PEPS: Pemerintahan Jokowi Terburuk Atasi Kemiskinan

Mediaumat.id – Managing Director at Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai, pemerintahan Jokowi selama delapan tahun ini sebagai yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia dalam mengatasi masalah kemiskinan.

“Pemerintahan Jokowi menjadi yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia sejak 1970 dalam mengatasi masalah sosial kemiskinan,” ungkapnya di Jakarta, seperti dilansir Mediumat.id, Ahad (12/2/2023).

Menurutnya, pemerintahan Jokowi hanya mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebanyak 1,39 persen, yaitu dari 10,96 persen pada 2014 menjadi 9,57 persen pada 2022. Jumlah ini sangat tidak signifikan, sehingga bisa dikatakan gagal total mengentaskan angka kemiskinan.

Membandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, kata Anthony, prestasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih baik dari pemerintahan Jokowi. “Tingkat kemiskinan sepanjang periode 10 tahun pemerintahan SBY turun 5,7 persen, dari 16,66 persen (2004) menjadi 10,96 persen (2014),” ujarnya.

Malah pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebutnya, lebih spektakuler lagi. “Tingkat kemiskinan turun 4,29 persen hanya dalam satu tahun, yaitu dari 23,43 persen pada 1999 menjadi 19,14 persen pada 2000,” beber Anthony.

Secara keseluruhan, ia memaparkan bahwa pemerintahan Gus Dur dan Megawati mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 6,77 persen hanya dalam 5 tahun, yaitu dari 23,43 persen (1999) menjadi 16,66 persen (2004).

Terlebih pemerintahan Soeharto. Meski menuai banyak kritik, lanjutnya, ternyata mempunyai prestasi mengagumkan dalam pengentasan kemiskinan.

“Pemerintahan Soeharto berhasil mengurangi kemiskinan lebih ekstrem lagi,” tandasnya, sembari membeberkan tingkat kemiskinan pada 1970 sebesar 60 persen dari populasi, kemudian turun menjadi 28,6 persen pada 1980.

Ditambah periode sepuluh tahun selanjutnya, yakni 1980-1990, menurutnya, tingkat kemiskinan masih turun tajam hingga 13,5 persen dari 28,6 persen (1980) menjadi 15,1 persen (1990).

Lantaran itu, berkenaan dengan upaya pemberantasan kemiskinan di era sekarang, Anthony menyampaikan bahwa pemerintahan Jokowi gagal total.

Padahal selama delapan tahun pemerintah Jokowi (2014-2022) nilai nominal perekonomian menyentuh angka Rp9.450 triliun, atau naik 93,6 persen dari Rp10.095 triliun (2014) menjadi Rp19.545 triliun (2022).

Untuk Oligarki

 

“Ya, ekonomi nilai nominal naik 9.450 triliun rupiah. Tetapi untuk siapa?” herannya, dengan menilai bahwa kaum oligarki, penguasa sekaligus pengusahalah yang bakal meraup keuntungan di sini.

Lagi pula sudah menjadi rahasia umum, kenaikan ekonomi dengan nilai nominal yang sangat besar itu berasal dari kekayaan sumber daya alam Indonesia, termasuk mineral, batu bara dan perkebunan, yang hampir seluruh penguasaannya dimiliki oleh industri-industri besar swasta.

Maknanya, amat jelas kenaikan perekonomian dimaksud tak dinikmati oleh masyarakat miskin dengan penghasilan di bawah Rp1,1 juta per orang per bulan, yang berjumlah 167,8 juta orang (pada 2021).

Karenanya, kata Anthony, kendati rakyat Indonesia sedih karena pemerintah sekarang tidak mampu memperbaiki nasib mereka yang masih hidup dalam serba kemiskinan, namun, mereka juga menangis senang karena pemerintahan Jokowi hampir selesai.

“(Mereka) senang memimpikan sebentar lagi terbebas dari kebijakan yang memiskinkan rakyat, senang memimpikan sebentar lagi akan datang penyelamat bangsa Indonesia,” tandasnya.

Tetapi yang perlu dicatat, imbuhnya, kegagalan pemerintahan Jokowi dalam mengatasi kemiskinan ini harus bisa membuka mata seluruh rakyat Indonesia agar segera memperjuangkan nasibnya. “Rakyat Indonesia tidak bisa dan tidak ada waktu untuk kompromi lagi,” serunya.

Pungkasnya, harus ada perbaikan nasib rakyat secepatnya dan secara ekstrem melalui kebijakan pemimpin yang akan datang haruslah antitesis dari Jokowi, yaitu kebijakan yang pro rakyat, bukan pro oligarki.[] Zainul Krian

Share artikel ini: