PEPS: Enak Saja Sebut Proyek IKN Bukan Proyek Presiden

Mediaumat.info – Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut ‘pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur bukanlah proyek pribadi presiden, tetapi keputusan seluruh rakyat karena mayoritas fraksi di DPR telah menyetujui’, menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan tidak bisa diterima.

“Enak saja, alasan ini tentu saja tidak bisa diterima,” ujarnya kepada media-umat.info, Sabtu (5/10/2024).

Artinya, Jokowi tidak boleh lari dari tanggung jawab berkenaan dengan proyek IKN yang menurut Anthony, hampir bisa dipastikan mangkrak sebelum presiden lengser pada 20 Oktober mendatang.

“Menjelang lengser pada 20 Oktober yang akan datang, pembangunan Kota Nusantara masih sangat jauh dari layak untuk menjadi sebuah kota, apalagi menjadi ibu kota,” kata Anthony, seraya menyebut bahwa Jokowi sebenarnya juga sudah melihat tanda-tandanya.

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya di Istana Negara IKN, Rabu (25/9), Jokowi beralasan hanya mengeksekusi rencana pemindahan ibu kota negara yang sudah ada sejak lama. Ia juga menuturkan keinginan pindah tersebut sudah pernah disampaikan Presiden ke-1 RI Sukarno dan Presiden ke-2 RI Suharto.

Langgar Konstitusi

Meski demikian, permasalahan tak bisa disederhanakan menjadi ‘ini bukan proyek presiden’. Tetapi, persoalannya adalah presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945 yang notabene merupakan konstitusi atau peraturan perundang-undangan tertinggi di negeri ini.

Di antaranya, saat menandatangani UU IKN pada 15 Februari 2022 lalu, Jokowi dengan sengaja telah membentuk pemerintah daerah baru untuk ibu kota negara dalam bentuk otorita, yang merupakan bagian dari pemerintah pusat, setara dengan kementerian atau lembaga, tanpa ada DPR. Sedangkan kepala daerah otorita dinamakan kepala otorita, yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Padahal di dalam UUD 1945, terdapat ketentuan pada Pasal 18, yakni daerah di Indonesia hanya bisa dalam bentuk provinsi, kabupaten, atau kota, dengan masing-masing daerah mempunyai DPRD, dengan masing-masing kepala daerah dinamakan gubernur, bupati atau wali kota, yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.

Tak hanya itu, Jokowi juga melanggar UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 37 yang mengatur persyaratan dasar dan administratif mengenai pemekaran daerah, disusun dengan tata urutan yang meliputi persetujuan DPRD setempat yang menjadi cakupan wilayah daerah persiapan provinsi atau kabupaten.

Namun Jokowi tidak melaksanakan semua prosedur itu. Sebaliknya, Jokowi malah merebut alias aneksasi teritori (lahan) milik pemerintahan daerah (Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Timur) di Kalimantan Timur menjadi milik pemerintah pusat, melalui konsep otorita.

Sebagai konsekuensi, semua dana APBN yang dikeluarkan juga menjadi tidak sah, dan masuk kategori penyimpangan APBN.

Terakhir, pernyataan terkait investor IKN baik swasta dan asing sudah mengantre, pun dinilainya nol besar, yang ini berarti Jokowi juga memanipulasi fakta, atau menipu rakyat Indonesia.

“Untuk itu, Jokowi wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya yang melawan hukum tersebut,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: