PEPS: Korupsi di Indonesia Masif, Sistematis, Terstruktur

Mediaumat.id- Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menegaskan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia masif, sistematis, terstruktur.

“Korupsi ini masif, sistematis, terstruktur,” ungkapnya di acara Bincang Hangat: Menyorot Korupsi Era Jokowi, Ahad (28/5/2023) melalui kanal YouTube UIY Official.

Masif, menurutnya, dalam arti merajalela dan mengena hampir semua kementerian, lembaga negara, BUMN dan terjadi hampir di semua eselon.

Sistematis, jelas Anthony, dalam arti dilakukan secara sistem. Di Kementerian Keuangan misalnya, yang tertangkap itu mulai dari direktur, pemeriksa dan sebagainya.

Ada bargaining (negosiasi) kepada wajib pajak. “Lima puluh persen hasil dari negosiasi setengahnya diberikan kepada jajaran direktur dan setengahnya lagi kepada tim pemeriksa. Ini artinya sistematis,” tukasnya.

Contoh lain, sambungnya, korupsi proyek BTS (base transceiver station/suatu infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator) yang sampai ke menteri, bahkan menurut rumor sampai ke partai.

Ia juga menyinggung korupsi bantuan sosial yang sampai ke Menteri Sosial. “Kalau sampai ke Menteri Sosial tidak mungkin kalau tidak sistematis. Artinya pengumpulan dari bawah sampai ke atas, dan itu sekaligus menggambarkan yang tadi saya katakan terstruktur,” tambahnya.

Anthony menegaskan, korupsi sudah terjadi secara ramai-ramai bukan lagi perorangan. Kalau perorangan itu misalnya pagu anggaran proyeknya ditentukan 100 lalu seseorang minta komisi 5 atau 10.

“Tapi kalau kita lihat BTS itu, menurut informasi media harusnya dibangun 4000 sekian tower (menara), tapi yang diserahterimakan hanya 985 tower. Ini berarti bukan hanya satu pemegang proyek yang melakukan korupsi. Demikian juga yang terjadi di proyek bansos,” tegasnya.

Beberapa kasus yang terjadi di Kementerian Keuangan, kata Anthony, kalau ada satu orang yang dicurigai terindikasi korupsi maka yang lain beramai-ramai membela dengan mengatakan bahwa yang bersangkutan sudah diberi sanksi dicopot dari jabatan.

“Pencopotan ini pengalihan, supaya jangan merembet ke yang lain. Ini adalah penyelamatan satu kelompok agar kolusi ini tidak terganggu atau terungkap,” tukasnya.

Menurutnya, pengawasan sudah tidak berfungsi lagi dan kalaupun ada pengawasan dari eksternal itu juga sulit karena kasus di lapangan sudah direkayasa.

Pandemi

Anthony menyebut, korupsi saat Pandemi Covid-19 jumlahnya sangat besar yang menyebabkan negara defisit sampai 1000 triliun, dan utang naik 1.226 triliun pada 2020.

 

“Di sini ada dua hal, pertama, belanja negara dikeluarkan seolah-olah legal karena dilindungi dengan hukum tapi kalau kita perhatikan payung hukum itu terindikasi merugikan negara,” ungkapnya.

Kedua, lanjutnya, kebocoran anggaran. Belanja negara selama pandemi rata-rata 2700 triliun per tahun.

“Kalau tiga tahun berarti sampai 8100 triliun, dan kalau anggaran itu bocor 20 persen saja sudah 1600 triliun lebih. Kebocoran ini sangat dimungkinkan karena proyek-proyek penanganan pandemi sangat masif,” bebernya sembari mencontohkan proyek kartu pra kerja, vaksin, insentif pemulihan ekonomi dan lain-lain.

Tidak Diusut

Anthony juga menyoroti pembengkakan anggaran beberapa proyek nasional yang tidak diusut.

Ia mencontohkan proyek kereta cepat yang pembengkakannya saja mencapai 1,2 miliar dolar atau setara 18 triliun rupiah. Kemudian pembangunan jalan tol yang kemahalan hingga 100 triliun. Ia menyayangkan DPR sekalipun tidak memperhatikan itu.

“Oleh karena itu rakyat yang harus memperhatikan ke situ dan rakyat jangan bosan-bosan untuk menyuarakan ini. Menurut saya rakyat sekarang menjadi kekuatan yang cukup dominan, kalau itu disuarakan bersama-sama untuk menegakkan keadilan dan pemberantasan korupsi,” tegasnya.

DPR, ucapnya, sudah terkontaminasi, tidak lagi membela masyarakat. Masyarakat harus berjuang sendiri memperjuangkan hak-haknya agar hak itu tidak dirampok oleh para koruptor.

“Kalau kita mengandalkan pengusutan ini kepada rezim saat ini saya rasa sangat sulit. Mereka tidak bisa mengusut secara adil, secara transparan dan tuntas,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: