Perbedaan Idul Adha Indonesia dan Saudi Tak Akan Terjadi, Kalau…

 Perbedaan Idul Adha Indonesia dan Saudi Tak Akan Terjadi, Kalau…

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Dr. N Faqih Syarif H, M.Si. menuturkan, perbedaan penetapan Hari Raya Idul Adha 1443 H antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tidak akan terjadi kalau kaum Muslim tak terkoyak ikatan kebangsaan (nation).

“Semua itu akan hilang kalau memang di dalam diri kaum Muslim, di negeri-negeri kaum Muslim itu tidak tercabik-cabik dengan ikatan nation,” ujarnya dalam Kabar Petang: Hari Raya Idul Adha 1443 H, Ikut Siapa? di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (7/7/2022).

Maknanya, yang paling memengaruhi perbedaan tersebut, bukan sekadar dalil syar’i-nya, tetapi karena faktor nasionalisme berikut sekat-sekat kebangsaannya.

Namun demikian, secara dalil ia pun mengutip hadits yang secara sanad dipahami termasuk muttasil sahih, atau yang bersambung sanadnya, baik sampai kepada Nabi SAW atau sahabat saja. “Bahwasanya amir (wali) Makkah berkhotbah dan menyatakan: ‘Rasulullah SAW memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan rukyat. Apabila kita tidak melihat (hilal), sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut’” (HR Abu Dawud).

Sehingga, kata Faqih, berdasarkan hadits tersebut, cukuplah acuan atau rujukannya adalah rukyatulhilal penguasa Makkah. “Kalau hari ini penguasa Makkahnya, Saudi Arabia, berkaitan dengan pelaksanaan wukuf Arafah,” terangnya.

Oleh karena itu, lanjut Faqih, semestinya umat Islam seluruh dunia bisa bersatu dalam hal sederhana seperti penetapan Idul Adha. “Menurut saya sih harusnya itu bisa satu seluruh dunia,” timpalnya.

Pasalnya, penetapan Idul Adha memang dilihat dari segi harinya. “Hari itu hari apa, bukan dari segi jamnya berdasarkan rukyatul penguasa Makkah,” tukasnya.

Maka kalau sudah ditetapkan hari Arafah dengan pelaksanaan wukufnya tanggal 9 Zulhijah yang bertepatan dengan Jumat (8/7), karena rukyatulhilal sudah berhasil dilakukan pada Rabu (29/6), berarti keesokan harinya, Sabtu (9/7) adalah tanggal 10 Zulhijah atau Idul Adha.

“Itu (8 Juli) hari Arafah dan wukuf Arafah di sana, kemudian kaum Muslim yang tidak melakukan ibadah haji, disunnahkan untuk berpuasa Arafah,” ulasnya.

Terlebih, sebagaimana kaidah syar’iyah yang termasyhur, amrul imam yarfa’ul khilaf, perintah seorang imam, amirul mukminin atau biasa dikenal dengan sebutan khalifah, dengannya, perbedaan termasuk di dalamnya penetapan Idul Adha bakal dengan mudah bisa diselesaikan.

Namun demikian, kalaulah saat ini masih ada perbedaan, ia mengimbau kepada umat untuk tidak mengklaim dirinya yang paling benar sementara yang lain justru dikatakan salah.

“Hari ini gara-gara perbedaan yang ikhtilaf misalnya persoalan fikih itu kemudian mengklaim benar sendiri. Itu menjadi masalah nanti,” ucapnya.

“Di situlah perlu edukasi di tengah-tengah masyarakat. Jangan kemudian gara-gara persoalan ini kemudian kita jadi bermusuhan, tidak,” tuturnya.

Tak hanya itu, penting juga melakukan dakwah tentang wajibnya keterikatan umat Islam kepada hukum syara’. “Tinggal nanti persoalannya di dalam hukum syara’ itu adalah dalil mana yang paling kuat,” tambahnya.

Sehingga sekali lagi ia menegaskan, pentingnya keberadaan seorang imam. “Amrul imam yarfa’ul khilaf tadi itu, maka di sinilah persatuan hakiki ini tadi yang saya sebutkan, itu baru terlaksana manakala umat ini berada dalam satu naungan institusi politik yaitu pemerintahan Islam global seluruh dunia,” urainya.

Khilafah

“Itulah yang kemudian disebut dengan khilafah Islamiah,” tandasnya.

Dengan adanya khilafah, sambung Faqih, hilanglah segala perbedaan yang menyebabkan umat terpenjara dalam batas-batas kebangsaan (nation), warna kulit, ataupun bahasa.

“Itu pelajaran haji adalah pelajaran yang luar biasa,” sebutnya, seraya menyampaikan pertanyaan sederhana, mengapa di dalam rangkaian ibadah haji saja umat Islam mampu menanggalkan segala perbedaan tersebut, tetapi tidak pascakembali ke tanah air masing-masing?

Lantaran itu, ia pun mengingatkan, khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam tidak boleh dimaknai macam-macam oleh siapa pun di luar makna sebenarnya.

“Inilah harus dilakukan edukasi, dakwah terus menerus, kemudian jangan dituduh macam-macam,” cetusnya.

Lebih dari itu, khilafah juga akan memelihara persatuan umat agar tidak terpecah belah atau bahkan saling menyerang. Tetapi sebaliknya, justru untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan tentunya.

Dengan demikian, Faqih menyatakan, demi kelangsungan kehidupan Islam berikut persatuan dan kesatuan seluruh umat Islam, tidak ada cara lain selain dengan tegaknya syariat Islam. Sedangkan syariat Islam tidak akan pernah tegak tanpa adanya daulah khilafah Islamiah.

Baginya, hanya dengan cara itulah Islam rahmatan lil alamin benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh umat. “Tidak hanya umat Muslim, tetapi seluruh umat manusia bahkan hewan pun merasakan bagaimana rahmatan lil alamin-nya,” pungkas Faqih.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *