Peringkat Kampus di Indonesia di Bawah Malaysia, Ini Kata Guru Besar

 Peringkat Kampus di Indonesia di Bawah Malaysia, Ini Kata Guru Besar

Mediaumat.news – Lembaga pemeringkatan kampus dunia Times Higher Education (THE) yang menempatkan 10 kampus terbaik Indonesia di bawah Malaysia dalam kategori Asian University Ranking 2021, dinilai sebagai upaya mempertahankan hegemoni kampus-kampus di Barat.

“Pe-ranking-an yang berpijak pada standar Barat adalah upaya untuk mempertahankan hegemoni kampus-kampus Barat. No more, no less,” ujar Guru Besar Prof. Daniel M. Rosyid, PhD, M.RINA, kepada Mediaumat.news, Ahad (6/6/2021).

Realitas itu juga, ia lihat, sebagai konsekuensi dari globalisasi yang pada dasarnya merupakan bagian dari proxy war dari neocortex war Barat atas the rest of the world (sisa dunia). Salah satu amunisinya, menurut Daniel, adalah standarisasi.

Terkait strategi melemahkan musuh dengan amunisi tersebut, Daniel menjelaskan, Barat menggunakan weapon of mass deception (senjata penipuan massal) berupa pemeringkat kampus. “(Namun) sayang sekali banyak kampus ternama kita dan Malaysia justru tidak menyadari penyesatan ini,” ujarnya.

Hal itu dapat dicermati dari daftar sepuluh kampus terbaik di Amerika serikat yang selalu menjadi tujuan para pesohor. “Tetap saja L4, Lu lagi-Lu lagi, dari Harvard sampai Princeton, dari Stanford sampai MIT,” ungkapnya.

Sehingga, menurutnya, kampus dan sekolah-sekolah favorit di mana pun, kini telah menjadi tempat terbaik untuk menyombongkan diri. “Padahal banyak kampus seperti itu bukan tempat terbaik untuk belajar,” ucapnya.

Variabel Prestasi Kampus

Meski demikian, variabel penentu prestasi kampus yang kini dilupakan atau bahkan dirahasiakan, memang terletak pada mahasiswanya. “Tanpa mahasiswa terbaik, kampus tidak dapat menjadi yang terbaik dalam jangka panjang,” jelasnya.

Dengan berkembangnya kebijakan mutakhir pemerintah Indonesia yang menjadikan kampus sebagai bagian dari birokrasi pemerintah, menurut Daniel, kampus akan semakin sulit disebut sebagai lembaga yang memiliki otonomi akademik yang dibutuhkan untuk menjadi simpul-simpul kesetiaan pada kebenaran sebagai basis moral bangsa.

Apalagi kegiatan riset yang selama ini ditangani pejabat setingkat menteri, kini justru diserahkan ke pejabat setingkat dirjen yang tentu dengan kewenangan jauh lebih terbatas sebagai imbas dari kebijakan dileburnya Kemenristek ke Kemendikbud. “Sehingga secara jangkauan kontrol, semakin unmanageable,” timpalnya.

Belum lagi di sisi lain, lanjut Daniel, sebuah kampus akan terbebani dengan upaya menutup-nutupi kegagalan persekolahan formal dalam menyediakan calon mahasiswa yang dewasa dan mandiri.

Regresi kampus nasional, tambah Daniel, juga bukan sekadar soal kesejahteraan dosen dan anggaran penelitian yang terbatas. Tetapi lebih ke persoalan disorientasi pendidikan nasional. “Kita terlalu terobsesi dengan mutu standar internasional, lalu menelantarkan relevansi,” ujarnya.

Oleh karena itu untuk tujuan kemandirian, pendidikan harus lebih mementingkan relevansi. “Agar bermakna bagi peserta didik dan mahasiswa, sehingga menghasilkan warga negara yang mandiri, bertanggung jawab, sehat dan produktif,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *