Pernyataan Mesir Tentang Rencana Trump: Manuver Politik atau Sikap Ideologis?

Sumber diplomatik Mesir mengatakan bahwa Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi akan menunda kunjungannya yang dijadwalkan ke Washington di tengah meningkatnya ketegangan antara Mesir dan Amerika Serikat (elaph.com, 11/2/2025).
Pernyataan-pernyataan tentang penolakan Sisi untuk mengunjungi Amerika selama rencana Presiden AS Trump untuk mengusir penduduk Gaza masih ada di atas meja (usulan), telah memicu kontroversi luas tentang kebenaran sikap Mesir dalam masalah Palestina, dan sejauh mana keseriusannya dalam menghadapi proyek-proyek untuk menyelesaikan masalah tersebut, serta tentang siapa yang menolak bertemu dengan yang lain, Sisi atau Trump yang tidak menerima apa pun dari Sisi kecuali menyetujui keinginannya dan menganggapnya sebagai perintah yang harus dilaksanakan untuknya seperti halnya seorang pegawai di Gedung Putih, sebagaimana yang ditunjukkan oleh gambar-gambar yang diambil selama kunjungan sebelumnya ke Gedung Putih, bahkan melalui bantuan yang diberikan kepada rezim dan militernya, yang sangat diinginkan oleh rezim tersebut, dan bahkan melalui pidato yang jelas dari presiden Amerika yang berbicara dengan percaya diri tentang penerimaan Sisi dan Raja Yordania, yang menegaskan bahwa mereka akan menerima. Itulah kebenarannya, sekalipun mereka mengaku menolak rencana pengusiran itu, mereka akan berupaya mencari solusi diplomatik yang memungkinkan terlaksananya rencana itu, atau ada rencana alternatif yang hendak dilaksanakan di lapangan, yang menetapkan bahwa Gaza menjadi wilayah demiliterisasi tanpa Hamas, perlawanan, atau mujahidin dengan imbalan kelangsungan hidup dan pembangunan kembali, yang tidak akan diterimanya bahkan oleh orang-orang Yahudi.
Rencana Trump untuk mengusir penduduk Gaza ke Sinai dan Yordania merupakan bagian dari strategi kolonial lama yang bertujuan mengosongkan tanah yang diberkati itu dari penduduknya dan mendirikan entitas Yahudi sebagai negara Yahudi murni. Rencana ini mungkin muncul dalam konteks “Kesepakatan Abad Ini” yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah Palestina untuk selamanya.
Klaim bahwa Mesir menolak rencana pengusiran warga Palestina tidak sesuai dengan kenyataan. Rezim Mesir secara langsung terlibat dalam mempersulit ekonomi dan manusia di Jalur Gaza, yang membuat kehidupan di sana hampir mustahil dan mendorong rakyatnya untuk mencari peluang apa pun untuk pergi. Dengan demikian, rezim tersebut secara praktis berkontribusi terhadap pelaksanaan rencana pengusiran yang rezim Mesir mengklaim penolakannya.
Pernyataan Mesir tentang penolakan rencana Trump tidak lebih dari sekadar upaya untuk mengulur waktu dan menunjukkan sikap nasional yang salah, sementara kenyataan membuktikan bahwa rezim Mesir hanya bekerja untuk melayani proyek-proyek Barat, dan menganggapnya sebagai rencana strategis yang harus dilaksanakan.
Kita tidak perlu membahas apakah presiden Mesir akan mengunjungi Trump atau tidak, apakah ia akan menerima rencana untuk mengusir penduduk Gaza atau tidak, bahkan apakah ia akan berupaya untuk melaksanakan rencana-rencana lain yang diajukan Trump. Sebab dalam semua kasus, ia adalah antek Amerika, yang melayani kepentingannya. Ia adalah pengkhianat umat, mitra dari entitas perampas dalam semua kejahatannya, penjaga setia perbatasannya, dan ia berdiri di antara umat dan tentaranya, serta antara mencabutnya dan membebaskan Palestina. Pernyataan-pernyataan ini dan ketergantungan pada sistem internasional tidak lain hanyalah anestesi (bius) bagi tentara-tentara ini agar mereka mengira bahwa rezim Mesir benar-benar berusaha menyelesaikan masalah Palestina, padahal rezim Mesir merupakan bagian integral dari penjajah dan katup pengamannya, bahkan ia merupakan kubah besi sesungguhnya yang melindungi entitas Yahudi.
Penyelesaian yang sesungguhnya bukanlah dengan pernyataan kosong, dan bukan pula dengan bersandar kepada sistem internasional, melainkan dengan mengerahkan pasukan untuk membebaskan seluruh Palestina dan mendukung rakyatnya dengan dukungan yang benar serta dapat menyingkirkan segala sesuatu yang menghalangi jalan menuju tujuan tersebut. Al-Quds tidak akan dibebaskan oleh rezim yang menutup perbatasan, melindungi perbatasan antara negaranya dengan tanah Islam yang dirampas, dan mencegah senjata mencapai kelompok perlawanan, juga hak-haknya tidak akan didapatkan kembali melalui hukum internasional yang dirumuskan justru untuk melindungi kaum penjajah, namun pembebasan itu akan terjadi apabila umat kembali kepada agamanya dan berusaha menerapkannya dalam satu negara, dan umat bersatu di belakang kepemimpinan yang mukhlis, yang mengembalikan kemuliaannya, dan menjadikan pembebasan Palestina sebagai masalah hidup dan matinya, sehingga tidak menerima konsesi atau tawar-menawar apapun.
Umat Islam memiliki lebih dari 13 juta tentara, serta memiliki kekayaan dan kemampuan militer yang memungkinkannya untuk menghancurkan entitas Yahudi dalam beberapa hari saja. Namun, kendala sesungguhnya bagi pergerakan pasukan ini adalah rezim penguasa yang dibentuk oleh kekuatan kolonial setelah mereka menghancurkan Khilafah Utsmani, dimana peran rezim itu hanya melindungi kepentingan Barat dan memastikan kelangsungan hidup entitas Yahudi.
Karena itu, pembebasan Palestina hanya dapat diraih dengan membebaskan ibu kota-ibu kota Islam dari cengkeraman rezim-rezim boneka ini, kemudian mendirikan Khilafah Rasyidah yang akan menyatukan umat. Ketika kaum Muslim memiliki satu Khalifah, maka ia akan mengerahkan pasukan sebagaimana yang dilakukan Shalahuddin di saat ia membebaskan Al-Quds, dan sebagaimana yang dilakukan Al-Mu’tasim ketika ia mengerahkan seluruh pasukan untuk menolong seorang wanita yang meminta bantuannya.
Wahai orang-orang yang mukhlis di tentara al-Kinanah: petualangan rezim dan kesombongan kosongnya telah menghabiskan usaha kalian dalam hal yang tidak akan bermanfaat bagi kalian di dunia dan tidak akan menolong kalian di akhirat, bahkan semua itu akan menghalangi kalian dari kewajiban memerdekakan negeri yang diberkahi dan menolong penduduknya. Itulah yang akan kalian pertanggungjawabkan di hadapan Allah pada hari kiamat, maka persiapkanlah jawaban kalian kepada Allah, atau kalian singkirkan saja rezim ini, dan bersihkan kalian dari kekotoran dan pengkhianatannya, kemudian kalian memproklamirkannya sebagai negara yang menerapkan Islam di tengah kalian dan mengembannya ke seluruh dunia melalui kalian sebagai risalah pembawa petunjuk dan cahaya, negara yang mendorong kalian menuju keridhaan Allah subhānahu wa ta’āla di dunia dan akhirat, menggerakkan kalian untuk membebaskan seluruh negeri Islam, bukan hanya Palestina, dan menolong mereka yang tertindas di sana, yaitu negara Islam yang diridhai oleh Allah subhānahu wa ta’āla; Khilafah Rasyidah kedua yang tegak di atas metode kenabian (‘ala minhājin nubuwah). Allah subhānahu wa ta’āla berfirman:.
﴿وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيّاً وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيراً﴾
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari (kalangan) laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’.” (TQS. An-Nisā’ [4] : 75). [] Al-Ustadz Mahmud Al-Laitsi
Sumber: alraiah.net, 19/2/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat