Perilaku Korupsi Makin Masif, Akibat Mahalnya Politik Sistem Demokrasi?

Mediaumat.id- Makin masifnya tindak pidana korupsi meski para pelaku telah berpendidikan tinggi bahkan sudah kaya sekalipun, dinilai berkorelasi dengan mahalnya kebutuhan biaya politik dalam sistem demokrasi.

“Karena tuntutan kebutuhan biaya politik yang mahal, maka mereka terus mencari dana politk dari berbagai sumber,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroki kepada Mediaumat.id, Jumat (7/7/2023).

Ditambah ada ‘desakan’ dari partai dan investor politiknya. Tak ayal, mereka makin gencar mencari potensi sumber dana politik termasuk berkolusi dengan para investor politik dimaksud.

Dengan kata lain, dari sistem politik demokrasi yang mahal, lahirlah para politisi sekuler, dan merupakan keniscayaan harus menyiapkan dana politik atau minimal bekerja sama dengan para investor politik untuk membiayai proses politik dalam pemilu.

Seret Nama Jokowi?

Sebutlah semisal kasus korupsi proyek pengadaan menara BTS 4G Kominfo tahun 2020-2022 yang melibatkan mantan Menkoinfo Jhony G Plate. Secara umum dinilainya ada keterkaitan dengan arahan presiden.

“Tentu presiden memberikan arahan secara umum saja dan tidak memberi arahan secara spesifik untuk korupsi,” terangnya, seperti disebutkan oleh kuasa hukum dalam eksepsinya, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (4/7).

Artinya pula, hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu tentang arahan dimaksud. “Yang tahu persis maksud arahan presiden tentu hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu,” ujarnya.

Namun, sekali lagi, kata Wahyudi, sudah menjadi rahasia umum, pejabat politik perlu mencari dana politik dari berbagai sumber dan cara.

Tebang Pilih

Kendati begitu, kata Wahyudi lebih lanjut, belum tentu kemunculan nama presiden ini ditindaklanjuti secara hukum.

Apalagi, sebagaimana diketahui bersama, praktik penegakan hukum di era rezim selama ini terkenal terbang pilih, yang berarti tajam ke lawan politik, tumpul ke kawan.

“Bukankah dalam kasus e-KTP juga ada beberapa nama yang disebut-sebut dalam persidangan, tapi tidak diproses hukum seperti Ganjar, Puan, dll.?” lontarnya membandingkan.

Bahkan konon, imbuhnya, Happy Hapsoro, suami Ketua DPR RI Puan Maharani, perusahaannya pun terseret kasus BTS 4G Kominfo ini.

Apalagi, menteri adalah pembantu presiden. Dia diangkat, diawasi, dinilai dan diberhentikan oleh presiden. “Belum ada ceritanya seorang menteri berani membantah dan melawan arahan presiden karena risikonya dicopot dan dipecat dari jabatannya.

Karenanya pula, menurut Wahyudi, saat ini publik rindu sosok presiden yang menegaskan tidak boleh ada menteri dan pejabat yang korupsi atau setor ke atasan masing-masing, baik dalam birokrasi maupun ke partai politik. “Jika dilakukan maka akan langsung dipecat,” tandasnya.

Artinya, dengan penegasan dari presiden kepada para pejabat negara, maka kecil kemungkinan ada menteri yang nekad korupsi.[] Zainul Krian

Share artikel ini: