Perempuan, Bukan Warga “Kelas Kedua”

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata ‘perempuan’? Cantik, menarik, lemah lembut, sabar. Atau terbayang sosok seorang istri, ibu? Topik tentang perempuan memang tidak akan ada habisnya. Ada sebuah peribahasa bahwa bangkit atau ambruknya negara itu tergantung kepada perempuan. Kalau perempuannya bejat, bejatlah negara itu.

Setiap perempuan itu tentu memiliki potensi. Lebih tepatnya potensi kehidupan. Apa saja itu? Perempuan, seperti halnya pria, memiliki potensi kehidupan. Sebagai manusia, perempuan memiliki potensi naluri dan kebutuhan jasmani. Nalurinya yang pertama adalah naluri beragama. Mengkultuskan sesuatu. Memerlukan sesuatu yang agung untuk disembah yaitu Sang Pencipta, tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyaluran naluri beragama ini tidak akan mungkin dipungkiri. Jika penyalurannya benar akan bisa membentuk sebuah ketundukan dan ketakwaan pada diri seseorang.

Lalu bagaimana dengan orang-orang atheis? Mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Mereka yakin bahwa mereka berasal dari materi dan akan kembali kepada materi, an sich. Tuhan itu tidak ada buat mereka.

Ah, orang-orang atheis itu kurang ‘pintar’. Mana mungkin Tuhan itu tidak ada. Adanya sesuatu pasti ada yang membuat. Ada yang menciptakan. Adanya gadget canggih seperti i-phone, i-pad atau yang jauh lebih canggih dari itu pasti ada yang membuatnya. Tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada produsennya. Itu contoh barang. Kalau bicara soal kejadian sehari-hari, contoh kecil saja lah. Anda bisa kentut kan? Kentut itu baunya nggak enak kan?! Kecuali kalau bau kentutnya penghuni surga itu baru baunya harum ya. Bukan bermaksud bercanda, bau kentut itu menunjukkan bahwa ada orang yang kentut kan?! Tapi kita tidak tahu persis orang yang kentut itu jenis kelaminnya apa. Nah di situlah keterbatasan akal manusia. Akal kita itu hanya bisa untuk memikirkan bahwa Pencipta itu ada. Bahwa Tuhan itu ada. Allah itu ada. Tapi tentang bagaimana wujud Allah dan dzat-Nya, kita tidak bisa menjangkaunya. Akal kita lemah. Makanya ada Al Qur’an dan Hadits yang bisa menjelaskan itu semua.

Naluri perempuan yang kedua adalah naluri kasih sayang kepada sesama. Sayang kepada manusia dan juga makhluk yang lain. Lebih spesifik tentang kasih sayang antarmanusia (cinta, red), perempuan ‘cenderung’ kepada lawan jenis. Itu adalah fitrahnya sebagai manusia. Perempuan perlu menikah dengan lawan jenis untuk meneruskan garis keturunannya. Lalu bagaimana dengan lesbi?  Jelas itu menyalahi fitrah. Perempuan fitrahnya ‘cenderung’ kepada pria. Itu sudah kaidahnya. Para lesbian jelas menyalahi kodrat penciptaan perempuan itu sendiri. Allah menciptakan perempuan itu ada pasangannya, yaitu pria, dalam rangka untuk melanjutkan keturunan. Agar memiliki anak dan generasi penerus. Nah, secara fitrah biologis saja, mana mungkin sesama perempuan menikah dan mampu memiliki anak nantinya?! Tidak mungkin. Lalu gimana kalau mereka tetap menjadi seorang lesbian? Dan mereka menganggap bahwa takdir mereka adalah menjadi lesbian.

Wah, itu berarti mereka menyalahi kehendak Tuhan, menyelisihi Allah Ta’ala. Allah itu bukan hanya menciptakan manusia, tapi juga lengkap dengan aturannya bukan?! Kalau para perempuan lesbi itu tetap ngeyel, sudah pasti akan merusak kaidah penciptaan diri mereka sendiri. Akibatnya, keturunan manusia akan rusak. Generasi manusia bisa musnah. Telah kita bahas bahwa jika sesama perempuan menikah, tidak akan bisa menghasilkan keturunan.

Kalau mereka mengatakan itu adalah hak asasi mereka bagaimana? Ya itulah, ujung-ujungnya memakai dalil kebebasan berperilaku. Hak Asasi Manusia (HAM) dibawa-bawa. Itulah bahayanya HAM, aturan buatan manusia. Main tabrak saja meskipun sudah menyalahi kodrat penciptaan manusia dari Tuhan.

Naluri perempuan yang ketiga adalah naluri mempertahankan diri. Perempuan juga punya ego pribadi, seperti layaknya pria. Perempuan bisa terluka jika disakiti, bisa sedih, bisa senang, dan yang lain. Selain itu, perempuan juga punya daya tahan untuk menghadapi masalah, atau membela diri ketika didholimi. Itulah tiga naluri yang dimiliki seorang perempuan.

Nah, selain naluri atau insting, perempuan juga memiliki potensi kehidupan yang lain, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, buang hajat dan lain-lain. Semua orang pasti sudah paham soal ini. Namun kita juga harus paham tentang asal dan penyaluran kedua potensi kehidupan manusia itu, yaitu antara naluri dan kebutuhan jasmani. Naluri itu dorongan atau motivasinya dari luar tubuh manusia dan jika tidak dipenuhi tidak akan sampai menyebabkan kematian. Sedangkan kebutuhan jasmani, munculnya dari dalam tubuh manusia itu dan harus dipenuhi.  Jika tidak dipenuhi kebutuhan jasmaninya, manusia bisa mati.

Hal ini penting untuk dipahami. Kalau tidak, bisa fatal akibatnya. Ada tokoh Barat bernama Sigmund Freud. Dia menyatakan bahwa naluri seks yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan kematian. Dia menyatakan bahwa manusia menjalankan aktivitas dengan motivasi ‘libido’. Akibat adanya propaganda ini manusia, baik pria maupun perempuan bertingkah laku sebebas-bebasnya karena batasannya : asalkan tidak merugikan orang lain. Parah kan?! Jadi yang namanya zina, kumpul kebo, free sex ataupun ganti-ganti pasangan baik berlainan jenis maupun yang sejenis dianggap sebagai hal yang lumrah. Fatal!

Dalam Islam, perempuan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Islam tidak mendiskriminasi atau memarjinalkan perempuan. Islam tak pernah menempatkan perempuan pada posisi ‘kelas kedua’. Justru Islam hadir untuk menyelamatkan perempuan dari kekangan sistem jahiliyah. Islam datang untuk memuliakan perempuan, karena perempuan begitu istimewa. Karena perempuan adalah anugerah dari Sang Maha Cinta, Allah Ta’ala. []

Emma Lucya F

Penulis buku-buku Islami

Share artikel ini: