Perguruan Tinggi Institusi Penting, Jangan Hanya Menjadi Menara Gading
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)
Berita baik bagi dunia pendidikan tinggi. Times Higher Education (THE) kembali mengeluarkan daftar kampus terbaik dunia versi Impact Ranking 2020. Ada sembilan perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia yang masuk ke daftar ini. Pemeringkatan ini melibatkan 766 universitas dari 85 negara di dunia (kumparan.com, 24/04/2020).
THE Impact Ranking 2020 dilakukan berdasarkan tujuh kriteria tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Dari tujuh kriteria tersebut, beberapa diantaranya yakni memastikan pendidikan inklusif dan berkualitas, memastikan kehidupan sehat dan sejahtera, mengakhiri kemiskinan, sampai merevitalisasi kemitraan global.
Secara berurutan, kesembilan PTN tersebut adalah Universitas Indonesia (UI, peringkat 47), Universitas Gadjah Mada (UGM, peringkat 72), IPB University (peringkat 77), Universitas Padjadjaran (Unpad, peringkat 101-200), Universitas Brawijaya (UB, peringkat 201-300), Universitas Airlangga (Unair, peringkat 301-400), Institut Teknologi Bandung (ITB, peringkat 301-400), Universitas Diponegoro (Undip, peringkat 301-400), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS, peringkat 401-600).
Terlepas dari sejuta kebanggaan terhadap deretan ranking internasional tersebut, ada baiknya kita terlebih dahulu mencermati beberapa hal. Yang karenanya, sebagai insan kampus, teramat penting untuk memposisikan institusi yang berfungsi sebagai gerbongnya para intelektual ini. Ini harus dipahami semata agar kampus tak melulu menjadi menara gading. Maksudnya, di satu sisi menjadi tempat atau kedudukan yang tinggi dan mulia; namun di sisi lain justru sebagai tempat yang membuat orang-orang di dalamnya masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya.
Beranjak dari sini, begitu penting bagi kita untuk memberikan indikator terhadap intelektualitas insan kampus. Agar kampus dapat mengukur sejauh mana produk intelektualitas mereka dapat diterapkan sebagai faktor yang mampu memperbaiki taraf kehidupan, namun bukan sekedar aspek modernisasinya saja.
Terlalu rugi tentunya jika insan terpelajar hanya berkutat di kampus saja. Meneliti dan meneliti. Apalagi jika diiringi dengan terlampau sibuk mencari dana penelitian sampai harus ke sejumlah perusahaan swasta demi riset agar nampak berharga, ini justru mengalihkan peran strategis intelektual itu sendiri. Padahal, hasil riset insan kampus seyogyanya dapat bermanfaat untuk masyarakat luas. Dengan syarat, hasil riset ini harus diadopsi oleh penguasa dalam bentuk kebijakan publik. Bukan demi kepentingan si pemberi dana, terlebih jika itu pihak swasta.
Patutlah kita merefleksi sejenak, bahwa sejak tahun 2006 pemerintah Indonesia terus mendorong berbagai perguruan tinggi di dalam negeri untuk meraih status World Class University (WCU). Bahkan Kemenristekdikti menjadikannya arus dengan agenda yang dinamakan “Peningkatan Reputasi Perguruan Tinggi Indonesia Menuju World Class University (WCU)”. Melalui agenda ini, mulai tahun 2010 pemerintah menargetkan 11 perguruan tinggi negeri (PTN) besar di Indonesia untuk bisa masuk ke dalam kelompok World Class University (WCU) dalam 5 tahun ke depan. Mandat tersebut diberikan guna meningkatkan ranking reputasi perguruan tinggi Indonesia pada sistem pemeringkatan universitas tingkat dunia.
Di samping itu, ada semacam resolusi bahwa abad ke 21 disebut juga sebagai abad KBE (Knowledge Based Economy, Ekonomi Berbasis Pengetahuan). Konsep ini dicanangkan negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tahun 1996 di Paris. Hal ini kemudian diperkuat dan dimasifkan dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos 20-23 Januari 2016, dalam merealisasikan dunia menuju era revolusi industri tahap empat (RI 4.0). Di situ ditegaskan bahwa “’Teori pertumbuhan baru’ menggambarkan upaya untuk memahami peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menggerakkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, investasi riset dan pembangunan, pendidikan, pelatihan dan struktur manajerial yang baru adalah kunci (pen: pertumbuhan ekonomi)”.
Tak berbeda dengan negara lain, Indonesia pun turut mengadopsinya dan menjadikannya arah pembangunan nasional seperti yang tercantum dalam RPJPN tahun 2005-2025. Bahwa “Pengembangan iptek untuk ekonomi diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemanfaatan iptek nasional dalam rangka mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan iptek secara luas dalam sistem produksi barang/jasa, pembangunan pusat-pusat keunggulan iptek, pengembangan lembaga penelitian yang handal, perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil pertemuan dan hak atas kekayaan intelektual.”
