Peran Pemikiran Dalam Membentuk Pemahaman dan Mengubah Perilaku
Bulūghul Marām Min Kitāb Nizāmil Islām | Meraih Tujuan Besar Dengan Peraturan Hidup Dalam Islam | Halqoh Kelima
Segala puji bagi Allah pemilik anugerah dan kenikmatan, keutamaan dan kemuliaan, kekuatan yang tidak seorang pun bisa mengalahkan, dan kebesaran yang tidak seorang pun bisa membahayakan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad sebaik-baik manusia, dan penutup para Rasul yang agung, juga keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang mulia, yang menerapkan sistem Islam, dan sungguh-sungguh berkomitmen terhadap hukum-hukumnya. Ya Allah, jadikan kami bersama mereka, kumpulkan kami dengan kelompok mereka, dan teguhkan kami hingga kami bertemu-Mu pada hari di mana kaki-kaki berjalan dengan cepat pada hari kiamat.
Wahai orang-orang yang beriman:
Assalāmu ‘alaikum warahmatullāh wabarakātuh, selanjutnya: Kami akan bersama dengan kalian melanjutkan serial halqoh, kitab kami “Bulūghul Marām Min Kitāb Nizāmil Islām”. Di halqoh kelima ini, temanya adalah “Peran Pemikiran Dalam Membentuk Pemahaman dan Mengubah Perilaku”. Dalam halqoh kelima ini kami akan merenungi apa yang terdapat pada halaman keempat kitab “Nizāmul Islām” karya seorang ulama, pemikir dan politikus Islam, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullāh berkata: “Manusia akan bangkit dengan pemikirannya tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Sehingga harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain agar manusia mampu bangkit. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafāhīm (persepsi) terhadap segala sesuatu. Di samping itu, manusia selalu menyesuaikan tingkah lakunya dalam kehidupan ini dengan mafāhīm-nya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafāhīm seseorang terhadap orang yang dicintainya akan membentuk perilaku yang berlawanan dari orang tersebut terhadap orang lain yang dibencinya, karena ia memiliki mafāhīm kebencian terhadapnya. Begitu juga akan berbeda terhadap orang yang sama sekali tidak dikenalnya, karena ia tidak memiliki mafhūm (persepsi) apapun terhadap orang tersebut.”
Dengan berharap ampunan kepada Allah, juga maghfiroh, ridha dan surga-Nya: Supaya kita memahami seruan yang ditujukan pada kita dalam kitab ini, maka kita harus mengetahui arti dari beberapa kata yang terdapat dalam paragraf sebelumnya: an-nahdhah (kebangkitan) seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah tingginya pemikiran yang tercermin dalam perilaku. Pemikiran (al-fikru) adalah menghukumi realita. Pemikiran yang mendasar (al-fikru al-asāsi) adalah pemikiran yang tidak didahului oleh pemikiran, yakni pemikiran ini merupakan pemikiran yang bersifat akidah. Sementara pemikiran yang komprehensif (al-fikru al-asāsi) adalah pemikiran yang mencakup semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi dan lainnya. Kita juga harus menyadari bahwa pemikiran itulah yang menciptakan berbagai konsep (al-mafāhīm) tentang sejumlah hal.
Sedang konsep (al-mafāhīm) itu adalah makna dari pemikiran, bukan arti dari kata-kata. Dan untuk menghukumi pemikiran harus berasal dari sudut pandang akidah. Agar pemahaman itu menjadi konsep, harus ada tiga hal: Pertama, pemikiran itu harus diketahui (ada) realitanya. Kedua, pemikiran itu diyakininya. Ketiga, pemikiran harus dikaitkan dengan perilaku. Maka dengan contoh, pernyataan itu akan menjadi jelas seperti yang mereka katakan: Jika kita menempatkan “bara api” dan “buah” di atas piring. Kemudian kita berikan keduanya kepada anak kecil. Kita berkata kepadanya: “Ini adalah bara api yang membakar dan melukai”, sedang “ini buah yang menyehatkan tubuhmu”. Ambillah apa yang kamu suka, dan tinggalkan apa yang tidak kamu suka. Anak kecil itu akan menjulurkan tangannya ke bara api terlebih dahulu untuk mengambilnya. Akan tetapi begitu tangannya sudah dekat dengan api itu, dan dia merasakan sengatan panasnya, maka dia segera menjauhkan tangannya dari api itu. Sehingga jika kita kembali memberikan bara api kepadanya, maka dia tidak akan berusaha meraihnya lagi. Sebaliknya, dia akan berusaha menjauh darinya dengan segera karena takut terkena sengatan panasnya.
Apa yang terjadi? Mengapa perilaku anak itu berubah menjadi bertolak belakang? Yakni dari mendekati bara api, lalu menjauhinya? Kami berkata kepadanya, “bara api ini membakar dan melukai”. Kalimat ini hanyalah sebuah pemikiran, yang pada awalnya anak itu tidak menyadari realitanya, kemudian ia menyadarinya, lalu meyakininya, dan mengaitkan dengan perilakunya.
Begitulah para sahabat menerima pemikiran Islam dari Rasulullah saw, lalu pemikiran itu berubah menjadi konsep yang sangat mereka yakininya. Rasulullah saw menyampaikan kepada mereka tentang neraka jahannam, mereka membayangkan panasnya seolah-olah neraka jahannam ada di depannya. Rasulullah saw menyampaikan kepada mereka tentang surga, maka seolah-olah mereka melihatnya ada di depan mata, hingga salah seorang dari mereka berkata kepada Rasulullah saw: “Sungguh saya telah merasakan baunya, wahai Rasulullah!”
Mari kita ambil contoh lain dari biografi sahabat Nabi saw untuk menunjukkan bahwa perubahan perilaku terkait erat dengan perubahan konsep (pemahaman) tentang kehidupan. Bahwasannya perubahan konsep akan membuat perilaku benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Lihatlah sang jagoan jahiliyah, Umar bin Khattab, yang pergi untuk memenggal kepala Nabi yang agung dengan pedangnya, maka pada saat imannya semakin bercahaya, justru ia pergi dengan pedang yang sama untuk memenggal kepala para musuh dan penganiaya Nabi saw.
Umar bin Khattab keluar dari rumahnya dengan menyandang pedang, bermaksud mencari Rasulullah saw untuk membunuhnya. Di jalam ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah, sedang ia diantara kaum Muslim yang menyembunyikan ke-Islam-annya. Nu’aim menghentikannya dan berkata: “Mau ke mana, wahai Umar?” Dengan lantang dan serius, Umar berkata: “Saya menginginkan Muhammad. Sungguh bocah inilah yang telah membuat perpecahan kaum Quraisy, merendahkan akalnya, mencaci agamanya, dan menghina para tuhannya. Untuk itu, saya mau membunuhnya!” Mendengar perkataan Umar itu, Nu’aim menjadi diselimuti perasaan takut dan gelisah. Dia melihat bahaya besar sedang mengintai Rasulullah. Di tengah ketakutan yang menyelimutinya, Nu’aim berkata: “Demi Allah, engkau menipu dirimu sendiri, wahai Umar! Tidakkah engkau berpikir bahwa bani Abdul Manaf akan membiarkanmu tetap hidup setelah engkau membunuh putra mereka, Muhammad? Mengapa engkau tidak segera kembali ke rumahmu dan memperbaiki keluargamu sendiri?” Di tengah suasana gelisah, Umar berkata: “Keluargaku yang mana?” Nu’aim berkata: “Sepupumu, Said bin Zaid bin Amr dan saudara perempuanmu, Fatimah bintu Khattab. Demia Allah, keduanya telah mengikuti Muhammad dan agamanya, maka kamu harus memperbaiki keduanya!”
Umar sangat marah hingga dia melupakan apa yang tengah dipikirkannya, dan cepat-cepat pergi ke rumah adik perempuannya. Sebelum masuk, dia mendengar suara-suara yang menurutnya aneh. Lalu dengan sangat kasar dia mengetuk pintu, dan berteriak dengan suaranya yang menderu minta dibukakan. Hubab segera bersembunyi, dan Said membukan pintu. Umar masuk dengan penuh amarah, seolah dari kedua matanya memuntahkan percikan api, lalu bertanya tanpa izin: “Suara aneh apa yang tadi saya dengar?” Keduanya menjawab: “Kamu tidak mendengar apa-apa!”
Umar berkata: “Tidak, saya mendengarnya. Demi Allah, saya diberitahu bahwa kalian berdua telah mengikuti Muhammad dan agamanya”. Kemudian dengan brutal, Umar mulai memukuli Said. Dan di saat suasana yang menegangkan itu, Fatimah—radhiyallāhu ‘anhā—istri yang setia ikut campur tangan membela suaminya. Fatimah berdiri di antara suaminya dan Umar yang sedang menyerangnya. Seketika itu Umar berbalik marah kepada adiknya, dan ia tidak berusaha memperbaiki kesalahan dirinya, melainkan memukulnya dengan pukulan yang menyakitkan, yang melukai kepalanya, hingga darah mengalir di wajahnya.
Dalam situasi penentangan yang jelas ini, Said bin Zaid berdiri menantang Umar dan berkata: “Ya, kami telah masuk Islam, serta beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka lakukan apa yang terlintas dalam pikiranmu”. Jika kamu kagum, maka kagumlah pada sikap adik perempuannya, Fatimah, seorang perempuan yang lemah. Namun dia berdiri tegak dalam menghadapi penentangan yang telanjang, dan tegar menghadapi saudara laki-lakinya, Umar. Fatimah berkata kepadanya: “Tunduklah dengan semua itu, wahai Umar”. Maka pikiran Umar menjadi kacau, apa yang terjadi dengannya?! Apa yang yang membuatnya begitu berani?! Meski Umar sangat tegas dan kuat, namun dia merasa lemah, tidak mampu berdiri di hadapan wanita ini. Dan pada saat yang sama, dia merasa seolah-olah Fatimah telah menjadi gunung kokoh yang berdiri di depannya. Walaupun begitu, Umar berkata: “Saya merasa malu ketika saya melihat darah, hingga saya duduk”. Kemudian Umar berkata: “Tunjukkan buku itu kepada saya”. Dan pukulan menyakitkan yang kedua kembali dihadiahkan, di mana adik perempuannya, Fatimah berkata kepadanya: “Saudaraku, kamu dengan kesyirikanmu adalah najis. Dan tidak boleh menyentuh lembaran ini, kecuali orang yang suci”.
Bertolak belakang dengan apa yang diperkirakan oleh manusia, maka dengan tenang, Umar berdiri dan pergi untuk mandi. Setelah mandi, Fatimah memberikan kepada Umar lembaran yang akan dibacanya, dengan lidahnya, pikirannya, dan hatinya, Umar membaca: “Bismillāhi ar-rahmāni ar-rahīmi, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Umar berkata: “Ungkapan yang suci, baik dan sempurna, itu adalah nama-nama yang baik dan suci.” Kemudian Umar membaca: “Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah,. Yang bersemayam di atas Arasy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya, dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang barhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-Asma al-Husna (nama-nama yang baik).” (TQS Thoha [20] : 1-8).
Umar mengalami goncangan. Sungguh dia mendapati dirinya tunduk dan merendahkan diri karena takut kepada Allah. Dan dalam sesaat sentuhan iman dalam dirinya menyinari hatinya. Umar berkata: Hal itu terasa besar di dadaku. Sungguh alangkah baiknya pernyataan itu, dan betapa indahnya! Dengan demikian keadaan Umar telah berubah. Dan ini adalah salah satu momen terbesar yang pasti dilalui oleh umat manusia. Dalam sesaat, seorang pria yang bersujud kepada berhala dan menyiksa mereka yang beriman, telah berubah menjadi raksasa iman, dan menjadi pemisah yang dengannya Allah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, serta berubah menjadi seorang laki-laki yang selalu merasa diawasi Allah di setiap gerakan dan diamnya, juga di setiap perkataan dan bisikan. Sungguh Umar telah berubah oleh hanya delapan ayat, dan delapan ayat tersebut telah membuat Umar menjadi legendaris Islam yang luar biasa. Ketika Khubab mendengar Umar berkata: Sungguh alangkah baiknya pernyataan itu, dan betapa indahnya! Maka Khubab keluar dari pesembunyiannya. Khubab berkata: Wahai Umar, demi Allah, sungguh saya ingin Allah megkhususkan kamu dalam do’a nabi-Nya. Kemarin, saya mendengarnya berdoa: “Ya Allah, kuatkan Islam dengan Abu al-Hakam bin Hisyam, atau Umar bin Khattab, takutlah pada Allah, takutlah pada Allah, wahai Umar.”
Pada saat itulah, Umar mengatakan dengan penegasan dan pengakuan atas risalah Muhammad: “Di mana Rasulullah?” Khabab berkata: “Beliau berada di Dar al-Arqam.” Umar mengambil pedang dan menyandangnya, kemudian dia kembali ke Rasulullah. Namu kali ini dia pergi dengan hati seorang mukmin. Di depan Dar Al-Arqam, Umar mengetok pintu yang di dalamnya ada Rasulullah dan para sahabatnya. Lalu berdiri seorang laki-laki di antara sahabat Rasulullah. Dia mengintip dari sela-sela pintu, lalu dia menemukan Umar. Dengan diselimuti ketakutan, sahabat itu kembali menemui Rasulullah, dan berkata: “Wahai Rasulullah, itu ada Umar bin Khattab sambil menyandang pedang!”
Ketika itu di rumah al-Arqam ada empat puluh sahabat yang bersama Rasulullah saw. Meskipun jumlah mereka tidak seberapa, namun di saat situasi yang genting dan menegangkan ini, ada yang siap untuk melindungi semua sahabat, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib—yang hatinya diwarnai iman sejak tiga hari sebelumnya. Hamzah berdiri dan dengan lantang dia berkata: “Izinkan dia masuk! Jika dia datang untuk menginginkan kebaikan, maka kita berikan kepadanya yang lebih baik. Dan jika dia datang untuk menginginkan kejahatan, maka dia akan kita bunuh dengan pedangnya.” Rasulullah saw bersabda: “Izinkan dia masuk.” Lalu Umar dibukakan pitu. Sehingga masuklah Umar ke dalam rumah yang diberkati, yaitu rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Selanjutnya mereka membawa Umar ke sebuah ruangan. Rasulullah saw berdiri menyambutnya. Setelah Umar masuk dan berada di dekat Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw memegang jubahnya, lalu menariknya dengan keras, dan berkata kepadanya: “Apa yang membuatmu datang, wahai Ibnu Khattab? Demi Allah, saya tidak melihat kamu berhenti hingga Allah menimpakan bencana kepadamu.” Ketika itu Umar menjawab dengan suara rendah: “Wahai Rasulullah, saya datang untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta apa yang dibawa dari sisi Allah.” Begitulah perubahan perilaku Umar dari puncak kekufuran ke puncak keimanan!
Wahai orang-orang yang beriman:
Kami cukupkan sampai di sini halqoh kali ini. Kami berjanji akan bersama kalian kembali dalam halqoh berikutnya, in syā Allah. Kami berharap saat itu datang dan kami selalu bersama kalian. Kami tinggalkan kalian dalam pengawasan, penjagaan dan keamanan Allah. Dengan memohon kepada Allah tabāraka wa ta’ālā semoga kami dikuatkan dengan Islam, dan dimuliakan dengan kemenangannya, semoga kami terhibur dengan berdirinya negara Khilafah dalam waktu dekat, dan semoga kami dijadikan prajuritnya, saksi dan para syahidnya. Sungguh Allah berkuasa dan sangat mudah mewujudkannya. Kami ucapkan banyak terima kasih atas perhatian kalian. Wassalāmu ‘alaikum warahmatullāh wabarakātuh.[]