Perajin Tahu Tempe Mogok Kerja, FAKKTA: Tak Ada Jaminan Pasar dari Harga Kedelai

Mediaumat.news – Ancaman mogok produksi oleh perajin tahu tempe di Kota Bandung, Jawa Barat pada 28-30 Mei 2021, sebagai bentuk protes atas kenaikan harga kedelai dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak karena tak ada jaminan pasar terhadap harga kedelai petani lokal.

“Tak ada jaminan pasar terhadap harga kedelai petani lokal,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Jumat (21/5/2021).

Ishak menilai, petani kedelai mengalami kerugian karena harga produksi kedelai mereka lebih mahal daripada harga kedelai impor. “Hal ini karena kurangnya perlindungan pemerintah terhadap petani kedelai lokal yakni tarif impor kedelai sebesar nol persen,” ungkapnya.

Selain itu, ia melihat, luas lahan juga terus menurun meskipun produktivitas per hektare meningkat. “Sebabnya, lahan kedelai mengalami transformasi dan alih fungsi untuk tanaman lain. Alih fungsi lahan menurun karena minat petani untuk menanam kedelai turun,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ishak mengungkap, lemahnya sosialisasi dan distribusi bibit unggul yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan juga menjadi masalah bagi perajin tahu tempe. Petani belum mendapat cukup akses untuk menggunakan varietas tersebut di lahan produksi mereka.

Sedangkan, lanjut Ishak, perajin atau pengusaha berbasis kedelai lebih menyukai kedelai impor yang bijinya lebih besar dan warnanya lebih cerah dibanding kedelai lokal. Sebaliknya, kedelai lokal, ukurannya kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai dan proses peragiannya pun lebih lama.

“Tapi untuk tahu, rasa tahu (dari kedelai lokal) lebih lezat, rendemennya pun lebih tinggi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik,” bebernya.

Berlarut-larut

Ishak menilai, persoalan ini dibiarkan berlarut-larut oleh pemerintah karena ketidakseriusan pemerintah mengembangkan sektor pertanian, termasuk kedelai. “Subsidi pupuk turun dari 37 menjadi 27 triliun. Kebutuhan 12-13 juta ton tapi produksi lokal hanya 10 juta ton,” ungkapnya.

Di samping itu, menurutnya, tingginya rente dari kegiatan impor pangan seperti bawang putih, daging sapi dan juga tekanan dari negara eksportir (AS) lewat WTO menjadikan masalah ini terus berulang.

Menurutnya, sejak dulu, kebijakan di sektor pertanian, termasuk perdagangan pangan tidak sepenuhnya dapat dikontrol pemerintah, seperti bebas menerapkan kebijakan perdagangan tarif dan non-tarif untuk melindungi produksi dalam negeri.

Ia pun mencontohkan, pada 2018, AS meminta WTO menjatuhkan sanksi sebesar US$ 350 juta atau sekitar Rp5 triliun terhadap Indonesia karena tahun 2016, menerapkan NTM (kebijakan non tarif/non-tariff measures) pada beberapa produk impor dari AS dan NZ, di antaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi.

Solusi

Menurut Ishak, untuk mengatasi persoalan ini, Islam memberikan solusi yakni dengan menerapkan politik pertanian berupa swasembada pangan.

“Dalam perspektif Islam, semestinya menerapkan politik pertanian yakni swasembada pangan yang meliputi kebutuhan pokok, dharar bagi rakyat dan negara serta sumber devisa untuk revolusi industri,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya, dukungan pemerintah kepada petani juga menjadi hal yang penting. “Tanah-tanah terlantar, bibit dan pupuk, dapat diberikan kepada petani,” ujarnya.

“Terakhir, pemerintah dapat memberikan kompensasi bagi petani ketika harga turun, seperti di AS,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: