Pernyataan Gegabah: “Haram Meniru Sistem Pemerintahan Nabi Muhammad SAW”

Oleh : Achmad Fathoni  (Direktur el-Harokah Research Center)

Sebagaimana diberitakan di laman www.nu.or.id pada Sabtu, 25 Januari 2020 bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW haram hukumnya. Ia menegaskan hal itu pada Diskusi Panel “Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia” di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1). Menurut Mahfud, pemerintahan Nabi Muhammad menggunakan sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua peran itu berada dalam diri Nabi Muhammad SAW sendiri. Nabi berhak dan boleh memerankan ketiga-tiganya karena dibimbing langsung oleh Allah SWT.

Pernyataan gegabah, ngawur dan sesat-menyesatkan tersebut patut disayangkan oleh publik, terutama umat Islam. Pasalnya, Mahfud MD seringkali mengeluarkan pernyataan yang sangat kontroversial dan bertentangan dengan pendapat yang mu’tabar (yang umum) di kalangan ulama dan umat Islam pada umumnya. Oleh karena itu pernyataan itu harus ditolak dengan keras oleh umat Islam, karena beberapa alasan mendasar, sebagai berikut.

 Pertama, dalam pandangan Islam Nabi Muhammad SAW adalah suri teladan terbaik dalam semua urusan, termasuk di dalamnya dalam hal sistem pemerintahan. Hal itu telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (terjemah QS. Al-Ahzab: 21). Inti yang terkandung dalam ayat tersebut, bahwa umat Nabi Muhammad SAW, yaitu umat Islam wajib menjadikan beliau sebagai panutan dan ikutan dalam mengamalkan agama (Islam). Bahkan Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam hadistnya: “Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada mengikuti perintahnya, maka amalannya tertolak.” (Syarah Shahih Muslim No. 1718).

Sebagaimana terekam dalam sejarah bahwa pasca Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah al-Munawwarah, jabatan beliau bertambah selain sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga sebagai rais ad-daulah (kepala negara). Saat itu Rasulullah SAW menjadi pemimpin riil masyarakat dan negara (daulah Islamiyah) yang berpusat di Madinah al-munawwarah.

Termasuk di dalamnya menegakkan sistem Islam telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Hal itu telah banyak dijelaskan oleh para ulama’, baik ulama salaf (terdahulu), maupun ulama khalaf (kontemporer). Bahkan para ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa umat Islam wajib menegakkan sistem pemerintahan Islam warisan dari Nabi Muhammad SAW yaitu sistem Khilafah Islamiyah. Seluruh ulama’ sepakat bahwa khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslimin di seluruh dunia pada wilayah tertentu untuk menjalankan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Syaikh Musthafa Shabari, Syaikhul Islam dalam Daulah Utsmaniyah mendefinisikan khilafah  dengan, “Pengganti Rasulullah SAW dalam menjalankan syariat Islam” (Musthafa Shabari, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Alim, IV/363). Imam al-Baghawi mendefinisikan Khilafah dengan, “Sosok yang menggantikan Rasulullah SAW dalam menegakkan syariat Islam, menjaga agama, yang wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslimin.” (Imam al-Baidhawi, Hasyiyyah Syarh ath-Thawali’, hlm. 228). Imam al-Qalqasyandi mendefinisikan Khalifah dengan, “Kekuasaan umum atas seluruh umat” (Imam al-Qalqasyandi, Maatsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, I/8). Imam Adli ad-Din al-‘Aiji mendefinisikan Khilafah sebagai, “Kepemimpinan umum untuk urusan dunia dan akhirat yang dimiliki oleh seseorang.” (Imam ‘Adldi ad-Din, Mawaqif wa Syarhihi, V/66). Beliau menyatakan dalam kitab yang sama, bahwa Khilafah lebih utama disebut sebagai Khilafah Rasul dalam menegakkan dan menjaga agama, yang mana ia wajib diaati oleh seluruh kaum muslimin.”

Sebagian ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan khilafah dengan, “Imam A’dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia.” (Nihayah al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj, VII/289). Imam al-Mawardi mendefinisikan Khilafah dengan, “Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah (pengganti kenabian) dalam menjaga agama dan urusan dunia.” (Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm. 3). Ibnu Khaldun mendefinisikan khilafah dengan,”Wakil Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 159).

Jadi, pernyataan Mahfud MD dengan mengatakan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW haram hukumnya, merupakan pernyataan yang mungkar, sesat, dan menyesatkan. Maka umat Islam wajib menolak keras pernyataan tersebut dan menuntut Mahfud MD mencabut dan menyesali perbuatannya itu untuk tidak diulangi di masa mendatang (taubatan mashuha).

     Kedua, Sistem Demokrasi Sangat Bertentangan Secara Diametral dengan Sistem Islam. Menyamakan sistem demokrasi, yang menerapkan trias politika (adanya lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif)  dengan sistem Islam merupakan kegagalan berpikir yang sangat parah dan fatal. Konsep “Trias Politika” sangat bertentangan dengan Islam dalam beberapa hal sebagai berikut, (1) sumber hukum yang diambil adalalah akal semata. Penilaian baik dan buruknya sesuatu menurut akal. Sementara dalam Islam, penilaian baik-buruknya sesuatu hanyalah Allah SWT. Sebagaimana fiman-Nya: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. (QS. Al-An’am : 57). Juga firman-Nya yang lain: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy-Syuura : 10),

(2) merupakan salah satu ide pokok demokrasi yang menyesatkan. Sebab demokrasi telah menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan, dan rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan. Sedangkan Islam menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik rakyat. Syara’-lah yang menjadi rujukan tertinggi dalam segala hal. Sebagaimana firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kalian. Kemudian jikla kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An-Nisa’ : 59). (3)dalam hal kekuasaan Islam telah menetapkan bahwa kekuasaan legislative hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Maka dari itu, hanya Allah sajalah yang menjadi Musyarri’ (Pembuat hukum) yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik masalah ibadah, mu’amalah, uqubat (sanksi pidana), dan sebagainya, termasuk di dalamnya sistem pemerintahan. Tidak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walaupun hanya satu hukum. Firman Allah SWT : “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (QS. Al-An’aam : 57). Yang dimiliki oleh rakyat adalah kekuasaan atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa. Namun demikian, syara’ telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan (mentabanni) hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan adalah khalifah saja, bukan yang lain. Ijma’ shahabat menetapkan bahwa hanya khalifah sajalah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya.

     Ketiga, hanya sistem Islam satu-satunya sistem yang akan memberikan kebaikan yang hakiki bagi umat manusia. Sistem Islam yaitu Khilafah Islamiyah dalam sejarahnya telah menorehkan tinta emas. Kebaikan, keberkahan, dan keunggulan dalam segala aspek kehidupan. Keagungan dan kebaikan khilafah telah diakui dunia. Salah satu ilmuwan Barat, Will Durant, dalam “The Story Of Civilization” Vol XIII, halaman 151 menjelaskan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, dimana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.

Dengan adanya Khilafah itu persatuan yang hakiki akan bisa terwujud, bisa menyatukan berbagai suku dan bangsa dalam satu naungan, pemeluk agama lain tetap boleh hidup secara damai tanpa diusik keyakinan agamanya, kerahmatan Islam akan terwujud secara nyata bagi seluruh umat manusia. Dan yang pasti itu bukanlah hanya isapan jempol, tetapi Khilafah itu pernah eksis di percaturan politik dunia selama kurun waktu lebih dari 13 abad. Dan hal itu juga diakui oleh banyak para sejarawan Barat. Bahkan menurut banyak sejarawan bahwa Barat sangat berhutang jasa dalam kemajuan peradaban kepada negara khilafah. Sebut saja Montgomery Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1994) menyatakan, “Peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi motornya, kondisi Barat tidak akan ada artinya”.

Dengan demikian pernyataan Mahfud MD yang menyatakan bahwa Haram Meniru Sistem Pemerintahan Nabi Muhammad SAW merupakan pernyataan sesat dan menyesatkan dan tidak ada nilainya sama sekali di Allah SWT, bahkan akan mendapatkan murka dari Allah SWT. Wallahu a’lam.[]

Share artikel ini: