MediaUmat.info – Lolosnya Nurul Ghufron, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam seleksi administrasi calon hakim agung, dinilai oleh mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap telah menunjukkan adanya krisis integritas.
“Di sini bisa dilihat adanya krisis integritas,” ujarnya dalam siniar Pernah Disanksi Etik di KPK, Nurul Gufron Kini Lolos Seleksi Hakim Agung, Jumat (25/4/2025) di kanal YouTube Novel Baswedan.
Untuk menjadikan catatan sebelumnya, integritas di sini berarti potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Integritas juga mencakup konsistensi antara perkataan dan tindakan, serta berpegang teguh pada prinsip moral dan etika. Integritas sangat penting dalam kepemimpinan, membangun kepercayaan, dan mencapai keberhasilan.
Sementara, selain menjadi teman dekat dari Firli Bahuri yang telah menimbulkan banyak kerusakan di KPK, melekat pula pada diri Ghufron konflik kepentingan yang dilakukan ketika masih menjabat sebagai wakil ketua KPK.
Meski tidak memberhentikan sementara, pada Jumat, 6 September 2024, Dewan Pengawas (Dewas) KPK memvonis Ghufron terbukti melanggar kode etik dan menjatuhkan sanksi sedang berupa teguran tertulis dan pemotongan gaji.
Dalam pembacaan putusan sidang kode etik ketika itu, Dewas KPK menilai Ghufron menggunakan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK dalam membantu mutasi aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Pertanian ke Malang, Jawa Timur.
Saat itu, Ghufron sempat melawan dengan melaporkan Dewas ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri atas dugaan pencemaran nama baik.
Akhirnya, setelah mendengarkan suara publik, Ghufron pun tak diloloskan dalam hasil penilaian profil (profile assessment) yang dilakukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan 2024-2029 atau Pansel Capim KPK.
Momentum Kembalikan Kepercayaan Publik
Maka itu, kata Yudi lebih lanjut, seleksi hakim agung yang melibatkan beberapa tahap yang dipimpin oleh Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini harus dijadikan sebagai momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di negeri ini.
Seperti diketahui bersama, sistem peradilan di Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang signifikan, sehingga kualitas dan efektivitasnya menjadi perhatian. Masalah utama meliputi kurangnya keterpaduan dalam sistem, kualitas putusan hakim yang memprihatinkan, kurangnya kemandirian hakim, dan masalah integritas penegak hukum.
Meski terdapat ketentuan lain yang menyatakan bahwa calon hakim agung, baik karier maupun non-karier, tidak boleh pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim, seperti yang termaktub dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2025, yang mengatur persyaratan untuk menjadi hakim agung, Yudi khawatir nantinya mereka tidak mampu mengimplementasikan nilai keadilan.
Pasalnya, seorang hakim terlebih hakim agung, pada dasarnya harus terbebas dari ‘beban’ masa lalu sehingga tidak akan membebani kinerja Mahkamah Agung dalam menegakkan keadilan.
“Kasihan nanti MA-nya ataupun kasus yang ditangani oleh dia, ketika misalnya selalu kemudian diungkit-ungkit, jangan pernah begini dan begitu,” tandasnya, yang berarti berpotensi terjadi ‘saling sandera’ di antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara hukum.
Selain itu, tabiat serta karakter buruk seseorang cenderung susah untuk diubah. “Jarang orang bisa mengubah karakternya karena dia sudah dipupuk dari keluarga, lingkungan internal, dsb.,” sambung Yudi.
Untuk itu agar tak mengorbankan kualitas dari seorang hakim agung nantinya, kembali ia merasa wajib mengingatkan agar KY, yang bertugas untuk melakukan seleksi dan penjaringan calon hakim agung, serta mengusulkan nama-nama calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), senantiasa bersikap independen, profesional, serta mampu mengabaikan berbagai kompromi yang ditekankan.
Maka ia berharap KY mau mendengar aspirasi masyarakat, atau paling tidak menjadikan putusan Pansel KPK yang tak meloloskannya menjadi Capim KPK masa jabatan 2024-2029, sebagai rujukan untuk tidak meloloskan Ghufron di tahapan proses seleksi hakim agung berikutnya semisal seleksi kualitas yang meliputi karya tulis di tempat, studi kasus hukum, studi kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan tes objektif.
“Saya berharap KY mau mendengar atau setidaknya menjadikan sikap pansel KPK yang mencoret sebuah nama bermasalah menjadi sebuah rujukan,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat