kepala desa.
“Kalau ini dilakukan artinya DPR dan pemerintah menjalankan sistem tirani, mengubah undang-undang seenaknya sesuai kepentingan penguasa, bukan kepentingan rakyat,” pungkasnya.[] Zainul Krian