PEPS: Indonesia Terancam Krisis Ekonomi Secara Luas

Mediaumat.info – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengingatkan Indonesia terancam krisis ekonomi secara luas.
“Krisis moneter dan krisis fiskal sulit dihindari, it is only a matter of time. Hanya masalah waktu saja. Krisis moneter yang berkepanjangan akan menjelma menjadi krisis ekonomi secara luas,” ujarnya kepada media-umat.info, Ahad (6/4/2025).
Pemicunya, jelas Anthony, kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif impor resiprokal kepada hampir seluruh negara, terutama yang tergolong dalam daftar Dirty 15 —lima belas negara penyumbang defisit perdagangan terbesar terhadap AS.
“Trump berpendapat, defisit perdagangan AS disebabkan tarif impor yang tinggi dan praktik dagang (hambatan nontarif) yang tidak adil yang dikenakan kepada produk AS oleh negara mitra dagang, khususnya Dirty 15,” terang Budiawan.
Dampaknya langsung terasa: pasar keuangan global berguncang. Bursa saham dunia rontok dua hari berturut-turut. Kekayaan global senilai 6,6 triliun dolar AS lenyap dalam sekejap.
“Hal ini menggambarkan kondisi masa depan ekonomi dunia suram, peluang masuk resesi semakin besar,” ujarnya.
Efek domino tak terhindarkan. Ia menilai, dengan volume perdagangan global yang menyusut akibat perang tarif, ekspor Indonesia akan ikut terpangkas. Neraca perdagangan memburuk, rupiah tertekan, dan ekonomi nasional terjerembap dalam tekanan berat.
“Ekspor Indonesia ke berbagai negara turun. Ekonomi tertekan. Defisit neraca perdagangan meningkat, kurs rupiah tertekan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan, dalam iklim ketidakpastian seperti ini, investor akan memilih menyimpan uang dalam bentuk tunai daripada berinvestasi. Ini membuka risiko besar capital outflow yang menguras likuiditas dalam negeri.
“Investor lebih memilih menyimpan cash daripada surat berharga. Akan terjadi divestasi saham dan obligasi secara besar-besaran. Akan terjadi capital outflow dalam jumlah besar,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi diperparah oleh fakta pasar saham Indonesia yang overvalued atau kemahalan. Koreksi pasar tertunda akibat libur panjang Lebaran. Namun begitu bursa dibuka, ia memprediksi aksi jual akan masif.
“Harga saham di bursa saham Indonesia saat ini overvalued: kemahalan. Investor akan berlomba-lomba menjual portofolio sahamnya ketika bursa dibuka kembali awal minggu depan. IHSG anjlok,” katanya.
Namun ancaman terbesar justru mengintai dari pasar obligasi. Anthony mengungkapkan, dari total utang luar negeri Indonesia yang mencapai 430 miliar dolar AS, lebih dari 90 persen dalam bentuk surat utang. Jika investor hanya menarik 10 persen dari portofolio tersebut, rupiah bisa anjlok ke angka mengerikan.
“Kalau para pemilik obligasi divestasi 10 persen saja dari total kepemilikannya, maka kurs rupiah akan kolaps, meluncur cepat ke Rp18.000, bahkan bukan mustahil anjlok ke Rp20.000 per dolar AS,” bebernya.
Anthony menyebutkan, capital outflow sebesar 40 miliar dolar AS akan menjadi bencana nasional yang tak terhindarkan. Dalam situasi seperti itu, upaya intervensi Bank Indonesia akan menjadi tidak efektif.
“Capital outflow 40 miliar dolar AS pasti akan membawa bencana besar bagi ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Langkah paling mungkin yang bisa diambil Bank Indonesia adalah menaikkan suku bunga acuan demi menahan laju pelarian modal. Tapi ini pun berisiko tinggi.
“Semakin cepat rupiah anjlok, semakin tinggi BI menaikkan suku bunga acuan,” ujarnya.
Menurutnya, kenaikan suku bunga BI dan kenaikan kurs dolar AS, ditambah kondisi ekonomi yang sedang melemah, pada gilirannya akan memicu banyak perusahaan gagal membayar bunga dan pokok utang yang jatuh tempo.
Dilema yang sama juga dialami pemerintah dari sisi fiskal. APBN dalam posisi kritis, sementara kebutuhan stimulus ekonomi meningkat. Menurunkan tarif pajak untuk mendorong konsumsi bukan pilihan realistis, sedangkan menaikkannya hanya akan mempercepat kehancuran.
“Menurunkan tarif pajak untuk stimulus ekonomi hampir mustahil, karena fiskal akan kolaps. Sebaliknya, menaikkan tarif pajak akan mempercepat ‘membunuh’ ekonomi,” prediksinya.
Negara besar seperti Tiongkok sudah mengambil langkah tegas. Mereka membalas tarif Trump dengan tarif balasan sebesar 34 persen. Namun, keluh Anthony, Indonesia masih terlihat pasif dan belum menyiapkan strategi menghadapi gelombang krisis ini.
“Sejauh ini Indonesia belum memberi reaksi memadai atas diberlakukannya tarif resiprokal Trump ini. Hal ini tentu saja tidak baik,” kritiknya.
Jika pemerintah tetap lambat merespons, kehancuran ekonomi Indonesia bukan hanya prediksi—melainkan kepastian yang akan datang lebih cepat dari dugaan siapa pun.[] Zainard
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat