Soal Walid Elmi:
Syaikhuna, apakah penjualan bank apa yang tidak dia miliki adalah diharamkan bagi bank atau terhadap pembeli?
Soal Wafaa Muhtasib:
Apakah seorang pedagang jika belum punya barang dan dia memesannya dari pedagang lain dan dia jual kepada penjual, apakah ini dinilai termasuk “bay’un mâ lâ yumlaku -penjualan apa yang tidak dimiliki-?
Jawab:
Pertanyaan Anda berdua adalah tentang masalah yang sama dan untuk Anda berdua berikut jawabannya:
Penjualan pedagang untuk barang yang tidak dia miliki adalah haram yakni merupakan akad yang batil yang dosanya kembali menimpa penjual dan pembeli jika pembeli itu mengetahui bahwa barang yang terjadi akad atasnya itu bukan dalam kepemilikan pedagang tersebut melainkan pedagang itu akan pergi dan membelinya dari pasar dan menghadirkannya untuk pembeli …Kami telah menjelaskan ini di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz ii bab Lâ yajûzu bay’un mâ laysa ‘indaka -Tidak boleh menjual apa yang bukan milikmu-:
[Tidak boleh menjual barang sebelum sempurna memilikinya. Jika dia menjualnya pada kondisi ini maka jual beli itu batil. Dan ini berlaku atas dua kondisi: Pertama, menjual barang sebelum dia memilikinya, dan kedua, menjualnya setelah membelinya tetapi sebelum sempurna kepemilikannya untuk barang itu dengan serah terima dalam apa yang dalam kesempurnaan kepemilikannya disyaratkan serah terima. Sebab akad jual beli itu tidak lain terjadi pada kepemilikan. Dan selama belum dimiliki atau telah membelinya tetapi belum sempurna kepemilikannya atas barang itu dikarenakan dia belum menerimanya maka tidak terjadi akad jual beli terhadapnya sebab secara syar’iy tidak ada obyek yang terhadapnya terjadi akad. Rasulullah saw telah melarang jual beli apa yang tidak dimiliki oleh penjual. Dari Hakim bin Hizam, ia berkata:
«قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ يَأْتِيْنِيْ الرَّجُلُ يَسْأَلُنِيْ عَنِ الْبَيْعِ لَيْسَ عِنْدِيْ مَا أَبِيْعُهُ، ثُمَّ أَبِيْعُهُ مِنَ السُّوْقِ»، فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ» رواه أحمد
“Aku katakan: “ya Rasulullah, seorang laki-laki mendatangiku menanyaiku tentang jual beli apa yang aku tidak memiliki apa yang aku jual, kemudian aku membelinya dari pasar”. Maka beliau bersabda: “jangan kamu jual apa yang tidak kamu miliki” (HR Ahmad).
Dan dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ، وَلَا رِبْحٌ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ» رواه أبو داود
“Tidak halal salaf dan jual beli, dan tidak pula dua syarat dalam satu jual beli, dan tidak pula keuntungan apa yang tidak kamu jamin, dan tidak pula jual beli apa yang bukan milikmu” (HR Abu Dawud).
Ungkapan Rasul “mâ laysa ‘indaka -apa yang bukan milikmu-“ bersifat umum, termasuk di dalamnya apa yang bukan dalam kepemilikanmu dan apa yang kamu tidak mampu menyerahkannya dan apa yang belum sempurna kepemilikanmu untuknya. Hal itu diperkuat oleh hadis-hadis yang dinyatakan dalam larangan tentang menjual apa yang belum diterima yang termasuk apa yang sempurnanya kepemilikannya disyaratkan serah terima. Maka semua itu menunjukkan bahwa siapa yang membeli apa yang memerlukan serah terima sehingga sempurna pembeeliannya untuk barang itu, maka dia tidak boleh menjualnya sampai dia menerimanya. Jadi hukumnya adalah hukum menjual apa yang tidak dimiliki. Hal itu karena sabda Rasul saw:
«مَنْ اِبْتَاعَ طَعَاماً فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ» رواه البخاري
“Siapa yang membeli makanan maka jangan dia menjualnya sampai dia menerimanya” (HR al-Bukhari).
Dan karena Abu Dawud meriwayatkan:
«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنْ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوْزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ»
“Nabi saw melarang barang dijual sebagaimana dibeli sampai pedagang memindahkannya ke tempat mereka”.
Dan karena Ibnu Majah meriwayatkan:
«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ»
“Nabi saw melarang pembelian (barang) shadaqah sampai diterima”.
Dan karena al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: “Rasulullah saw bersabda kepada ‘Utab bin Usaid:
«إِنِّيْ قَدْ بَعَثْتُكَ إِلَى أَهْلِ اللهِ، وَأَهْلِ مَكَّةَ، فَانْهَهُمْ عَنْ بَيْعٍ مَا لَمْ يَقْبِضُوْا»
“Sesungguhnya aku mengutusmu kepada Ahlillah dan penduduk Mekah, maka laranglah mereka dari menjual apa yang belum mereka terima”.
Hadis-hadis ini gamblang dalam larangan dari menjual apa yang belum mereka terima, sebab belum sempurna kepemilikan penjual untuknya, karena apa yang memerlukan serah terima maka tidak sempurna kepemilikan atasnya sampai si pembeli menerimanya dan karena barang itu termasuk dalam jaminan penjualnya.
Dari yang demikian itu menjadi jelas bahwa dalam keabsahan jual beli disyaratkan barang itu telah dimiliki oleh penjual dan telah sempurna kepemilikannya untuk barang itu. Adapun jika dia belum memilikinya atau dia memilikinya tetapi belum sempurna kepemilikannya untuk barang itu, maka dia tidak boleh menjualnya sama sekali. Ini mencakup apa yang dia miliki tetapi belum dia terima di antara apa yang disyaratkan serah terima untuk kesempurnaan jual belinya, yaitu al-makîl wa al-mawzûn wa al-ma’dûd (barang ditakar, ditimbang dan dihitung). Adapun apa yang tidak disyaratkan serah terima untuk kesempurnaan kepemilikannya yaitu selain barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung semisal hewan, rumah, tanah dan semacamnya, maka si penjual boleh menjualnya sebelum dia menerimanya, sebab semata terjadinya akad jual beli dengah ijab dan qabul maka telah sempurna jual beli itu, baik sudah dia terima atau belum, sehingga jadilah dia menjual apa yang telah sempurna kepemilikannya untuknya. Jadi masalah tidak bolehnya jual beli tidak terkait dengan serah terima dan tidak adanya serah terima, melainkan berkaitan dengan kepemilikan barang yang dijual, dan dengan sempurnanya kepemilikan ini untuk barang itu. Adapun bolehnya menjual apa yang belum diterima selain barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, hal itu ditetapkan dengan hadis shahih. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa unta milik Umar memiliki kesulitan:
«فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ بِعْنِيْهِ، فَقَالَ عُمَرٌ: هُوَ لَكَ فَاشْتَرَاهُ ثُمَّ قَالَ: هُوَ لَكَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنِ عُمَرَ، فَاصْنَعْ بِهِ مَا شِئْتَ»
“Maka Nabi saw bersabda kepadanya: “juallah kepadaku”. Lalu Umar berkata: “dia untukmu”. Maka beliau membelinya, kemudian beliau bersabda: “dia untukmu ya Abdullah bin Umar perbuatlah dengannya apa yang kamu mau”.
Dan tasharruf pada barang yang dijual dengan menghibahkannya sebelum serahterimanya menunjukkan atas sempurnanya kepemilikan barang yang dijual itu sebelum serahteriamanya, dan menunjukkan bolehnya menjualnya karena telah sempurna kepemilikan si penjual itu (yakni si pembeli unta) untuknya. Atas dasar itu maka apa yang dimiliki oleh si penjual dan telah sempurna kepemilikannya atasnya maka dia boleh menjualnya, dan apa yang belum dia miliki atau belum sempurna kepemilikannya atasnya maka dia tidak boleh menjualnya.
Atas dasar itu, apa yang dilakukan oleh pedagang kecil berupa tawar menawar dengan pembeli atas suatu barang, kemudian bersepakat dengannya atas harga dan dia menjualnya kepada pembeli itu, kemudian dia pergi ke pedagang lain untuk membelinya untuk orang yang menjualnya untuknya, dan menghadirkannya dan menyerahkannya kepada pembeli itu adalah tidak boleh, sebab itu adalah menjual apa yang belum dimiliki. Karena pedagang itu ketika ditanya tentang barang, barang itu belum ada padanya dan dia belum memilikinya, tetapi dia tahu bahwa barang itu ada di pasar pada pedagang yang lain, maka dia berbohong dan memberitahu pembeli bahwa barang itu ada dan dia menjualnya, kemudian dia pergi untuk membelinya setelah jualbelinya itu. Dan ini adalah haram, tidak boleh sebab dia menjual barang yang belum dia miliki.
Demikian juga apa yang dilakukan oleh para pemilik toko sayur dan pasar biji-bijian berupa penjualan mereka atas sayur dan gandum sebelum sempurna kepemilkan mereka untuknya. Sebagian pedagang membeli sayur atau gandum dari petani, dan sebelum dia menerimanya, dia menjualnya. Ini adalah tidak boleh sebab sayur dan gandum itu termasuk makanan yang tidak sempurna kepemilikannya kecuali dengan serah terima.
Demikian juga apa yang dilakukan oleh para importir barang dari negeri lain. Sebagian mereka membeli barang dan mensyaratkan di dalamnya penyerahan di negeri, kemudian dia menjualnya sebelum barang itu tiba, yakni sebelum sempurna kepemilikan mereka untuk barang itu. Ini adalah jual beli yang haram sebab itu adalah penjualan apa yang belum sempurna kepemilikannya sama sekali].
Saya berharap di dalam ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
06 Dzul Qa’dah 1444 H
26 Mei 2023 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/89017.html