Mediaumat.info – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menekankan, pentingnya memilih pendapat terkuat (tarjih) di antara pendapat berbeda para ulama dalam hal ini tentang dan seputar musik.
“Meski (termasuk) masalah khilafiah, bukan berarti kaum Muslimin boleh mengikuti pendapat ulama sesuai hawa nafsunya, melainkan wajib melakukan tarjih, yaitu memilih pendapat yang terkuat,” tuturnya kepada media-umat.info, Senin (13/5/2024).
Adalah sebelumnya, ramai di media sosial soal hukum musik menjadi viral yang (mungkin) karena banyak lagu-lagu dinyanyikan berikut iringan musik sambil bergoyang, kemudian direspons Muflih Safitra, yang disebut-sebut sebagai dai salafi, haram hukumnya dengan dasar dalil dan pendapat ulama.
Menjadi viral karena dijawab oleh Ustadz Adi Hidayat (UAH) tentang kehalalan musik. Malah dalam sebuah kajian ia mengartikan surah asy-Syuara sebagai surah penyair sama dengan pemusik. Karena itu dirinya pun dinilai menghina sunnah dan ulama sunnah. UAH langsung divonis kufur.
Untuk ditambahkan, UAH yang memiliki latar belakang sebagai kader Muhammadiyah sebagai Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP (2022-2027), kala itu menyampaikan Fatwa Tarjih Muhammadiyah (tertanggal 25 November 2016) yang membolehkan musik dengan patokan-patokannya.
Dengan kata lain, sambung Kiai Shiddiq, apabila belum mampu melakukan tarjih khususnya bagi seorang Muslim yang hanya tahu hukum tetapi tidak tahu dalil (muqallid ‘ami), hendaknya bertaklid kepada mujtahid yang mampu mentarjih.
Rincian
Kiai Shiddiq memaparkan, ada dua hukum syara’ terpenting mengenai tarjih. Pertama, hukumnya wajib apabila ada khilafiah yang disebabkan oleh adanya dua dalil yang bertentangan.
Kedua, mengamalkan dalil yang kuat/rajih hukumnya wajib pula. “Kedua hukum syara’ ini dalilnya adalah Ijma’ Sahabat, yakni konsensus para sahabat Nabi SAW,” terangnya, menukil kitab Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 239-240; bab Quwwatud Dalīl karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani.
Sehingga, sebagaimana pentarjihan oleh para ulama di antaranya Syekh Abdul Ghani an-Nablusi dalam kitabnya, Ῑdhāh al-Dalālāt fī Samā’ al-Ālāt, Syekh Abdullah al-Judai’ dalam kitabnya Al-Mūsīqā wa al-Ghinā’ fī Mīzān al-Islām, Syekh Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam, dan Syekh Muhammad Syuwaiki dalam kitabnya Al-Kholāsh wa Ikhtilāf al-Nās, hukum musik dan menyanyi baik disertai alat musik maupun tidak, adalah boleh.
Namun, kebolehan tersebut dengan catatan tidak disertai dengan unsur-unsur keharaman atau kemaksiatan, misalnya minum khamar, ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), menampakkan aurat, perzinaan, laki-laki memakai sutera, syair/lirik lagu yang bertentangan dengan Islam, meninggalkan shalat wajib, dsb.
Kiai Shiddiq menambahkan, hukum syara’ ini merupakan jama’ atau taufīq yang berarti kompromi dari dalil-dalil yang mengharamkan dan juga dalil-dalil yang menghalalkan lagu (menyanyi), baik disertai musik maupun tidak. Pun perkara ini sesuai kaidah dalam ushul fikih (qā’idah ushūliyyah) yaitu:
“Mengamalkan dua dalil (yang bertentangan), lebih utama daripada meninggalkan salah satu dalil secara keseluruhan” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 239).
Maknanya, hukum seputar musik bisa haram atau justru dibolehkan. Untuk yang haram, Kiai Shiddiq menyandarkan pada fatwa Syekh Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1143 H/1771 M) dalam kitabnya Ῑdhāh al-Dalālāt fī Samā’ al-Ālāt,_ hlm. 83, yang artinya:
“Jika (aktivitas mendengarkan) alat-alat musik tersebut dibarengi/disertai dengan alkohol, perzinaan, dan sodomi, atau hal-hal yang mendorong pada perbuatan-perbuatan itu, seperti sentuhan yang penuh nafsu, ciuman, dan memandang dengan nafsu kepada perempuan selain istri dan budak perempuannya, atau tidak ada satu pun dari itu terdapat dalam majelis, melainkan seseorang itu berniat untuk menghadirkan hal-hal haram itu dalam majelis tersebut, dan dia menganggap baik jika dia hadir dalam majelis tersebut, maka mendengar (alat-alat musik) ini haram bagi setiap orang yang mendengarnya, mengingat ada niat dan maksud seperti itu dari orang itu, karena hal ini dapat menjadikannya terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan.”
Sedangkan yang mubah, Kiai Shiddiq menyandarkan pada fatwa Syekh Abdul Ghani al-Nablusi al-Hanafi (w. 1143 H/1731 M) dalam kitab yang sama namun pada hlm. 84, yang artinya:
“Adapun yang dibolehkan dalam hal ini (musik/nyanyian) adalah jika majelis tersebut bebas dari minuman keras, zina, sodomi, sentuhan syahwat, ciuman, dan memandang syahwat kepada siapa pun selain istri dan budak perempuannya. Kemudian orang itu niatnya baik, batinnya bersih dan suci, bebas dari dorongan hawa nafsu terlarang, seperti nafsu berzina, sodomi, dan meminum minuman beralkohol, atau segala jenis narkoba. Dia mampu mengendalikan hatinya dan menjaga pikirannya dari terjadinya sesuatu yang diharamkan Allah kepadanya, dan jika hal itu terlintas dalam hatinya, dia mampu mengeluarkannya dari dalam hatinya, dan dia segera membersihkan pikirannya. Maka tidak ada salahnya baginya jika hal ini terjadi berulang-ulang di dalam hatinya setelah ia berhati-hati menahan diri untuk tidak menerimanya, karena dibolehkan baginya mendengarkan musik dan/atau nyanyian tersebut pada saat itu, dalam segala jenisnya dan tidak ada satu pun yang diharamkan baginya, juga tidak dimakruhkan.”
Alhasil, hukum musik dan menyanyi berarti ada rincian khusus bergantung pada ada tidaknya unsur keharaman atau kemaksiatan yang menyertai/membarengi musik dan lagu tersebut. Maka, Kiai Shiddiq pun menyimpulkan.
“Pertama, haram, jika dibarengi/disertai hal-hal yang haram atau maksiat, seperti khamar, zina, lirik lagu yang batil, dsb. Dan kedua, mubah, jika tidak dibarengi/disertai hal-hal yang haram atau maksiat, seperti khamar, zina, lirik lagu yang batil dsb.,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat