Dalam politik, ada dua istilah bahwa pemahaman atas keduanya memiliki hubungan yang signifikan untuk memahami apa yang terjadi pada kaum Muslim, yaitu opini umum (ar-ra’yu al-‘ām) dan kebiasaan umum (al-’urf al-‘ām). Opini umum (ar-ra’yu al-‘ām) adalah penyebaran pemikiran apapun di masyarakat, dan ada penerimaan masyarakat terhadapnya, di mana penerimaan atas pemikiran ini berdasarkan keyakinan, mungkin ada sebagian yang menyalahinya namun tiada pengingkaran padanya. Seperti memberi makan pelayat di rumah duka, kami menemukan bahwa pemikiran ini telah menjadi opini umum (ra’yun ‘ām) di Yordania dan diterima secara luas, akan tetapi kami masih melihat bahwa ada orang-orang yang menyalahi pemikiran ini dengan perilakunya.
Adapun kebiasaan umum (al-’urf al-‘ām), maka ia adalah stabilitas pemikiran dan perilaku dalam masyarakat, dan itu tidak dapat dilanggar, sehingga siapa pun yang melanggarnya, maka masyarakat akan mengingkarinya dan bahkan menyerangnya. Contoh dalam hal ini adalah menyuguhkan rokok di rumah duka pada tahun tujuh puluhan, dan tidak ada yang melanggar kebiasaan ini, karena ia merupakan kebiasaan umum (al-’urf al-‘ām) di masyarakat. Juga, contoh dalam hal ini adalah tawafnya penduduk Makkah di Ka’bah dengan telanjang di masa jahiliyah.
Terlepas dari kenyataan bahwa tindakan itu jelek dan bertentangan dengan naluri, akan tetapi karena akal sehat sudah tiada dan stabilitas kebiasaan ini yang dominan dan menguasainya. Begitu juga kaum Nabi Luth ‘alaihis salam yang memprotes Nabi mereka, ketika mereka berkata: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (TQS an-Naml [27] : 56). Meski kebersihan itu baik, dan yang sebaliknya adalah buruk, akan tetapi kebiasaan umum (al-’urf al-‘ām) di masyarakat rusak. Sehingga kebersihan dianggapnya sebagai suatu yang buruk karena bertentangan dengan kebiasaan umum ini.
Hendaklah kita cermati hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama, di mana Beliau bersabda: “Wahai sekalian Muhajirin, ada lima perkara apabila menimpa kalian, dan aku berlindung kepada Allah dari kalian menjumpainya: (1) Tidaklah merebak perbuatan keji di suatu kaum sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan kecuali akan merebak di tengah-tengah mereka wabah penyakit tha’un dan kelaparan yang tidak pernah ada ada pada generasi sebelumnya. (2) Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan disiksa dengan paceklik panjang, susahnya penghidupan, dan kezaliman penguasa atas mereka. (3) Tidaklah mereka menahan membayar zakat kecuali hujan dari langit akan ditahan dari mereka. Jika sekiranya bukan karena hewan-hewan, maka manusia tidak akan diberi hujan. (4) Tidaklah mereka melanggar janji Allah dan janji Rasul-Nya, kecuali akan Allah jadikan musuh mereka (dari kalangan kuffar) menguasai mereka, lalu ia merampas sebagian kekayaan yang mereka miliki. Dan (5) tidaklah pemimpin-pemimpin mereka (kaum Muslim) berhukum dengan selain Kitabullah dan menyeleksi apa-apa yang Allah turunkan (syariat Islam), kecuali Allah timpakan permusuhan di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya).
Mari kita perhatikan ungkapan “hatta yu’linū bihā, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan”, yakni bahwa perbuatan keji (seperti zina, homo seksual, pembunuhan, perampokan, judi, mabok, konsumsi obat-obatan terlarang dan lainnya) itu telah menjadi kebiasaan umum yang berlaku di masyarakat, dan sebagai akibat dari kebiasaan umum yang rusak ini, maka laya mereka ditimpa azab (siksaan), hukuman, penyakit dan bencana. Sehingga upaya yang benar dalam memperbaiki masyarakat adalah menyerang kebiasaan yang rusak ini, dan berupaya mengubahnya. Perlu diketahui bahwa siapa pun yang menentang kebiasaan yang rusak ini, menyerangnya, dan kemudian mengubahnya, maka ia akan mendapatkan reaksi yang keras dari masyarakat atas upayanya ini. Namun ketakutan akan reaksi keras itu jangan sampai mencegahnya dari melakukan perubahan. Sebab semua dakwah para Nabi dilakukan dalam rangka menyerang kebisaan yang rusak, yang ada pada suatu kaum sebagai peninggalan nenek moyangnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama berbicara kepada kaum Quraisy: “Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya”. (TQS. Al Anbiyā’ [19] : 98). Beliau menyerang ibadah kepada berhala, yang ketika itu menjadi kesadaran umum yang rusak dan yang berlaku. Beliau juga menyerang kebiasaan membunuh anak perempuan hidup-hidup, dan kebiasaan mengurangi timbangan. Begitu juga yang dilakukan oleh para Nabi lainnya. Sehingga kaum Muslim harus menyadari bahwa aktivitas ini adalah aktivitas terbaik saat ini, terlepas apakah masyarakat menerima dan mendukungnya. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama dengan sabdanya:
«إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّه بِعِقَابٍ مِنْهُ»
“Sungguh manusia bila mereka menyaksikan orang zhalim namun tidak menghentikannya, maka hampir-hampir Allah akan menjatuhkan hukuman-Nya pada mereka semua.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasai dengan semua sanad yang shahih).
Kita hidup pada peringatan bulan Rajab, di mana di bulan ini Khilafah diruntuhkan, sehingga yang berlaku di tengah masyarakat adalah kebiasaan yang rusak, serta gaya hidup yang mengikuti kaum kafir Barat. Untuk itu, kaum Muslim harus terus-menerus diingatkan dan didesak, bahwa diamnya mereka atas musibah ketiadaannya hukum Allah adalah sebuah malapetaka dan dosa besar, dan bahwa manfaat yang berlaku di masyarakat bukanlah ukuran yang sebenarnya meski mendapat legalitas dari semua negara, namun legalitas itu adalah melaksanakan semua perintah Allah dan menerapkan syari’ah-Nya. [Ahmad al-Ali]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 18/03/2020.