Pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Terkait “Khilafah-isme”, Patut Diduga Sebagai Daya Tawar?

Oleh: Chandra Purna Irawan.,SH.,MH. (Ketua LBH PELITA UMAT)

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu juga sepakat untuk menambahkan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Hasto mengatakan, ideologi yang bertentangan dengan Pancasila itu misalnya marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme.

Sumber : https://republika.co.id/berita/qbwdk2396/pdip-sepakat-trisila-dalam-ruu-hip-dihapus

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa saya patut menduga respon yang dikeluarkan oleh Sekjen PDIP tersebut terkait banyak kritik terhadap RUU HIP dan bertanya kenapa TAP MPRS terkait larangan komunisme, Marxisme tidak dijadikan sebagai rujukan konsideran dalam RUU HIP;

KEDUA, bahwa patut diduga pernyataan “radikalisme dan khilafahisme” termasuk yang akan dilarang di dalam RUU HIP sebagai “daya tawar”, maksudnya saya patut menduga kalau komunisme dan Marxisme dilarang, maka mestinya radikalisme dan khilafah juga dilarang, apabila khilafah tidak dilarang maka komunisme dan Marxisme juga semestinya tidak dilarang;

KETIGA, bahwa yang menjadi koreksi masyarakat bukan hanya terkait TAP MPRS saja melainkan di dalam RUU HIP tersebut terdapat norma pasal yang dapat mengubah substansi dan frasa Sila Pancasila (Pasal 3,4,5,6 dan 7). Misalnya Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi “Ketuhanan”, Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menjadi “Kemanusiaan”. Merubah substansi dan frasa Sila Pancasila, sama saja mengubah pembukaan UUD 1945 dan mengubah atau menggugurkan kesepakatan Nasional. Apabila demikian maka sudah semestinya seluruh rakyat duduk bersama untuk menentukan kesepakatan baru;

KEEMPAT bahwa apabila ada yang menyatakan “.. ideologi khilafah dan/atau khilafah adalah ideologi…” pernyataan ini dapat dinilai sebagai bentuk permusuhan atau kebencian terhadap ajaran agama Islam. Maka dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran pasal 156a KUHP bahwa harus diingat Unsur utama untuk dapat dipidananya Pasal 156a adalah unsur sengaja jahat untuk memusuhi, membenci dan/atau menodai ajaran agama (malign blasphemies). Sedangkan menyatakan khilafah sebaga ideologi kemudian dikampanyekan dan dibuat opini seolah-olah sesuatu kejahatan di hadapan dan/atau ditujukan kepada publik, artinya dapat dinilai unsur sengaja, terpenuhi;

KELIMA, bahwa Islam adalah salah satu agama resmi yang diakui negara. Sedangkan konstitusi memberikan jaminan umat Islam untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya berdasarkan Pasal 28E, Pasal 281 ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sebagai ajaran Islam Khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan di tengah-tengah umat. Mendakwahkan ajaran Islam Khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama Islam, dimana hal ini dijamin konstitusi. Oleh karena itu siapapun yang menyudutkan ajaran Islam, termasuk Khilafah maka maka dapat dikategorikan tindak pidana penistaan agama.

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya..”

Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama Pasal 29 (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Demikian []

Share artikel ini: