Pernyataan Ahli dari Pemerintah Soal Legal Standing HTI Dinilai Konyol

Mediaumat.news – Keterangan ahli hukum adminstrasi dari pemerintah Prof Dr Philipus Mandiri Hadjon yang menyebut, “HTI tidak memiliki legal standing sebagai penggugat dalam gugatan a quo karena status badan hukumnya telah dicabut” dinilai sebagai pendapat konyol.

“Pendapat konyol ini tentu saja mengusik nalar dan logika publik. Bagaimana mungkin pemerintah menyatakan Ormas yang dicabut status badan hukumnya dapat menggugat ke pengadilan, namun setelah digugat di pengadilan pemerintah menolak gugatan dengan dalih HTI tidak memiliki legal standing karena badan hukumnya telah dicabut?” ujar Ketua Koalisi Advokat Pembela Islam Ahmad Khozinudin usai mengikuti sidang gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas pencabutan SK BHP-nya secara semena-mena, Kamis (15/3) di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Timur.

Lantas, lanjut Khozin, jika yang menggugat individu HTI sebagai eks anggota HTI, di mana letak kepentingannya? Padahal menggugat PTUN haruslah pihak yang berkepentingan dan dirugikan atas dicabutnya status badan hukum HTI.

“Bukankah PNS yang dicabut status PNS-nya yang paling berkepentingan mengajukan gugatan PTUN atas SK pemecatan terhadapnya? Apa ketika PNS sudah dicabut statusnya lantas dianggap tidak memiliki legal standing? Apa kemudian yang mengajukan gugatan suami atau istri PNS tersebut? Ini super konyol!” tegas Khozin.

Menurut Khozin, logika yang disampaikan ahli juga mengingkari pernyataan pemerintah yang katanya akan taat due proses of law, meminta pada ormas yang dicabut status badan hukumnya menggugat di PTUN. Sampai di PTUN dieksepsi karena telah dicabut status BHP-nya. Ini seperti teka-teki lama, ayam atau telor duluan yang keluar? Digugat dulu atau dicabut status dulu?

Kenyataan ini, beber Khozin, menunjukkan bahwa pemerintah galau menghadapi gugatan HTI. Pemerintah tidak sanggup menunjukkan satu pun bukti administratif, sejak rentan Perppu terbit hingga pencabutan status BHP HTI (10 Juli 2017 sampai 19 Juli 2017). Karenanya, Pemerintah berupaya berputar-putar pada argumen legal standing.

“Harapan pemerintah, jika eksepsi diterima dan gugatan dinyatakan ‘ditolak’, maka pemerintah tidak perlu repot masuk pada diskursus pembuktian pokok perkara. Dzalim sekali pemerintahan model begini,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini: