Mediaumat.news- Di dalam perkara yang menimpa Habib Rizieq Shihab (HRS) dkk. terkait persoalan Rumah Sakit UMMI Bogor, dinilai Direktur HRS Center dan Ahli Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. terdapat kondisi cacat hukum sehingga HRS dkk. harus dibebaskan.
“Adanya kondisi cacat hukum dalam penerapan delik berita bohong yang dikenakan pada HRS dkk. Sebelumnya demikian itu nyaris tidak terlihat. Oleh karena itu, Majelis Hakim Kasasi hendaknya memutuskan pembebasan HRS dkk,” ujarnya dalam pers rilis yang diterima Mediaumat.news, Senin (11/10/2021).
Penting dipahami, kecacatan hukum yang ia maksud tampak jelas dari dalil Majelis Hakim yang penggunaan analoginya tidak berpegang kepada aturan yang ada, alias menyimpang dari argumen timbulnya ‘kegaduhan nonfisik’ (media sosial), yang semestinya tidak sebangun dengan ‘kekacauan fisik’ di kalangan rakyat. Sehingga analogi seperti itu tidak dapat diterima.
Apalagi undang-undang sebelumnya, Pasal 626 Ayat 1 huruf a Rancangan KUHP Tahun 2019 pun telah dihapus. “Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat (illat) yang menjadikannya sebagai norma larangan,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Abdul Chair, kasus RS UMMI yang duduk perkaranya berawal dari pelanggaran protokol kesehatan, lantas diterapkan juga pasal ‘perbuatan berlanjut’ (vorgezette handeling) dengan dimasukkannya delik berita bohong, seharusnya pun hanya dikenakan ancaman pidana pokok yang paling berat sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 64 Ayat (1) KUHP, yang berbunyi,
‘Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.’
Tetapi ternyata, prinsip ‘perbuatan berlanjut’ tidak digunakan sehingga mengandung skenario klasterisasi perkara. “Pada akhirnya tuntutan perkara RS UMMI sebagai residu dari perkara Petamburan dan Megamendung,” ucapnya menyayangkan.
Oleh karena itu Abdul Chair kembali menekankan, jika seandainya ketentuan Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan berlanjut digunakan, maka delik hoaks tidak akan memiliki persintuhan atau hubungan dengan perkara awal yakni Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 216 KUHP.
Begitu pun dengan kedua pasal yang telah digunakan dalam dua klaster perkara sebelumnya. Melalui asas nebis in idem atau perkara sama yang tidak dapat diadili untuk kedua kalinya, semestinya juga tidak mungkin lagi diterapkan pada perkara RS UMMI. “(Sehingga) menjadi jelas rekayasa klasterisasi menunjuk pada penggunaan delik berita bohong pada tahap (klaster) akhir,” pungkasnya.[] Zainul Krian