Mediaumat.id – Memperingati Tahun Baru Islam 1445 H, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) memaparkan, peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah sangatlah penting.
“(Peristiwa) hijrah ini amat sangat penting,” ujarnya dalam Perspektif: Makna Peringatan Muharram 1445 H sebagai Momentum Hijrah Politik, Kamis (20/7/2023) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Sebab, menurutnya, sebagaimana definisi yang dibuat Ibnu Hajar al-‘Asqalani, seorang ahli hadits dari mazhab Syafi’i yang terkemuka, hijrah Nabi SAW dan para sahabat dikatakan sebagai upaya menyelamatkan Islam dari fitnah kala itu.
Hal ini, kata UIY lagi, tergambar dari apa yang dikatakan oleh Baginda Rasulullah SAW, yaitu “Hendaklah kalian berhijrah karena pahalanya itu tak ada bandingannya.”
Makna dari pahala yang tak ada bandingannya ini, menggambarkan pula sesuatu yang sangat besar. “Mengapa? Karena ini menyangkut perkara yang amat sangat penting, menyangkut agama kita,” paparnya.
Ibarat harta paling berharga, kata UIY mengumpamakan, sesungguhnya bukanlah harta benda pada umumnya. Tetapi tak lain adalah agama Islam ini, berikut iman dan takwa di dalam dada.
“Mengapa? Karena iman dan takwa di dalam dada inilah yang akan setia bersama kita sampai hari akhir nanti,” terangnya, mengutip sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik ra. tentang hanya amal shalih yang tetap bersama si mayit di alam kubur, bukan keluarga ataupun harta benda.
“Amal shalih itu apa? Amal shalih adalah setiap perbuatan kita yang disadari sebagai pelaksanaan dari perintah Allah,” jelasnya kemudian.
Lantas, menurut UIY, hanya dengan agama dalam hal ini Islamlah yang akan menentukan seberapa baik seorang Muslim menjalani kehidupan di dunia.
Dengan kata lain, tanpa agama Islam, umat pasti berantakan dalam menjalani kehidupan ini. “Tanpa agama kita pasti akan acakadut (berantakan) dalam menjalani kehidupan ini,” ujarnya.
Terlebih, agama pula yang bisa menentukan posisi seorang Muslim di hadapan Allah SWT, kelak. “Di akhirat, apa kita menjadi bagian dari golongan kanan, ashab al-jannah (penghuni surga) atau golongan kiri, ashab an-nar (penghuni neraka),” sebutnya.
Sehingga, meskipun berada di wilayah yang tidak ada ancaman atau mendapatkan intimidasi yang memaksa pindah negeri (hijrah makaniyyah), tetapi masih bergelimang dosa dan maksiat, maka wajib hukumnya seorang Muslim berhijrah secara maknawiyyah.
Dua Macam Hijrah
Sebagaimana dikatakan Syekh Izzuddin Abdul Salam yang mendapatkan julukan Sulthan al-‘Ulama (pemimpin para ulama), bahwa hijrah ada dua macam. Selain hijrah makaniyyah, ada hijrah maknawiyyah, yaitu meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah SWT.
Sebutlah mereka yang selalu bergelimang pergaulan bebas, riba, dan berbagai maksiat lainnya, wajib baginya untuk berhijrah. “Di titik itulah dia harus hijrah,” serunya.
Artinya, lanjut UIY, setiap mengingat hijrah, setidaknya umat memperhatikan pula dua hal. Pertama, ada tidaknya ancaman pada agama sehingga memaksa untuk pindah wilayah/negeri yang lebih aman.
Kedua, apakah seorang Muslim berada pada satu titik keadaan yang mengharuskan atau tidak untuk segera meninggalkan perbuatan dosa dan segala perkara yang diharamkan oleh Allah SWT.
Artinya pula, hijrah makaniyyah bisa menjadi haram dilakukan ketika umat masih mempunyai kemampuan mengubah kondisi suatu negeri tempat ia tinggal, sehingga syariat Islam bisa diterapkan secara kaffah di seluruh aspek kehidupan.
Kata UIY, di antara kondisi-kondisi lama yang jauh dari tuntunan Islam dan mewujud dalam berbagai bentuknya antara lain, sistem politik yang menghalalkan segala cara hanya untuk memperkuat kekuasaan (machiavellianisme), berikut prinsip demokrasi yang sekuler.
Ditambah budaya yang kebarat-baratan (westernis-hedonis), sikap beragama yang sinkretis semisal ucap salam tak cukup satu tetapi sampai 5 atau 6 jenis salam. “Apa perlunya? Itu kan sinkretistik itu,” selanya.
“Kemudian pendidikan yang materialistik, dsb. Itu sesuatu yang bersifat mungkar,” imbuhnya, yang semua ini ia sebut sebagai kemungkaran yang besar.
Karenanya, umat berkewajiban mengubah kemungkaran ini menjadi kemakrufan. “Di situlah amar makruf nahi mungkar,” cetusnya.
Untuk itu, wajib bagi setiap Muslim untuk senantiasa menggerakkan potensi diri dan umat, melakukan perubahan ke arah Islam. Sebab, pungkasnya, di situlah pesan penting yang harus disampaikan kepada umat di tengah menyambut dan merayakan Tahun Baru Islam 1445 Hijriah ini.[] Zainul Krian