Permen No 8 tahun 2017 Tentang Gross Split dan Fatamorgana Kedaulatan Energi

 Permen No 8 tahun 2017 Tentang Gross Split dan Fatamorgana Kedaulatan Energi

Oleh: Lukman Noerochim, P.hD (Stafsus FORKEI)

Dikabarkan SKK Migas menargetkan pada tahun ini akan melakukan eksplorasi di 57 sumur. Menurut Kepala SKK Migas Dwi Sucipto Pengeboran sumur pengembangan tahun ini targetnya 345 sumur. Adapun target investasi hulu migas tahun ini sebesar 14,79 miliar dolar AS. Ini meningkat dari target APBN tahun lalu sebesar 14,2 miliar dolar AS. Adapun sepanjang 2018 capaian investasi hulu migas mencapai 11,99 miliar dolar AS. Capaian ini baru 90 persen dari target namun sudah mencapai 117 persen dari capaian tahun 2017.

Fokus pemerintah harusnya mempersiapkan segala sesuatu agar kontrak migas dengan swasta diakhiri dan dapat kembali sepenuhnya ke tangan negara.  Namun ketika Menteri ESDM telah mengeluarkan Permen No 8 tahun 2017 tentang Gross Split. Suatu skema pengelolaan migas yang hendak memisahkan sepenuhnya Negara dari migas. Dengan skema ini Negara lepas tangan secara penuh dan hanya menerima pajak dan bagi hasil migas. Negara tidak ikut mengontrol produksi dan biaya produksi migas.

Dengan demikian maka tidak menutup kemungkinan kontrak kontrak migas yang akan berakhir akan jatuh ke tangan para taipan, yang tengah mengincar sektor ESDM sebagai satu satunya sektor yang belum jatuh sepenuhnya ke tangan mereka. Sektor keuangan, perbankan sudah jatuh ke tangan taipan, sektor  properti sudah dikuasai taipan, sektor perkebunan telah jatuh ke tangan Taipan, Newmont telah jatuh ke tangan taipan, Freeport menurut banyak analis akan jatuh ke tangan Taipan.

Terkait hal ini penulis tak bosan mengingatkan kepada pemerintah dan DPR bahwa semestinya DPR tidak boleh terjebak sekadar membicarakan harga BBM dan segala hal terkait di sektor hilir, tapi juga harus mempersoalkan sektor hulu sedemikian sehingga sumur-sumur minyak kembali dikuasai penuh oleh negara.  Saat ini sektor migas Indonesia tengah berada dalam situasi kritis, bukan hanya karena semakin menurunnya produksi migas nasional. Namun situasi krusial ini seolah lepas dari pantauan publik.

Mayoritas pengelolaan migas saat ini dikuasai oleh swasta khususnya pihak asing sehingga pendapatan negara dari migas sangat minim. Dari total produksi minyak mentah di Indonesia  pada 2010 hanya 16 persen yang diproduksi oleh Pertamina. Sisanya dibagi-bagi oleh investor asing dan swasta domestik seperti Chevron (42%) dan Total (10%). Konsekuensinya, dari total produksi minyak mentah yang mencapai 300 juta barel, sebanyak 121 juta atau 40 persen diekspor ke mancanegara. Padahal di saat yang sama Indonesia harus mengimpor 101 juta minyak mentah dari berbagai negara untuk memproduksi BBM dalam negeri. Belum lagi, pemerintah melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannya kepada Pertamina. Di sisi lain dengan UU Migas 22/2001, Pertamina yang sebelumnya juga bertindak sebagai  regulator disejajarkan dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan konsesi pengelolaan ladang minyak dari BP Migas. Kebijakan ini berkebalikan dengan Malaysia, China dan sejumlah negara Amerika Latin dimana pemerintah memberikan peran dominan kepada BUMN mereka untuk mengelola migas mereka. Akibatnya pendapatan dari sektor tersebut lebih banyak dinikmati swasta/asing ketimbang negara. Bukan itu saja, melalui UU tersebut pendapatan pemerintah justru semakin berkurang. Jika pada peraturan kontrak Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/ PSC) lama (1971) bagi hasil pemerintah kontraktor setelah cost recovery dan pajak sebesar 85:15, namun dengan peraturan PSC yang berlaku pasca UU No. 22/2001 nisbah tersebut dapat mencapai 63:37 (lihat: Oil & Gas Indonesia: Investment and Taxation Guide, PWC [2010])

Migas dan SDA yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta apalagi asing. Abyadh bin Hammal menceritakan bahwa ia pernah menghadap kepada Nabi saw dan minta diberi tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun saat ia akan pergi, ada seseorang yang berada di majelis berkata kepada Rasul : “Tahukah Anda apa yang Anda berikan padanya, sungguh Anda memberinya sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Maka beliau pun menariknya kembali darinya (HR. Baihaqy dan Tirmidzy).

Bobroknya pengelolaan migas di negeri ini berpangkal dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan pemerintah. Dalam sistem tersebut kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha dijamin oleh negara melalui undang-undang. Peran negara diminimalkan dalam kegiatan ekonomi dan hanya diposisikan sebagi regulator. Dengan demikian peluang swasta khususnya asing akan semakin besar dalam menguasai perekonomian negeri ini. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk membebaskan rakyat dari sistem Kapitalisme yang terbukti menyengsarakan ini kecuali menerapkan sistem Islam.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *