Oleh: Umar Syarifudin (pengamat perburuhan)
Masyarakat butuh kemakmuran ekonomi dan kenyamanan dalam mengakses berbagai fasilitas layanan kesehatan. Mereka juga ingin jaminan negara dalam menjaga ekonomi rakyatnya. dan secara normal kita akan bahagia ketika hidup sehat dengan makanan yang cukup di atas meja dan rasa aman ketika pergi tidur.
Maka kita butuh sistem yang sukses, bukan sistem gagal, dimana warga miskin ditinggalkan negara, berpotensi kehilangan kemampuan mereka untuk mengakses berbagai kemudahan di berbagai layanan dalam hidup karena penyakit atau bayang-bayang kematian karena gagal mengakses layanan kesehatan.
Potret Kusam Jaminan Kesehatan di Jantung Demokrasi – Kapitalisme
Meskipun pertumbuhan luar biasa dalam kekayaan dan sumber daya di bawah Kapitalisme, ketidakamanan kesehatan terus menghantui individu dan negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. di Amerika, negara kapitalis terkaya di dunia, krisis kesehatan terus meningkat selama bertahun-tahun. Krisis kesehatan telah menjadi subjek perdebatan permanen selama masa pilpres di AS. Diperkirakan bahwa seorang pria selama hidupnya memiliki kesempatan 44% untuk memiliki satu bentuk penyakit kanker. Angka ini tidak menurun, sebaliknya, meningkat secara dramatis selama beberapa tahun terakhir. dengan kata lain, pertumbuhan luar biasa dalam kekayaan dan kemajuan teknologi tidak membantu dalam memerangi musuh dari dalam.
Masalah terkait jantung merenggut lebih dari 700.000 jiwa setiap tahun. Menurut American Heart Association, 831.272 nyawa hilang karena penyakit yang berhubungan dengan jantung pada tahun 2006. Tingkat penyakit fatal yang tinggi bukanlah kecelakaan, melainkan merupakan produk sampingan langsung dari sistem yang mengontrol distribusi kekayaan dan alokasi sumber daya. Selama sepuluh tahun terakhir, ada gangguan anggaran diskresioner di AS. Amerika membelanjakan untuk militer lebih dari 50% dari anggarannya setiap tahun, sementara itu menghabiskan kurang dari 14% untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Sementara itu, adalah fakta yang terkenal bahwa penyakit epidemi seperti kanker, masalah jantung, diabetes, dan lainnya mengkonsumsi lebih banyak kehidupan daripada semua orang yang meninggal dalam perang langsung.
Peter Jennings (jurnalis dan pembaca berita Kanada-Amerika) menyimpulkan bahwa biaya yang membengkak dan meningkatnya jumlah yang tidak diasuransikan merupakan bagian dari sistem asuransi kesehatan dalam keadaan krisis. Menurut Badan Riset dan Kualitas Kesehatan, hampir 45 juta orang Amerika di bawah usia 65 tahun, atau 18% dari populasi di bawah usia 65 tahun, tidak memiliki asuransi kesehatan pada tahun 2007. Penurunan ekonomi saat ini akan berkontribusi semakin memperburuk situasi. Kelompok terbesar orang yang tidak diasuransikan milik segmen termiskin dari populasi; 30% dari jumlah total orang tanpa asuransi adalah Hispanik.
Alasan utama meningkatnya jumlah orang yang tidak berasuransi adalah kemiskinan, yang tercermin dalam peningkatan biaya asuransi kesehatan dan premi terkait dibandingkan dengan upah dan pendapatan orang. Bahkan jika karyawan ditawarkan cakupan di tempat kerja, mereka tidak dapat selalu membeli bagian premium mereka. Perusahaan-perusahaan kecil menahan diri dari menawarkan asuransi kesehatan karena meningkatnya premi asuransi kesehatan.
Diperkirakan bahwa 22.000 orang meninggal setiap tahun karena mereka tidak dapat mengakses sumber daya perawatan kesehatan yang layak. Orang tanpa asuransi yang tepat menerima lebih sedikit perawatan pencegahan; mereka didiagnosis pada tahap penyakit yang lebih lanjut dan menerima perawatan yang kurang terapeutik. Ini menyebabkan tingkat kematian yang tinggi di antara individu yang tidak diasuransikan.
Paradoks Jaminan Kesehatan di Indonesia
UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diterapkan. Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) didirikan atas dasar UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU Nomer 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Kedua UU tersebut justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosisal itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3) juga disebutkan bahwa peserta harus membeli premi guna melindungi dirinya sendiri dari bencana sosial. Apalagi ayat (2) Pasal 17, mengharuskan pemberi kerja memungut sebagian upah pekerjanya untuk dibayarkan ke pihak ke tiga yang notabene milik Pemerintah.
Tentang prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada Pasal 1 huruf g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib. Bila ini asuransi, dan bersifat gotongroyong (huruf a Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan. Juga disebutkan dalam huruf b) prinsip nirlaba. Tapi mengapa dibolehkan adanya investasi dan pencarian manfaat (istilah lain dari keuntungan), yang tentu saja terbuka kemungkinan terjadi kerugian.
BPJS secara keseluruhan nampak seperti membebani masyarakat. Belum lagi rencana kenaikan iuran dan keharusan seluruh masyarakat terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan mulai tahun 2019. BPJS adalah sebuah lembaga swasta yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Jika kita perhatikan lebih jauh, BPJS tidak ubahnya seperti praktik asuransi konvensional. Hanya saja BPJS merupakan lembaga swasta yang mendapat izin resmi dari pemerintah untuk melakukan asuransi kesehatannya bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan asuransi konvensional harus bekerja keras untuk mendapatkan pelanggannya sendiri.
Orang-orang yang mendukung terhadap kehadiran BPJS mengatakan bahwa, BPJS telah menolong jutaan rakyat miskin di Indonesia untuk mendapatkan jaminan kesehatan secara gratis dari negara. Agaknya pendapat tersebut perlu ditarik kembali, fakta bahwa pemerintah tidak ikut andil sedikit pun dalam BPJS kecuali sebagai regulator saja serta adanya sejumlah premi yang harus dibayar setiap bulannya oleh beberapa golongan masyarakat menunjukkan bahwa negara sama sekali tidak menjamin kesehatan rakyat manapun.
Secara fundamental melalui kebijakan di atas telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Padahal jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syariat Islam.
UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.
Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi.
Rakyat kategori miskin bukan mendapatkan kesehatan secara gratis dari negara melainkan dari rakyat lain yang telah membayar premi dengan besaran yang telah ditetapkan. Di sini jelas rakyat yang membayar premi tidak sedang melakukan praktik tolong menolong atau gotong royong (ta’awun), tapi suatu pemaksaan belaka. Jika memang BPJS berprinsipkan ta’awun maka harus bersifat suka rela, tidak ditentukan besarannya.
MUI pernah mengharamkan BPJS dengan alasan-alasan yang digunakan untuk mengharamkan asuransi konvensional (at ta`miin), yaitu adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi). Jika kita telaah haramnya asuransi konvensional, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekadar karena adanya gharar, riba, dan maisir. dari segi ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam mengenai jaminan kesehatan seluruh rakyat secara gratis oleh Negara, dalam hal ini Negara belum hadir untuk memberikan jaminan kesehatan secara adil dan merata.
Melalui kebijakan ini, negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan. Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka. Inilah akar permasalahan BPJS yang lahir dari pemikiran kapitalisme.
Berbeda dengan Islam, dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada seluruh rakyatnya (kaya mapun miskin) secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar. Negara islam yang menjadikan aqidah islam sebagai landasan bernegara akan memberikan layanan gratis dari sumber pendapatan negara, seperti sumber daya alam yang dikelola langsung oleh negara.
Refleksi
Perawatan kesehatan berkaitan dengan budaya hidup sehat dan lingkaran kemiskinan. Untuk memutuskan siklus ini, butuh usaha lebih besar yang harus dilakukan daripada sekadar meningkatkan pasokan obat-obatan, peralatan kesehatan, dan tempat tidur rumah sakit. Ini adalah mekanisme untuk mendistribusikan sumber daya ini yang memungkinkan individu untuk menerima perawatan kesehatan yang tepat. Biaya perawatan kesehatan yang tinggi menghancurkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Tagihan medis sangat membebani keuangan pada keluarga berpenghasilan rendah, mendorong mereka ke dalam solusi utang dan utang.
Penyakit dan kemiskinan di bawah dominasi Kapitalisme telah mendominasi dalam mengancam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan yang layak, ketahanan pangan, dan tenaga kerja yang sehat, dunia memiliki sedikit harapan akan perkembangan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Anak-anak yang sakit dan lapar tidak dapat bersekolah dan ancaman mereka tidak akan dapat belajar dengan baik. Hasil akhirnya adalah generasi muda dalam jumlah besar kurang berpendidikan, menganggur dan terasing. Ini adalah resep ketidakstabilan politik, inkohesi sosial, dan iklim yang berimbas pada kegagalan sebuah peradaban.
Ironisnya lagi organisasi dunia seperti WHO, Bank Dunia, IMF dan lainnya terus menekankan perlunya meningkatkan produksi obat-obatan dan sumber daya perawatan kesehatan. Padahal yang harus ditekankan adalah kenyataan bahwa biaya pengobatan dari setiap penyakit epidemi adalah banyak yang tidak terakses mayoritas manusia dengan baik di era sekarang.
Apa yang dibutuhkan dunia termasuk negara ini adalah sama, yaitu peningkatan produksi dan sumber daya berbasis kebangkitan ideologi yang tepat; dunia benar-benar hancur dalam tatanan ekonomi kapitalisme, dan dunia benar-benar membutuhkan infrastruktur ekonomi baru dengan mekanisme yang lebih adil untuk distribusi sumber daya, suatu sistem yang memungkinkan setiap orang yang lapar untuk mengakses sumber makanan dan setiap orang sakit untuk mengakses obat-obatan dan fasilitas perawatan kesehatan dan setiap orang buta huruf untuk mengakses fasilitas pendidikan.
Tujuan menyediakan kesehatan, makanan, pendidikan, dan keamanan secara adil dan merata bagi semua orang tidak dapat diperlakukan sebagai tambalan dan beban bagi sistem ekonomi, melainkan harus manunggal dan diletakkan dalam dasar-dasar sistem ekonomi. Kegagalan sistem Kapitalisme telah jelas, dan itulah mengapa dunia sangat membutuhkan sistem dan ideologi baru dan ideologi itu tidak lain adalah Islam.
Islam memiliki sistem politiknya sendiri yang memiliki ciri-ciri negara yang mengatur semua lapisan kehidupan termasuk sistem sosial, ekonomi dan hukum. Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi yang sesuai fitrah manusia. Ini adalah satu-satunya solusi komprehensif untuk masalah ketidakamanan kesehatan.[]