Melihat hal ini, kita bisa mengukur betapa seriusnya pemerintah dalam pengarusan dan pemeringkatan WCU. Yang mana, konsep WCU ini dianggap sebagai kemampuan suatu perguruan tinggi dapat berdaya saing global. Prof. Dr. Ir. Tumiran, M.Eng., anggota tim persiapan WCU saat itu, beberapa tahun lalu pernah mencontohkan beberapa negara di kawasan Asia, seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang sudah selangkah lebih maju dalam mengejar WCU. Ia menilai reputasi Perguruan Tinggi untuk menjadi WCU di negara tersebut tidak lepas dari kontribusinya terhadap pembangunan bangsa. Berbagai hasil penelitian universitas dimanfaatkan untuk kepentingan bangsanya.
Akan tetapi, tetap harus disadari bahwa WCU menimbulkan bahaya bagi sistem pendidikan. Bahaya ini tak lain adalah menjauhkan peran intelektual yang selayaknya berkontribusi untuk umat. Pada tataran ini terlihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah kehilangan maknanya sebagai instrumen penting pewujud kesejahteraan masyarakat. Instrumen yang saat ini telah berubah menjadi komoditas bisnis untuk dikomersialisasikan. Bahkan mengharuskan pendidikan tinggi dan lembaga riset dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. Tak ayal, negara pun diposisikan sebatas sebagai pembuat kebijakan, agar koalisi penjajahan intelektual ini menjadi legal dan terlegitimasi.
Wajarlah jika di tengah wabah corona seperti sekarang ini, jelas sekali ada gap yang cukup lebar antara produk riset dunia pendidikan tinggi dengan kebijakan publik yang diambil oleh penguasa. Karena memang arah pandangnya berbeda. Hal ini pun nampak ketika dunia riset sudah sempat memberi alarm kepada penguasa terkait corona, namun penguasa tidak menghiraukannya. Ini sebagaimana pernyataan yang terkesan meremehkan dari sejumlah pejabat. Yang bahkan tak terkecuali berasal dari kementerian yang justru memiliki tugas utama untuk menjaga kesehatan penduduk negeri ini. Tapi ujung-ujungnya, mereka bagai tong kosong yang nyaring bunyinya. Instansinya tak berkutik. Hingga akibatnya, Indonesia sempat menjadi negara yang memiliki fatality rate tertinggi di Asia Tenggara tersebab corona.
Pada akhirnya telah nyata, WCU-KBE adalah bagian agenda Barat kapitalis untuk makin mencengkeramkan penjajahannya di dunia Islam. Para intelektual muslim pun ikut terseret dalam arus yang makin menjauhkan mereka dari idealisme intelektualitasnya. Bahkan secara tidak sadar, mereka dijadikan alat oleh penjajah. Inilah yang terjadi.
Karenanya, urgen akan adanya upaya bersama untuk menyelamatkan pendidikan tinggi dan para intelektual muslim dari berbagai agenda penjajahan kapitalistik tersebut. Ini semata agar intelektual muslim kembali pada hakikat peran mulianya yang sejati. Dan harus ada upaya bersama untuk menyelamatkan pendidikan tinggi dan para intelektual muslim dari berbagai agenda penjajahan Barat. Perguruan tinggi adalah institusi penting, aset umat. Terlalu remeh jika hanya menjadi menara gading. Apalagi jika intelektual di dalamnya teralihkan menjadi buruh pintar milik kapitalis.
Sangat urgen bagi intelektual berperan strategis-politis agar tak mudah terlibas perubahan zaman di era sekular ini. Dan lebih dari itu, intelektual harus meraih kemuliaannya sebagai kaum berilmu sebagaimana pujian yang diberikan oleh Allah SWT dalam QS Al-Mujadalah [58] ayat 11:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Karena itu, hendaknya ilmu yang telah dikuasai, diarahkan pada konstruksi kebenaran dalam mengakomodasi kebutuhan dasar publik. Jangan sebagai faktor produksi di sektor ekonomi. Selanjutnya, negara juga harus hadir dalam pengelolaan ilmu melalui pendidikan tinggi. Perguruan tinggi beserta institusi pengelola pendidikan tinggi merupakan perpanjangan fungsi negara, dalam rangka merealisasikan fungsi pelayanan gratis, murah dan berkualitas terbaik, serta bervisi-misi mencetak secara massal ilmuwan, pakar, teknokrat yang hidupnya didedikasikan untuk kebaikan masyarakat.
Ini semata agar intelektual tidak direndahkan dengan dijadikan sebagai alat pengarus ideologi kapitalisme-sekular. Apalagi jika hanya untuk meraih reputasi WCU. Jelas tak sepadan dengan kemuliaan sejati yang dijanjikan oleh Allah SWT, yakni berupa pahala dan amal jariyah tak berbatas.[]