Oleh: Boedihardjo, S.H.I. (Ketua LBH Pelita Umat Jatim)
Korupsi marak di negara demokrasi. Korupsi saat ini bukan hanya karena rakus harta, tapi juga karena motif kekuasaan. Politisi dan para wakil rakyat yang turut memengaruhi kebijakan dan pengisian jabatan menjadi salah satu pintu korupsi. Wakil rakyat yang turut memiliki otoritas penganggaran, penentuan kebijakan, penentuan proyek, dan pengisian jabatan memunculkan mafia anggaran, makelar proyek, calo jabatan, dsb. Kekuasaan legislasi membuat undang-undang di tengah desakan biaya politik tinggi, akhirnya UU dan aturan diperdagangkan demi kepentingan kapitalis bahkan asing, dengan imbalan uang.
Namun semua itu mampu ditutup rapat bila mengadopsi Syariah Islam. Dalam Sistem Islam, politisi dan anggota Majelis Ummat, tidak turut menentukan UU, kebijakan, anggaran, proyek dan pengisian jabatan. Politisi dan anggota Majelis Ummat hanya fokus pada fungsi kontrol dan koreksi, termasuk menggunakan jalur Mahkamah Mazhalim. Adapun penentuan kepala daerah, ia ditunjuk oleh Khalifah. Namun keberlangsungannya selain ditentukan oleh Khalifah, juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat termasuk para anggota Majelis Wilayah. Jika mereka tidak menerimanya atau meminta diganti, maka Khalifah harus mengganti kepala daerah itu. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Rasul saw yang mengganti al-‘Ala’ bin al-Hadhrami sebagai gubernur Bahrain ketika masyarakat mengajukan keberatan atasnya.
Sementara motif kerakusan harta dibabat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi. Syariah Islam memberi batasan yang simpel dan jelas tentang harta ghulul (harta yang diperoleh secara ilegal). Rasul saw bersabda:
«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)
Hadits ini jelas, bahwa harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan yang telah ditentukan, apapun namanya, baik hadiah, fee, pungutan, dsb, merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.
Menurut hadits ini, pemberian (pendapatan) aparat harus jelas, maka pertambahan kekayaan yang wajar dari aparat itu juga akan jelas. Pertambahan di luar kadar yang wajar itu harus dipertanggungjawabkan dan dibuktikan perolehannya secara sah. Sebab jika tidak, itu termasuk harta ghulul dan harus diserahkan ke kas negara. Hal itu mudah diketahui melalui pencatatan kekayaan aparat, pejabat dan penguasa seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra.
Abdullah bin Umar menuturkan, Khalifah Umar bin Khaththab memerintahkan pencatatan harta para penguasa daerah. Jika ada kelebihan kekayaan dari jumlah yang wajar, maka Umar membagi dua kelebihan harta mereka itu. Setengah untuk pejabat itu dan setengahnya disita dan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal (Al-Hafizh as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, hal 132). Apa yang dilakukan oleh Umar itu didengar dan disaksikan oleh para sahabat, dan tidak ada dari mereka yang mengingkarinya sehingga menjadi ijmak sahabat bahwa hal itu adalah dibenarkan dan disyariatkan.
Berbekal catatan harta itu, bisa dibuktikan adanya kelebihan harta aparat, pejabat dan penguasa yang tidak wajar. Selanjutnya aparat, pejabat atau penguasa itu harus membuktikan bahwa kelebihan harta itu diperoleh secara sah. Proses pembuktian seperti itulah yang disebut proses pembuktian terbalik. Jika ia tidak bisa membuktikan, maka jumlah harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah, sebagian atau seluruhnya disita dan dimasukkan ke kas negara. Penyitaan harta yang tidak bisa dibuktikan perolehannya secara sah itulah yang disebut “pemiskinan” koruptor. Cara itu sangat ampuh untuk memberantas korupsi dan menindak koruptor, sebab langsung menohok motif rakus harta yang mendorong koruptor melakukan korupsi. Jika cara seperti itu diterapkan, maka tidak ada lagi kebuntuan pemberantasan korupsi akibat aparat kesulitan menemukan bukti materiil. Aparat cukup membuktikan adanya kelebihan harta kekayaan yang tak wajar. Hal itu bisa dilakukan berdasarkan rekening, inventaris kekayaan, harta yang dimiliki, atau laporan kekayaan.
Proses itu diterapkan pada diri pejabat dan orang-orang dekatnya. Umar bin Khaththab ra. pernah menyita harta Abu Bakrah ra. Ketika ia protes, “Aku tidak bekerja kepada anda”, Khalifah Umar menjawab, “Benar, tetapi saudaramu menjadi pengurus Baitul Mal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah (di Bashrah, Iraq); dan ia meminjamkan uang dari Baitul Mal kepadamu untuk berdagang.” (Syahid al-Mihrab, hal. 284). Begitu pun Umar pernah menyita dari Abu Sufyan harta pemberian anaknya, Muawiyah, gubernur Syam.
Terhadap koruptor dijatuhkan sanksi tegas yang memberikan efek jera. Korupsi termasuk sanksi ta’zir, bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, menurut batasan syariah. Bentuknya bisa berupa penyitaan harta, tasyhîr (diekspos), penjara sangat lama, dijilid, hingga hukuman mati. Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528).
Sebelum semua itu korupsi bisa dicegah oleh keimanan dan ketakwaan. Karena dengan itu orang akan takut melakukan korupsi karena takut azab di akhirat. Allah berfirman:
وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَة
Barangsiapa berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (QS. Ali ‘Imran [3]: 161)
Lebih takut lagi karena ternyata harta ghulul itu tidak bisa dibersihkan dengan bersedekah. Sebab Nabi saw bersabda:
«لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ»
Allah tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (bersuci) dan juga tidak menerima shadaqah dari harta ghulul (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad)[]