Oleh: Agung Wisnuwardana
Tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’ mengenai kedudukan khilafah sebagai masalah ma’lumun min ad-din bi adh-dharurah [sudah maklum dan diketahui urgensinya dalam Islam]. Baik di kalangan Ahlussunnah waljamaah, Syiah, Khawarij maupun Murjiah, kecuali kelompok sempalan, seperti al-Asham, yang disebut al-Qurthubi sebagai orang yang tuli tentang syariah.
Ulama’ mutakhir juga sama, tidak ada perselisihan di kalangan mereka. Kecuali, mereka yang menjadi ulama salathin [ulama penguasa], yang lebih takut kepada penguasa, ketimbang takut kepada Allah SWT.
Khilafah itu ada sejak tahun 632 M/10 H dengan Khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq, dan ibukota Madinah al-Munawwarah [Saudi Arabia] hingga 1924 M/1342 H, dengan Khalifah terakhir Sultan Abdul Majid, dengan ibukota Istambul, Turki.
Dalam sejarah panjang, yang terbentang selama 14 abad, wilayah Khilafah Islam mengalami pasang surut. Wilayahnya terbentang meliputi 2/3 dunia, 3 benua [Asia, Afrika dan sebagian Eropa], dengan wilayah mencapai 20 juta km2, atau dua kali lipat wilayah AS saat ini. Ibukotanya pun berpindah-pindah, dari Madinah al-Munawwarah [Saudi Arabia], Kufah [Irak], Damaskus [Suriah], Baghdad, Sammara [Irak], Kairo [Mesir], hingga Istanbul [Turki].
Khilafah runtuh tahun 1924 Nasehi. Runtuhnya khilafah disebabkan karena faktor internal dan eksternal umat Islam. Secara internal, umat Islam mengalami kemerosotan taraf berpikir dan lemahnya pemahaman mereka tentang Islam. Kemerosotan taraf berpikir dan lemahnya pemahaman mereka ini menyebabkan mereka hilang kepercayaan dirinya dengan Islam, lalu mengambil tsaqafah (pandangan hidup) bukan dari Islam.
Di sisi lain, ini juga merupakan hasil dari serangan eksternal umat Islam. Mulai dari perang pemikiran, politik hingga militer. Perang pemikiran berhasil menghancurkan kepercayaan diri umat Islam kepada Islam, dan berhasil melemahkan pemahaman mereka tentang Islam. Ditambah dengan perang politik, dan militer yang dilakukan melalui invasi dan penjajahan di dunia Islam.[]