PEPS: Dugaan Pelanggaran Konstitusi Jokowi Cukup Jelas, Wajib Dimakzulkan
Mediaumat.info – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menegaskan dugaan pelanggaran hukum atau konstitusi Jokowi cukup jelas sehingga wajib diberhentikan atau dimakzulkan.
“Nampaknya, pembuktian untuk itu tidak terlalu sulit. Karena dugaan pelanggaran hukum atau konstitusi Jokowi cukup jelas,” ujarnya dalam rilis yang diterima media-umat.info, Ahad (17/12/2023).
Menurut Anthony, presiden harus taat konstitusi, harus taat hukum. Apabila presiden melanggar hukum dan konstitusi, maka wajib diberhentikan atau dimakzulkan. Caranya, DPR wajib memanggil presiden untuk mencari fakta atau klarifikasi atas dugaan pelanggaran tersebut. Kalau terbukti, DPR minta presiden diberhentikan.
Menurut Anthony, proses pemakzulan merupakan hal normal di negara demokrasi, sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR kepada presiden.
Anthony melihat, saat ini di dalam negeri, juga bergema suara masyarakat menuntut pemakzulan presiden Jokowi, karena diduga kuat telah melanggar hukum dan konstitusi. Masyarakat mempunyai daftar panjang dugaan pelanggaran tersebut. DPR tinggal melakukan proses penyelidikan untuk mencari bukti atas dugaan pelanggaran hukum dan konstitusi Jokowi.
Anthony membeberkan, dugaan pelanggaran hukum dan konstitusi Jokowi tersebut di antaranya adalah kasus MK-Gate atau Gibran-Gate yang secara kasat mata melanggar konstitusi, melanggar hak konstitusi DPR sebagai lembaga legislasi, dan melanggar UU anti-KKN, anti-nepotisme.
Dalam kasus tersebut, Anwar Usman, adik ipar Jokowi dan paman Gibran, terbukti melanggar hukum dan konstitusi terkait moral dan etika tentang kekuasaan kehakiman, yang menyatakan hakim wajib bersikap independen dan profesional, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, serta adil.
Selanjutnya, kata Anthony, Jokowi juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya dengan melakukan perubahan UU KPK yang independen menjadi di bawah kekuasaan presiden (eksekutif).
Perubahan UU KPK ini, terang Anthony, diduga kuat untuk melakukan intervensi atau menghalangi proses pemberantasan korupsi, merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Dan terbukti, indeks persepsi korupsi turun dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022). Artinya, ada kekuatan besar yang menghambat proses pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selain itu, perpu dan UU Cipta Kerja, UU IKN secara kasat mata juga terindikasi kuat melanggar konstitusi. Anthony melihat, Perpu Cipta Kerja bersifat manipulatif. Krisis ekonomi global yang menjadi alasan kegentingan memaksa telah membohongi publik dan melanggar konstitusi, karena faktanya tidak ada krisis ekonomi global.
“UU Cipta Kerja juga merugikan keuangan negara, perekonomian negara, serta merugikan keuangan masyarakat,” ujarnya.
Kasus lainnya adalah, kebijakan harga tes PCR yang sangat mahal menguntungkan pihak tertentu, dengan merugikan keuangan negara dan keuangan masyarakat. Karena, menurut konstitusi pasal 33 ayat (2), cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, seperti tes PCR, harus dikuasai negara, tidak boleh dikuasai swasta apalagi dengan harga yang bersifat mark-up alias kemahalan.
Selanjutnya kebijakan kartu Pra Kerja juga diduga menyalahgunakan kekuasaan yang menguntungkan pihak tertentu, antara lain penyedia platform pelatihan yang bersifat oligopolitik beraroma KKN, yang merugikan keuangan negara.
Terakhir Anthony menyebut, penetapan APBN secara sepihak oleh presiden, melalui Peraturan Presiden (Perpres No. 54/2020, No. 72/2020, PP No. 98/2022), sangat jelas melanggar konstitusi, yang berbunyi bahwa APBN harus ditetapkan dengan UU APBN, setelah dibahas bersama, dan mendapat persetujuan, DPR.
Dan masih banyak kasus dugaan pelanggaran hukum dan konstitusi lainnya, seperti proyek kereta cepat Jakarta Bandung, proyek infrastruktur termasuk jalan tol, atau pertambangan termasuk perpanjangan izin usaha PT Freeport Indonesia.
“Nampaknya, pembuktian untuk itu tidak terlalu sulit. Karena dugaan pelanggaran hukum atau konstitusi Jokowi cukup jelas. Apakah DPR saat ini masih bisa menegakkan konstitusi? Waktu yang akan menentukan,” pungkas Anthony.[] Agung Sumartono