Penjelasan Lurus, Jernih, dan Mendalam Bagi Mereka Yang Menolak “Khilafah Ala Hizbut Tahrir”

 Penjelasan Lurus, Jernih, dan Mendalam Bagi Mereka Yang Menolak “Khilafah Ala Hizbut Tahrir”

Oleh: Syamsuddin Ramadhan An Nawiy

Propaganda dan Opini:

Setelah menderita kekalahan telak di medan pertempuran akademis, dan setelah mengalami banyak kegagalan dalam upaya menjauhkan umat dari dakwah syariah dan Khilafah –dan sejatinya mereka tidak akan pernah sanggup–, para pembenci Khilafah dan syariah kini menebar opini bahwa Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir adalah Khilafah versi Hizbut Tahrir yang tidak wajib diterima dan diikuti.  Bahkan, menolak, menghalangi, dan memerangi ide Khilafah versi Hizbut Tahrir merupakan kewajiban demi menjaga eksistensi dan keutuhan NKRI.

Tanggapan

Pertama, opini tanpa dasar di atas, sesungguhnya lebih merupakan propaganda asal-asalan yang ditengarai sarat dengan tendensi-tendensi culas. Ia bukanlah pendapat ilmiah maupun wacana hukum yang dilahirkan dari penalaran dan istinbath yang benar sehingga untuk membantahnya diperlukan kajian yang jernih dan mendalam terhadap dalil-dalil syariat.  Opini tersebut tak ubahnya jerit ketakutan para psikopat yang lahir dari kebencian dan kekelaman hati.   Propaganda semacam ini tidak memiliki bobot ilmiah, dan tidak akan sanggup mengalihkan keyakinan umat dan ahlul quwwah dari fakta bahwa Khilafah dan Syariah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir sejatinya adalah Khilafah dan Syariah yang diajarkan Nabi saw, ditempuh para sahabat, dan terus dijaga kelangsungan dan eksistensinya oleh generasi terbaik umat Islam.

Sama halnya dengan syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji yang dipraktekkan dan didakwahkan oleh Hizbut Tahrir, semua bersumber dari sumber yang sama, yakni Nabi saw dan para shahabat mulia, serta disepakati ulama aswaja.  Menolak syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji “yang dipraktekkan dan didakwahkan oleh Hizbut Tahrir” yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy dan hukumnya telah disepakati ulama, sama artinya menolak apa yang diajarkan dan didakwahkan Nabi saw dan para shahabat, serta hukum yang telah disepakati ulama aswaja.  Tanpa keraguan lagi, pelakunya telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata.  Sebab, apa yang dipegang, diamalkan, dan didakwahkan Hizbut Tahrir benar-benar merupakan ajaran dan praktek Rasulullah saw, para shahabat, dan ulama mu’tabar.  Menolak dan menyelisihinya jelas-jelas merupakan bentuk penyimpangan dari Islam. Begitu pula dengan syariah dan Khilafah yang diusung dan diperjuangkan Hizbut Tahrir, semua adalah ajaran Nabi saw dan bersumber dari sumber yang sama, yakni al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas; serta merupakan pendapat ulama mu’tamad.

Benar, adakalanya pemikiran dan hukum syariat yang ditabanniy dan didakwahkan Hizbut Tahrir merupakan perkara yang masuk dalam ranah dhanniyyah, yang mana tidak bisa dihindari adanya perbedaan pendapat di dalamnya.  Bahkan, adanya keragaman pendapat dalam ranah khilafiyyah merupakan perkara yang lumrah dan lazim.  Pada konteks seperti ini, Hizbut Tahrir tidak menganggap pendapatnya sebagai satu-satunya pendapat Islamiy, sedangkan yang lain tidak.  Hizbut Tahrir juga tidak mencela, mencemooh, menghalang-halangi, atau memerangi saudara-saudara Muslim yang berbeda pendapat dengan dirinya dalam ranah khilafiyyah.  Hizbut Tahrir juga tidak memaksa siapapun untuk meninggalkan pendapatnya dan hanya mengambil pendapat Hizbut Tahrir.  Sebaliknya, sebagaimana perilaku ulama aswaja, Hizbut Tahrir mengambil sikap tasamuh, dan memberikan ruang seluas-luasnya kepada saudara Muslim yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah khilafiyyah untuk mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkan pendapat hukum yang dianggapnya paling rajih.

Sebuah kekeliruan dan penyimpangan dari manhaj aswaja, bahkan merupakan perilaku ngawur, jika dalam perkara-perkara khilafiyyah, ada seorang Muslim menyerang, mempersekusi, memberi label-label buruk kepada pendapat Islamiy yang diadopsi oleh Muslim lain, seraya memaksa mereka untuk meninggalkan pendapatnya, menghentikan aktivitas mendakwahkan dan mengajarkan pendapatnya.    Lebih-lebih lagi, menebar ancaman dan terror kepada saudara-saudara Muslim yang berbeda pendapat dengan dirinya dalam masalah khilafiyyah.  Perilaku seperti ini hanya dilakukan orang-orang lalim yang minim ilmu dan adab sopan santun.  Keadaan mereka jauh lebih buruk lagi jika terbukti pendapat yang mereka benci, tolak, dan persekusi adalah pendapat yang didasarkan pada dalil qath’iy dan hukumnya telah disepakati ulama.  Mereka tidak hanya maksiyat, tetapi telah terbenam dalam lumpur kekafiran.

Di dalam Kitab Adabul Hiwar wal Qawa’idul Ikhtilaf, Syaikh ‘Umar bin ‘Abdullah Kamil menyatakan:

لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .

“Perbedaan pendapat telah ada sejak lama, sejak masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’I, Ahmad, Ats Tsauri, Al-Auza’i, dan lainnya.  Tapi tak satu pun mereka berusaha untuk membebani yang lain atas pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan atau terhadap agama mereka, lantaran mereka berbeda dengan pendapatnya”.[Adabul Hiwar wal Qawa’idul Ikhtilaf, hal. 32]

Imam Abu Zakariya al-Nawawiy dalam Kitab al-Minhaj menyatakan:

وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِق الْأَفْعَال وَالْأَقْوَال وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ

“Jika perkara itu termasuk perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang mendalam, dan termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan ijtihad, maka orang awam tidak berhak melibatkan diri ke dalamnya, mereka juga tidak boleh mengingkarinya, tetapi hal itu menjadi tugas ulama. Kemudian, ulama pun hanya boleh mengingkari perkara yang telah disepakati (ijma’); adapun perkara yang masih diperselisihkan (mukhtalaf fiih) tidak boleh ada pengingkaran.  Sebab, atas masing-masing pendapat dari dua pendapat (yang berbeda), maka setiap mujtahid adalah benar.  Ini adalah sikap yang dipilih mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiqin)”. [Al-Minhaj, 1:131]

Sulthanul ‘Ulama, ‘Izz ‘Abd al-Salaam, menyatakan:

فمن أتى شيئا مختلفا في تحريمه معتقدا تحريمه وجب الإنكار عليه لانتهاك الحرمة، وذلك مثل اللعب بالشطرنج، وإن اعتقد تحليله لم يجز الإنكار عليه إلا أن يكون مأخذ المحلل ضعيفا تنقض الأحكام بمثله لبطلانه في الشرع، إذ لا ينقض إلا لكونه باطلا،

“Siapa saja yang mendatangkan (maksudnya: mengerjakan) sesuatu yang terjadi perselisihan pendapat dalam hal pengharamannya; jika ia menyakini pengharamannya, maka wajib mengingkarinya karena pelanggarannya terhadap yang haram. Yang demikian itu seperti bermain catur. Namun, jika ia menyakini penghalalannya, maka tidak boleh mengingkarinya, kecuali sumber pengambilan dari orang yang menghalalkan tersebut lemah (dla’if)” yang hukum-hukum semisalnya telah digugurkan karena kebathilannya di dalam syariat.  Sebab, sebuah hukum tidak bisa digugurkan kecuali keberadaan hukum tersebut bathil.[Imam ‘Izz al-Diin bin ‘Abd al-Salaam, Qawaa’id al-Ahkam fiy Mashaalih al-Anaam, Juz 1/140]

Imam al-Haramain, Abu al-Ma’aliy al-Juwainiy Asy Syafi’iy rahimahullah ta’ala, menyatakan:

ثم ليس للمجتهد أن يعترض بالردع والزجر على مجتهد آخر في موقع الخلاف إذ كل مجتهد في الفروع مصيب عندنا ومن قال إن المصيب واحد فهو غير متعين عنده فيمتنع زجر أحد المجتهدين الآخر على المذهبين ( الإرشاد ص 312 )

“Kemudian, seorang Mujtahid tidak berhak menghalang-halangi mujtahid lain dengan cara (memberikan) penolakan dan pencegahan dalam persoalan khilaf (persoalan yang hukumnya masih diperselisihkan).  Sebab, setiap mujtahid, dalam masalah furu’, menurut kami, adalah orang yang benar. Dan orang yang berpendapat bahwa orang yang benar hanyalah seorang, maka dia bukanlah orang tertentu saja menurut dirinya.  Sehingga tercegahlah seorang mujtahid menghalangi mujtahid lain atas dua madzhab”.[Imam al-Haramain, Abu al-Ma’aliy al-Juwainiy, al-Irsyaad, hal. 312. Lihat dalam al-Khulashah fiy Ushuul al-Hiwaar wa Adab al-Ikhtilaaf, dikumpulkan oleh ‘Aliy bin Nayif al-Syahuud, Juz 2/87]

Al-Imam al-Hafidh Suyuthiy menggariskan sebuah kaedah masyhur:

لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ, وَ إِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

“Tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan, dan yang diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati”. [Al-Asybah wa An Nazhair, I:285]

Inilah sikap inklusif yang menjadi pondasi dasar hubungan seorang Muslim dengan Muslim lainnya. Mereka dilarang memaksa saudaranya untuk meninggalkan pendapatnya, atau memberikan cap-cap buruk atas pendapat hukum yang diadopsi saudaranya, semampang masih dalam lingkup khilafiyyah, bersumber dari sumber yang sama, dan dihasilkan dari proses istinbath yang lurus.

Demikian pula memusuhi pemikiran dan pendapat hukum yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir yang digali dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas, dan melalui proses istinbath yang benar, merupakan sikap yang tidak pernah diajarkan ulama aswaja.  Begitu pula tindakan memburu, mempersekusi, melarang, dan menghalang-halangi aktivis Hizbut Tahrir yang hendak mengamalkan, mendakwahkan, dan mengajarkan pemikiran-pemikiran mereka, baik yang masuk ke dalam wilayah khilafiyyah maupun qath’iyyah,  merupakan bentuk kebodohan, kemaksiyatan nyata, dan penyimpangan dari perilaku yang diajarkan ulama aswaja.

Ketentuan di atas berhubungan dengan perkara-perkara khilafiyyah, yang mana tidak ada kewajiban untuk mengikuti pendapat Hizbut Tahrir, kecuali jika telah terbukti bahwa pendapat Hizbut Tahrir lebih kuat dan rajih dibandingkan pendapatnya.  Dalam keadaan seperti ini tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengambil dan mengadopsi pendapat Hizbut Tahrir.  ‘Allamah Asy Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy rahimahullah menyatakan:

وإذا تبنى المسلم حكماً معيناً صار هذا الحكم بعينه هو حكم الله في حقه ولا يجوز له أن يتركه إلاّ في ثلاث: إحداها أن يتبين له ضعف دليله وظهور دليل أقوى من دليله، ويتعين عنده أن حكم الله هو ما دل عليه الدليل القوي، وحينئذ يجب عليه ترك ما تبناه وتبني الرأي الجديد، لأنه صار هو حكم الله في حقه. ثانيها: أن يغلب على ظنه أن الرأي الجديد استنبطه من هو أعلم منه بالاستنباط وأدق بالاستدلال أو أكثر إحاطة بالشرع، فحينئذ يجوز له أن يترك ما تبناه ويتبنى غيره، لِما ثبت عن كبار الصحابة أنهم كانوا يتركون آراءهم ويأخذون رأي غيرهم. فقد أخذ أبو بكر رأي علي وترك رأيه، وأخذ عمر رأي علي وترك رأيه. وثالثها: أن يكون المراد جمع كلمة المسلمين على رأي واحد، ففي هذه الحالة يجوز للمسلم أن يترك الرأي الذي تبناه ويتبنى الرأي الذي يراد جمع كلمة المسلمين عليه، ….. ففي هذه الأحوال الثلاثة يترك المسلم ما تبناه ويتبنى غيره، وما عداها لا يجوز أن يتركه مطلقاً، لأن الشريعة مخاطَب بها كل فرد، ولكل مسلم أن يتبنى ما يصل إليه بالاجتهاد أو التقليد. وإذا تبنى أُلزِم بما تبناه إلاّ في الأحوال المستثناة بالدليل الشرعي.

“Jika seorang Muslim mentabanniy hukum tertentu, jadilah hukum tersebut hukum Allah swt bagi haknya, dan ia tidak boleh meninggalkan hukum itu, kecuali dalam tiga keadaan: (pertama), tampak jelas baginya kelemahan dalilnya (dalil yang mendasari hukum yang ia tabanniy), dan tampak jelas adanya dalil yang lebih kuat dibandingkan dalil (hukum yang ia tabanniy).  Dan tampak jelas di sisinya bahwa hukum Allah adalah hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang kuat, dan secara otomatis ia wajib meninggalkan apa yang ia tabanniy dan mentabanniy pendapat baru.  Sebab, pendapat baru tersebut menjadi hukum Allah bagi haknya; (kedua) ada sangkaan kuat pada dirinya, bahwa pendapat baru tersebut diistibathkan oleh orang yang lebih mengetahui istinbath (hukum) daripada dirinya, dan lebih mendalam istidlalnya serta lebih banyak menguasai syariat; maka secara otomatis ia boleh meninggalkan pendapat yang ia tabanniy dan mentabanniy pendapat yang lain. Hal ini ditetapkan dari para shahabat besar, bahwasanya mereka meninggalkan pendapat-pendapat mereka dan mengambil pendapat sahabat-sahabat lain.  Abu Bakar ra pernah mengambil pendapat ‘Ali ra dan meninggalkan pendapatnya. ‘Umar ra juga pernah mengadopsi pendapat ‘Ali ra dan meninggalkan pendapatnya; (ketiga) ditujukan untuk menyatukan kalimat kaum Muslim di atas satu pendapat.  Dalam keadaan seperti ini, seorang Muslim boleh meninggalkan pendapatnya dan mentabanniy pendapat yang ditujukan untuk menyatukan kalimat kaum Muslim….Pada tiga keadaan ini, seorang Muslim meninggalkan pendapat yang ia tabanniy, dan mengadopsi pendapat lain.  Selain tiga keadaan ini, seorang Muslim tidak boleh meninggalkan pendapatnya secara mutlak.  Sebab, syariat diserukan kepada setiap individu, dan setiap Muslim memiliki hak untuk mentabanniy pendapat yang ia dapatkan dari ijtihad atau taqlid.   Jika ia sudah mentabanniy, maka ia terikat dengan apa yang ia tabanniy, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan oleh dalil syariat”.[‘Allamah Asy Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, hal. 136. Maktabah Syamilah]

Adapun dalam perkara-perkara qath’iy, tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya.  Seorang Muslim tidak boleh menyelisihi perkara-perkara qath’iy, baik menyangkut masalah aqidah maupun syariah.  Begitu pula hukum-hukum syariat yang telah disepakati oleh para ulama, maka tidak ada alasan untuk menyelisihinya.   Demikian pula, pendapat-pendapat qath’iy yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, baik yang menyangkut ‘aqidah maupun syari’ah dan hukumnya telah disepakati para ‘ulama, maka tak seorang pun boleh berbeda pendapat di dalamnya.  Misalnya, pendapat wajibnya berhukum dengan syariat Islam, wajibnya menegakkan sholat lima waktu, zakat, puasa, haji, haramnya riba, khamer, homoseksual, dan lain sebagainya.  Termasuk di dalamnya kewajiban mengangkat seorang Khalifah, menegakkan Khilafah di tengah-tengah kaum Muslim, serta kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy, atau sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama aswaja.   Menolak salah satu hukum qath’iy yang telah disepakati oleh para ulama, dengan alasan hukum itu diajarkan dan didakwahkan oleh Hizbut Tahrir, atau dengan alasan membahayakan NKRI, sesungguhnya telah menjatuhkan pelakunya ke dalam kekufuran atau kesesatan yang nyata.   Professor Dr. Asy Syaikh Wahbah al-Zuhaliy menyatakan:

وإنكار حكم من أحكام الشريعة التي ثبتت بدليل قطعي، أو زعم قسوة حكم ما كالحدود مثلاً، أو ادعاء عدم صلاحية الشريعة للتطبيق، يعتبر كفراً وردة عن الإسلام. أما إنكار الأحكام الثابتة بالاجتهاد المبني على غلبة الظن فهو معصية وفسق وظلم؛ لأن المجتهد بذل أقصى جهده لمعرفة الحق وبيان حكم الله تعالى، بعيداً عن أي هوى شخصي، أو مأرب نفعي، أو طلب سمعة أو شهرة زائفة، وإنما مستنده الدليل الشرعي، ورائده الحق، وشعاره الأمانة والصدق والإخلاص.

”Mengingkari salah satu hukum dari hukum-hukum syariat yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy, atau menyakini keburukan hukum syariat apapun, hudud misalnya; atau menuduh ketidaklayakan hukum syari’ah untuk diterapkan, dianggap kekufuran dan murtad dari Islam.  Adapun pengingkaran terhadap hukum yang ditetapkan dengan ijtihad yang dibangun di atas dugaan kuat (ghalabat al-dhann), adalah kemaksiyatan, kefasikan, dan kedhaliman.  Sebab, seorang mujtahid mencurahkan kemampuan paling maksimalnya untuk mengetahui kebenaran dan menjelaskan hukum Allah swt, jauh dari hawa nafsu pribadi, tendensi kepentingan, atau mencari ketenaran, popularitas, atau kejumawaan.  Tetapi, sandaran seorang Mujtahid hanyalah dalil syariat semata; dan pencariannya hanyalah kebenaran; dan syi’arnya adalah amanah, kejujuran, dan keikhlasan.[ Syaikh Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuhu, Juz 1/25]

Seorang Muslim tidak boleh serampangan menolak, membenci, dan memberikan label-label buruk atas pemikiran ’aqidah maupun hukum syariat yang diyakini shahih oleh saudara Muslim yang lain.  Bahkan, jika pemikiran tersebut ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy dan atau hukumnya telah disepakati para ulama, seorang Muslim wajib menghimpunkan dirinya ke dalamnya, tanpa memandang lagi organisasi, kelompok, maupun madzhab orang yang membawa pemikiran tersebut.  Adapun pemikiran-pemikiran yang didasarkan pada dalil dhanniy, seorang Muslim wajib tasamuh (tolerans) dan menghormati saudara Muslim yang berbeda pendapat dengan dirinya.  Ia tidak diperkenankan melarang, membenci, atau memaksa mereka untuk meninggalkan pendapatnya.  Ia juga tidak diperbolehkan menghalang-halangi mereka mendakwahkan dan mengajarkan pemikiran-pemikirannya.

Seorang Muslim hanya diperbolehkan mengingkari dan menegakkan amar makruf nahi ’anil mungkar kepada siapa saja yang telah menyelisihi perkara-perkara yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy, atau hukumnya telah disepakati para ulama. Sebagaimana kaedah ke 35 di dalam Kitab Al-Asybah wa al-Nadhaair menyatakan:

لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ, وَ إِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

“Tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan, dan yang diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati”. [Al-Imam al-Hafidh Suyuthiy, Al-Asybah wa An Nadhaair, I:285]

Setelah penjelasan ini, sungguh tidak pantas, haram, jauh dari akhlaqul karimah, dan menyelisihi prinsip baku yang diajarkan ulama ahlus sunnah wal jama’ah; menolak, mempersekusi, menghalang-halangi, dan membenci dakwah Khilafah dan syariah dengan berlindung di balik alasan ‘ ide ini dibawa oleh Hizbut Tahrir dan membahayakan negara sekuler yang bernama NKRI”.  Pelakunya wajib bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah swt, lebih-lebih lagi jika yang ia selisihi adalah pendapat dan pemikiran Hizbut Tahrir yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy dan sudah menjadi kesepakatan ulama aswaja.

Kedua, dalam pandangan ulama aswaja, Khilafah atau Imamah menduduki posisi yang sangat penting dan urgen.  Tak seorang pun dari kaum Muslim boleh menolak, menyelisihi, dan memusuhinya, siapa pun yang menyampaikannya.  Imam Abu al-Ma’aliy al-Juwaini (Imam al-Haramain), seorang ulama besar madzhab Syafi’iy,  di dalam Kitab al-Irsyad mengatakan:

اَلْكَلَامُ فِى هذا الباب لَيْسَ مِنْ أُصُوْلِ الْاِعْتِقَادِ، وَالْخَطْرُ عَلَى مَنْ يَزِلُ فِيْهِ يُرَبِّى عَلَى الْخَطْرِ عَلَى مَنْ يَجْهَلُ أَصْله

“Pembicaraan dalam bab ini (imamah) tidak termasuk pokok-pokok aqidah (keyakinan), namun bahaya atas orang yang tergelincir di dalamnya lebih besar daripada orang yang tidak mengerti asalnya (maksudnya pokok-pokok agama Islam (‘aqidah atau ushuul al-diin).” [Imam al-Haramain (Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Al Irsyaad, hal. 410, Penerbit Maktabah al Khanajiy, 1950, Kairo, Mesir]

Penjelasan Imam Al Haramain di atas untuk membedakan pendirian ulama aswaja dengan kelompok Syi’ah.  Kelompok Syi’ah memandang imamah bagian dari ‘aqidah.   Menurut kelompok Syi’ah, siapa saja yang salah dalam imamah sama artinya telah melanggar ‘aqidah, dan dihukumi kafir.  Adapun ulama aswaja berpendapat, bahwa Imamah atau Khilafah masuk dalam bab syari’ah.  Melanggarnya tidak secara otomatis mengkafirkan pelakunya.  Hanya saja, menurut mereka, bahaya orang yang salah dalam bab imamah,  lebih besar dibandingkan bahaya orang yang tidak mengetahui salah satu bagian dari ushuluddin.

Atas dasar itu, Imamah atau Khilafah termasuk kewajiban syariat yang penting dan urgen.  Pasalnya, eksistensi Khilafah merupakan penjamin penerapan syariat Islam secara kaaffah.  Tanpa Khilafah, banyak hukum Islam terlantar, dan kaum Muslim tidak memiliki pelindung atas harta, jiwa, dan kehormatan mereka.  Imam Al Ghazaliy menyatakan:

اَلِّديْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

”Agama Islam adalah asas, sedangkan kekuasaan adalah penjaga.  Kekuasaan tanpa asas akan binasa, sedangkan agama tanpa penjaga akan lenyap”. [Imam al-Ghazali, Al-Iqtishaad fi al-I’tiqaad, Juz 1/76]

Khilafah atau imamah disepakati sebagai bagian dari pilar agama Islam (arkaan al-diin) Di dalam Kitab al-Farq Bain al-Firaq Imam al-Asyfirayaini rahimahullah ta’ala mengatakan:

الفصل الثالث من فصول هذا الباب في بيان الاصول التى اجتمعت عليها اهل السنة.  قد اتفق جمهور اهل السنة والجماعة على اصول من اركان الدين كل ركن منها يجب على كل عاقل بالغ معرفة حقيقته ولكل ركن منها شعب وفي شعبها مسائل اتفق اهل السنة فيها على قول واحد وضللوا من خالفهم فيها واول الاركان التى رأوها من اصول الدين اثبات الحقائق والعلوم على الخصوص والعموم…والركن الثانى عشر في معرفة الخلافة والامامة وشروط الزعامة…

Pasal Ketiga: Di Antara Bagian-bagian Bab Ini; Penjelasan Masalah-masalah Ushul Yang  Ahlus Sunnah Telah Sepakat Di Atasnya.  Mayoritas ulama Ahlus Sunnah sepakat atas perkara-perkara ushul yang menjadi bagian dari rukun-rukun dien (pilkar-pilar agama Islam).  Setiap rukun dari rukun-rukun tersebut wajib atas setiap orang yang berakal dan baligh mengetahui hakekatnya.  Setiap rukun dari perkara-perkara ushuluddin memiliki cabang-cabang, dan di dalam cabang-cabang itu terdapat masalah-masalah yang ahlus sunnah wal jamamah telah menyepakatinya secara bulat, dan mereka menyesatkan siapa saja yang menyelisihi mereka dalam perkara-perkara tersebut, yakni: (1) Rukun Pertama, yang mereka (ahlus sunnah) pandang sebagai bagian dari ushuluddin: Penetapan hakekat-hakekat dan pengetahuan-pengetahuan atas yang khusus dan umum.[Itsbaat al-haqaaiq wa al-uluum ‘ala al-khushush wa al-‘umuum)….. (12) Rukun Kedua belas:  Khilafah dan Imamah, dan syarat-syarat pemimpin. (13) [Imam Asyfirayaini, al-Farq bain al-Firaq, hal. 279]

Di dalam Kitab al-Majmuu’ dinyatakan:

ومن ثم يأتي خطأ بعض المتكلمين في قولهم لو تكاف الناس عن الظلم لم يجب نصب الامام لان الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب الامام، والمراد بالامام الرئيس الاعلى للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.

“Lalu, ada kesalahan yang menimpa sebagian ahli kalam dalam perkataan mereka, seandainya manusia mampu terhindar dari kedzaliman, maka mereka tidak wajib mengangkat seorang Imam.  Pendapat ini salah, karena para shahabat ra bersepakat atas wajibnya mengangkat seorang Imam.  Yang dimaksud dengan al-Imam, tidak lain tidak bukan adalah kepala Negara.  Al-Imamah, al-Khilafah, Imaarat al-Mukminiin adalah mutaraadif (sinonim).  Sedangkan yang dimaksud dengan al-Imamah adalah kepemimpinan umum (al-riyaasah al-‘aamah) dalam mengatur urusan agama dan dunia. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kata “al-Imam”, jika disebut secara mutlak, maka pengertiannya adalah al-khalifah. Adapun jika disebut dengan taqyid (pembatasan) maka maknanya adalah sesuai dengan batasan tersebut, misalnya, imam sholat, imam al-hadits, dan imam suatu kaum. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Syaikh al-Islaam, Imam Zakariya bin Mohammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshoriy di dalam Fath al-Wahab, menyatakan :

(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء

“(Pasal) tentang syarat-syarat Imam al-A’dzam dan penjelasan mengenai metode untuk  pengangkatan Imamah. Imamah hukumnya adalah fardlu kifayah seperti al-qadla’ (peradilan)”. [Imam Zakariya bin Mohammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshoriy, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj al-Thulaab, juz 2/268]

Di dalam Kitab al-Taaj wa al-Ikliil li Mukhtashar Khaliil,  disebutkan:

( وَالْإِمَامَةِ ) قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَبُو الْمَعَالِي : لَا يُسْتَدْرَكُ بِمُوجِبَاتِ الْعُقُولِ نَصْبُ إمَامٍ وَلَكِنْ يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ وُجُوبُ نَصْبِ إمَامٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ يَرْجِعُ إلَيْهِ فِي الْمُلِمَّاتِ وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ ( وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ )

“(Wa al-Imaamah): Imam al-Haramain Abu al-Ma’aaliy berkata: Mengangkat seorang Imam tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijma’ kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah; dan kewajiban mengangkat seorang Imam di setiap masa untuk mengembalikan kesukaran-kesukaran kepadanya, dan untuk diserahkan kemashlahatan umum kepadanya”.[Imam al-Muwaaq, al-Taaj wa al-Ikliil li Mukhtashar Khaliil, juz 5/131]

Urgensitas Khilafah tampak jelas dari kedudukan dan fungsinya bagi Islam dan kaum Muslim.   Dari sisi kedudukan, Khilafah adalah pemerintahan yang diwariskan Nabi saw, dijalankan para shahabat, dan terus dilestarikan hingga kejatuhan Khilafah Islamiyyah di Turki, pada tahun 1924 Masehi.   Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin, kepala negara Khilafah, oleh mayoritas ulama aswaja ditetapkan sebagai wakil atau pengganti Nabi saw dalam mengatur urusan umat Islam.  Ada pula yang mendudukkan Khalifah sebagai wakil Allah swt.  Adapun dari sisi fungsi, Khilafah merupakan pemerintahan yang bertugas mengatur seluruh urusan kaum Muslim dengan syariat Islam, menjaga Islam dan kaum Muslim, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.   Realitas kedudukan dan fungsi tersebut dapat disarikan dari ta’rif (definisi) Khilafah yang telah dirumuskan ulama aswaja. Syeikh Muhammad Abu Zahrah menyatakan:

( المذاهب السياسية كلها تدور حول الخلافة وهي الإمامة الكبرى ، وسميت خلافة لأن الذي يتولاها ويكون الحاكم الأعظم للمسلمين يخلف النبي  في إدارة شؤونهم ، وتسمى إمامة : لأن الخليفة كان يسمى إمامًا ، ولأن طاعته واجبة ، ولأن الناس كانوا  يسيرون وراءه كما يصلون وراء من يؤمهم الصلاة )

“Madzhab-madzhab politik, seluruhnya mendefinisikan Khilafah di seputar imamah al-kubra (kepemimpinan agung). Disebut khilafah karena pihak yang memegang jabatan khilafah dan yang menjadi penguasa agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena, khalifah disebut Imam, dan karena taat kepadanya adalah wajib, dan karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat di belakang  orang yang mengimami mereka dalam shalat”.[ Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib al-Islamiyyah, juz 1/21]

Ulama aswaja sepakat atas wajibnya kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah.  Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini.

Dari Kalangan Ulama Hanafiyyah; Imam ‘Alauddin al-Kasaniy, seorang ulama besar dari madzhab Hanafiy menyatakan;

وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ – بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ – ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …

“Sebab, mengangkat seorang Imamul A’dzam (imam agung) adalah fardlu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq.  Tidak bernilai sama sekali –penyelisihan sebagian kelompok Qadariyyah–, dikarenakan adanya ijma’ shahabat ra atas kewajiban itu. Dan juga dikarenakan adanya kebutuhan terhadap khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariat); membela orang yang didzalimi dari orang yang dzalim; memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan, dan kemashlahatan-kemashlahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam…”[Imam al-Kasaaniy, Badaai` al-Shanaai` fiy Tartib al-Syaraai’, juz 14/406]

Hukum mengangkat seorang Khalifah atau al-Imam al-A’dham, menurut ulama madzhab Hanafiy adalah fardlu.  Dalam tradisi keilmuan madzhab Hanafiy, jika hukum suatu perkara adalah fardlu, maka menolak perkara tersebut adalah kafir tanpa ada keraguan.  Begitu pula jika seseorang meninggalkan kewajiban tersebut  disertai dengan peremehan dan penolakan, maka ia telah kafir.  Imam Sarakhsiy dalam Kitab Ushul al-Sarakhsiy menyatakan:

فالفرض اسم لمقدر شرعا لا يحتمل الزيادة والنقصان، وهو مقطوع به لكونه ثابتا بدليل موجب للعلم قطعا من الكتاب أو السنة المتواترة أو الاجماع… وحكم هذا القسم شرعا أنه موجب للعلم اعتقادا باعتبار أنه ثابت بدليل مقطوع به ولهذا يكفر جاحده، وموجب للعمل بالبدن للزوم الاداء بدليله، فيكون المؤدي مطيعا لربه والتارك للاداء عاصيا، لانه بترك الاداء مبدل للعمل لا للاعتقاد وضد الطاعة العصيان ولهذا لا يكفر بالامتناع عن الاداء فيما هو من أركان الدين، لا من أصل الدين إلا أن يكون تاركا على وجه الاستخفاف فإن استخفاف أمر الشارع كفر، فأما بدون الاستخفاف فهو عاص بالترك من غير عذر، فاسق لخروجه من طاعة ربه، فالفسق هو الخروج،

”Fardlu adalah sebutan untuk “kadar tertentu” yang secara syar’iy tidak mengandung penambahan atau pengurangan; dan ia bisa dipastikan kebenarannya.  Sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang menghasilkan keyakinan secara pasti (‘ilm qath’iy) baik yang bersumber dari al-Quran, Sunnah Mutawatir, atau Ijma’…Secara syar’iy hukum untuk kategori semacam ini menghasilkan keyakinan pasti; sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti.  Oleh karena itu, siapa saja yang mengingkari hukum semacam ini (fardlu) dianggap kafir.  Perkara fardlu harus diamalkan dengan anggota badan.  Orang yang menunaikannya adalah orang yang taat  kepada Rabbnya, dan siapa saja yang meninggalkannya adalah orang-orang yang maksiyat.  Sebab, ketika ia tidak menunaikannya, berarti ia telah membatalkan amal perbuatan, namun tidak membatalkan keyakinannya.  Sedangkan melanggar ketaatan termasuk kemaksiyatan.  Oleh karena itu, orang yang meninggalkan perbuatan yang termasuk rukun agama atau ushulul diin, tidak boleh dianggap kafir; kecuali jika orang yang meninggalkan perbuatan itu disertai dengan unsur meremehkan atau menolak hukum.  Pasalnya menolak atau meremehkan perintah Allah swt termasuk kekufuran.  Namun, jika ia meninggalkan perbuatan fardlu tersebut tidak disertai dengan penolakan atau peremehan, maka orang tersebut hanya terkategori orang yang berbuat maksiyat.  Pasalnya, ia telah meninggalkan kewajiban tanpa ada udzur.  Orang tersebut terkategori fasiq, jika ia keluar dari ketaatan kepada Tuhannya.  Sebab, al-fisq (fasik) bermakna al-khuruj (keluar)”.[Imam Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, Juz 1, hal. 111]

Di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, juz 4/205, disebutkan:

( قَوْلُهُ وَنَصْبُهُ ) أَيْ الْإِمَامِ الْمَفْهُومِ مِنْ الْمَقَامِ ( قَوْلُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ ) أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِ ، وَلِذَا قَالَ فِي الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ : وَالْمُسْلِمُونَ لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْ إمَامٍ ، يَقُومُ بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ ؛ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ ، وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ ، وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ ؛ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ ، وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ وَالْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ ، وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ ، وَقَبُولِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلَى الْحُقُوقِ ؛ وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ وَالصَّغَائِرِ الَّذِينَ لَا أَوْلِيَاءَ لَهُمْ ، وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ا هـ ( قَوْلُهُ فَلِذَا قَدَّمُوهُ إلَخْ ) فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ أَوْ لَيْلَةَ الْأَرْبِعَاءِ أَوْ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ ح عَنْ الْمَوَاهِبِ ، وَهَذِهِ السُّنَّةُ بَاقِيَةٌ إلَى الْآنَ لَمْ يُدْفَنْ خَلِيفَةٌ حَتَّى يُوَلَّى غَيْرُهُ

“(Perkataannya: wa nashbuhu (mengangkatnya), maksudnya, (mengangkat) Imam Al-A’dzam (dan perkataannya: ahamm al-waajibaat (kewajiban yang paling penting)), yakni; mengangkat seorang Imam itu termasuk kewajiban yang paling penting, dikarenakan bergantungnya banyak kewajiban syariat kepadanya.  Oleh karena itu, Imam An Nasaafiy dalam al-‘Aqaaid al-Nasafiyyah berkata, “Kaum Muslim, sudah menjadi keharusan bagi mereka adanya seorang Imam yang tegak untuk melaksanakan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, memperkuat benteng-benteng, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh, dan para pembegal, menegakkan sholat Jum’at dan Hari Raya, menerima kesaksian-kesaksian yang membuktikan atas hak-hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali, dan membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para shahabat mendahulukannya (pengangkatan imamah)..dan seterusnya): sesungguhnya, Nabi saw wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu (h) dari al-Mawaahib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, seorang Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain”.[Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 4/205]

Kalangan Ulama Madzhab Malikiy; Imam Qurthubiy, seorang ulama dari Madzhab Malikiy menyatakan:

”… هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ..“

“..Ayat ini adalah dalil asal tentang wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengannya kalimat (persatuan umat) disatukan, dan dengannya dilaksanakan hukum-hukum khalifah.  Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham…” (catatan: Al-Asham adalah orang Mu’tazilah yang berpendapat bahwa mengangkat seorang khalifah tidak wajib, dan dia dianggap sesat dan menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim)”.[Imam Qurthubiy, Al Jaami’ li Ahkaam al-Quran, juz 1/264-265]

Di dalam Kitab al-Taaj wa al-Ikliil li Mukhtashar Khaliil,  disebutkan:

( وَالْإِمَامَةِ ) قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَبُو الْمَعَالِي : لَا يُسْتَدْرَكُ بِمُوجِبَاتِ الْعُقُولِ نَصْبُ إمَامٍ وَلَكِنْ يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ وُجُوبُ نَصْبِ إمَامٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ يَرْجِعُ إلَيْهِ فِي الْمُلِمَّاتِ وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ ( وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ )

“(Wa al-Imaamah): Imam al-Haramain Abu al-Ma’aaliy berkata: Mengangkat seorang Imam tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijma’ kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang Imam di setiap masa untuk mengembalikan kesukaran-kesukaran kepadanya, dan untuk diserahkan kemashlahatan umum kepadanya”.[Imam al-Muwaaq, al-Taaj wa al-Ikliil li Mukhtashar Khaliil, juz 5/131]

Kalangan Ulama Madzhab Asy Syafi’iy ; Imam Abu Zakaria An Nawawiy, dari kalangan ulama madzhab Syafi’iy mengatakan;

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ الْأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ : لَا يَجِبُ ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ ،

“Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.  Dan kewajibannya (mengangkat seorang khalifah) ditetapkan berdasarkan syariat, bukan berdasarkan akal.  Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib”, dan selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal bukan berdasarkan syariat , maka dua pendapat ini bathil”. [Imam Abu Zakaria An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 6/291]

Di dalam Kitab Raudlat al-Thaalibiin wa ’Umdat al-Muftiin, disebutkan:

الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها, لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها.قلت تولي الإمامة فرض كفاية فإن لم يكن من يصلح إلا وأحد تعين عليه ولزمه طلبها إن لم يبتدئوه والله أعلم.

“Pasal kedua tentang kewajiban Imamah dan penjelasan mengenai jalan-jalan (menegakkan) Imamah.  Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat adanya seorang Imam yang menegakkan agama, menolong sunnah, menolong orang-orang yang didzalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya.  Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah adalah fardlu kifayah.  Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi seorang Imam) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi Imam dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dahulu.  Wallahu A’lam”. [Imam An Nawawiy, Raudlat al-Thaalibiin wa ‘Umdat al-Muftiin, juz 3/433]

Syaikh al-Islaam, Imam Zakariya bin Mohammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshoriy di dalam Fath al-Wahab, menyatakan :

(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء

“(Pasal) tentang syarat-syarat Imam al-A’dzam dan penjelasan mengenai metode untuk  pengangkatan Imamah. Imamah hukumnya adalah fardlu kifayah seperti al-qadla’ (peradilan)”. [Imam Zakariya bin Mohammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshoriy, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj al-Thulaab, juz 2/268]

Dari Kalangan Ulama Madzhab Hanbali; Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbali, seorang ulama madzhab Hanbaliy menyatakan;

…وَقَالَ « اِبْنُ الْخَطِيْبِ » : اَلْخَلِيْفَةُ : اِسْمٌ يَصْلُحُ لِلْوَاحِدِ وَالْجَمْعِ كَمَا يَصْلُحُ لِلذَّكَرِ وَالْأُنْثَى …   ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ اْلآيَةُ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ ، وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَصَمِّ ، وَأَتْبَاعِهِ …”

“Berkata (Ibnu al-Khathiib): al-Khalifah adalah kata benda (isim) yang layak digunakan untuk tunggal maupun jamak, sebagaimana ia juga layak untuk laki-laki dan perempuan…..Lalu ia berkata, “Ayat ini (Al Baqarah:30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya..” [Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbaliy, Tafsirul Lubab fii ‘Ulumil Kitab,  juz 1 hal 204]

Inilah pendapat yang diketengahkan ulama dari kalangan empat madzhab mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, Amirul Mukminin, atau Imam bagi seluruh kaum Muslim di dunia.  Seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang Khalifah atau Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib.  Ketentuan itu ditunjukkan oleh perilaku generasi shahabat dan salafus shalih dari kalangan umat Islam.  Hukum ini pula yang dipegang, didakwahkan, dan diajarkan Hizbut Tahrir.  Lantas, bagaimana mungkin ada orang yang mengaku Mukmin, justru memusuhi dan menghambat hukum wajib yang telah disepakati ulama aswaja yang diserukan Hizbut Tahrir?  Bukankah seharusnya mereka menerima dengan sepenuh penerimaan?

Lebih dari itu, ulama aswaja menetapkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah sebagai kewajiban paling penting.  ‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitamiy Asy Syafi’iy, di dalam kitab Ash Shawaa’iqul Muhriqah menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ

“Ketahuilah juga; sesungguhnya para shahabat ra seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib; bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut (mengangkat seorang imam/khalifah) sebagai kewajiban yang paling penting.  Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menyelenggarakan jenazah Rasulullah saw.  Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai ta’yiin (siapa yang paling layak menjabat khalifah) tidak merusak ijma’ yang telah disebut..” [Allamah Ibnu Hajar al-Haitamiy Asy Syafi’iy, Ash Shawaa’iqul Muhriqah, juz 1/25]

Di dalam Kitab Jam’u al-Wasaail fiy Syarh al-Syamaail, dinyatakan sebagai berikut:

(وَاجْتَمَعَ الْمُهَاجِرُونَ) أَيْ : أَكْثَرُهُمْ (يَتَشَاوَرُونَ) أَيْ : فِي أَمْرِ الْخِلَافَةِ الْوَاوُ لِمُطْلَقِ الْجَمْعِ أَوِ الْجُمْلَةُ حَالِيَّةٌ وَإِلَّا فَالْقَضِيَّةُ وَاقِعَةٌ قَبْلَ الدَّفْنِ كَذَا ذَكَرَهُ الطَّبَرِيُّ صَاحِبُ الرِّيَاضِ النَّضِرَةِ أَنَّ الصَّحَابَةَ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ مِنْ وَاجِبَاتِ الْأَحْكَامِ بَلْ جَعَلُوهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَاخْتِلَافُهُمْ فِي التَّعْيِينِ لَا يَقْدَحُ فِي الْإِجْمَاعِ الْمَذْكُورِ وَكَذَا مُخَالَفَةُ الْخَوَارِجِ وَنَحْوِهِمْ فِي الْوُجُوبِ مِمَّا لَا يُعْتَدُّ بِهِ ؛ لِأَنَّ مُخَالَفَتَهُمْ كَسَائِرِ الْمُبْتَدِعَةِ لَا تَقْدَحُ فِي الْإِجْمَاعِ وَلِتِلْكَ الْأَهَمِّيَّةِ لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَامَ أَبُو بَكْرٍ خَطِيبًا فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ ، وَلَا بُدَّ لِهَذَا الْأَمْرِ مِمَّنْ يَقُومُ بِهِ فَانْظُرُوا وَهَاتُوا رَأْيَكُمْ فَقَالُوا : صَدَقْتَ وَاجْتَمَعَ الْمُهَاجِرُونَ (فَقَالُوا) أَيْ :

(Kaum Muhajirin bersepakat), maksudnya: mayoritas mereka (bermusyawarah): yakni tentang urusan Khilafah.  Huruf wawu untuk menunjukkan kemuthlakan jamak atau kalimat haaliyyah; dan jika tidak maka urusan itu sudah terjadi sebelum penyelenggaraan jenazah, sebagaimana dituturkan oleh Imam Ath Thabariy, pengarang Kitab al-Riyaadl al-Nadlrah menyatakan, bahwasanya para shahabat bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam setelah berakhirnya zaman kenabian termasuk kewajiban-kewajiban hukum, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting, dikarenakan mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan penyemayaman jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu (at-ta’yiin) tidaklah menciderai kesepakatan (ijma’) yang telah disebut (kesepakatan shahabat mengenai wajibnya mengangkat seorang Imam).  Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan Khawarij mengenai kewajiban (mengangkat seorang Imam), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan.  Sebab, penentangan mereka, seperti halnya ahli bid’ah yang lain tidak akan mampu menciderai ijma’.  Begitu pentingnya masalah itu (pengangkatan seorang Imam), tatkala Rasulullah saw wafat, Abu Bakar ra berkhuthbah, “Wahai manusia, barangsiapa menyembah Mohammad saw, sesungguhnya Mohammad saw telah wafat, dan barangsiapa menyembah kepada Allah swt, sesungguhnya Allah Hidup tidak mati.  Sudah seharusnya untuk urusan ini (nashb al-khilafah) ada orang yang menegakkannya, maka perhatikan dan sampaikan pandangan kalian”.  Maka, mereka berkata,”Anda benar, dan kaum Muhajirin pun bersepakat..” [‘Ali bin (Sulthan) Mohammad (Abu al-Hasan Nuur al-Diin al-Mulaa al-Harawiy al-Qaariy, Jam’u al-Wasaail fiy Syarh al-Syamaail, Juz 2/219]

Tegaknya kembali Khilafah juga ditetapkan ulama aswaja menjadi salah satu bagian dari bisyarah Nabi saw (kabar gembira Nabi saw).       Di dalam sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang berisi bisyarah (kabar gembira) tegaknya kekhilafahan Islam yang kekuasaannya meliputi timur dan barat bumi.   Di antara hadits-hadits yang berbicara tentang bisyarah Rasulullah saw adalah sebagai berikut:

Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (رَوَاهُ اَحْمَدُ)

“Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang.  Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang.  Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya.  Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian).  Setelah itu, beliau diam”.[HR. Imam Ahmad]

Di dalam hadits-hadits shahih, Nabi Mohammad saw telah mengabarkan kabar gembira (bisyarah) kepada kaum Muslim tentang kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi.   Riwayat-riwayat yang menuturkan kekuasaan kaum Muslim mulai dari timur dan barat, menunjukkan bahwasanya kekhilafahan Islam akan ditegakkan kembali di muka bumi.  Pasalnya, perluasan kekuasaan kaum Muslim hanya akan terjadi jika di sana ada penaklukkan-penaklukkan.  Penaklukkan-penaklukkan hanya terjadi jika di sana ada pasukan perang yang dilengkapi oleh piranti perang yang kuat dan canggih. Semua itu tidak akan terwujud kecuali ada negara super power yang tegak di atas ’aqidah dan syariat Islam.  Negara itu tidak lain tidak bukan adalah Khilafah Islamiyyah.

Di antara riwayat-riwayat yang berbicara tentang kekuasaan kaum Muslim yang mencakup timur dan barat adalah sebagai berikut.  Imam Muslim menuturkan sebuah hadits dari Tsauban, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

ِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا…“ (أخرجه الامام مسلم, صحيح مسلم 4:2215 , الترمذي, سنن الترمذي 4:472 ,ابو داود,سنن ابو داود,4:97)

”Sesungguhnya Allah swt telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya.  Sesungguhnya umatku, kekuasaannya akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku”.[HR. Imam Muslim, Tirmidziy, dan Abu Dawud]

Al-Hafidz al-Khaathabiy berkata:

”.. وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْأَرْضَ زُوِيَتْ لِي جُمْلَتُهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فَرَأَيْت مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا , ثم هي تفتح لأمتي جزأ فجزأ حتى يصل ملك أمتي إلى كل أجزائها… (العلامة الشيخ محمد عبد الرحمن المباركفوري, تحفة الاحوذي بشرح سنن الترمذي,4:468)

”..Maknanya adalah, sesungguhnya bumi telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku seluruhnya secara serentak, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya.  Kemudian, bumi akan ditaklukkan untuk ummatku bagian demi bagian, hingga kekuasaan umatku meliputi seluruh bagian muka bumi”..[Imam al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy bi Syarh Sunan al-Tirmidziy, juz 4/468]

Imam An Nawawiy Asy Syafi’iy ra, menyatakan:

..فيه إشارة إلى أن ملك هذه الأمة يكون معظم امتداده في جهتي المشرق والمغرب وهكذا وقع وأما في جهتي الجنوب والشمال فقليل بالنسبة إلى المشرق والمغرب انتهى (العلامة الشيخ محمد شمس الحق العظيم, عون المعبود بشرح سنن ابو داود, 9:292)

”Di dalam hadits ini ada isyarat bahwasanya kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) pada arah timur dan barat, dan inilah yang telah terjadi.  Adapun pada arah selatan dan utara, maka itu lebih kecil jika dinisbahkan kepada timur dan barat. Selesai.”[Imam Syams al-Haqq al-’Adziim, ’Aun al-Ma’buud bi Syarh Sunan Abu Dawud, juz 9/292]

Sebagaimana dijelaskan di atas, Khilafah Islamiyyah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir hakekatnya adalah Khilafah atau Imamah yang telah dijelaskan eksistensi dan hukumnya oleh ulama aswaja.  Lantas, atas dasar apa mereka menolak Khilafah ‘ala Hizbut Tahrir’, sedangkan yang diusung dan diperjuangkan Hizbut Tahrir adalah Khilafah sama yang telah dijelaskan berbagai sisinya oleh ulama aswaja dalam kitab-kitab mu’tabar mereka?  Jangan-jangan mereka adalah musuh-musuh Islam dan kaum Muslim yang menyaru sebagai seorang Muslim?

Ketiga,  Khilafah yang didakwahkan dan diperjuangkan Hizbut Tahrir, memiliki fakta dan realitas yang bisa diindera dan dipahami.  Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir bukanlah pemikiran atau ide khayali yang tidak memiliki sandaran dalil dan argumentasi.   Bahkan, dalam konteks berdalil, Hizbut Tahrir membatasi diri dengan hanya merujuk kepada dalil-dalil mu’tabar, dan tidak menggunakan syubhat al-dalil, semacam mashalih mursalah, pendapat shahabat, istihsan, syar’u man qablanaa, ijma’ mujtahidin, ma’alat al-af’al, dan syubhat dalil lainnya.  Di sisi lain, metode ijtihad dan istinbath yang digunakan Hizbut Tahrir merupakan metode sama yang digunakan oleh para ulama ushul mu’tabar.  Tidak ada satupun yang asing dan menyimpang dalam pendalilan maupun metode ijtihadnya.  Selain itu, Hizbut Tahrir juga menyandarkan kepada apa yang disebut dengan quwwat al-dalil (kekuatan dalil), sehingga pemikiran dan pendapat yang dikeluarkan merupakan pendapat terkuat, jernih dan mendalam –-menurut Hizbut Tahrir.

Dari berbagai macam pemikiran dan pendapat tentang Khilafah yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, ada yang bersumber dari dalil-dalil qath’iy, dan ada pula yang bersumber dari dalil-dalil dhanniy.  Adapula yang hukumnya sudah disepakati ulama (mujma’ ‘alaihi) dan ada pula yang masih diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fiih).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam ranah khilafiyyah, seorang Muslim tidak boleh mengingkari, menghambat, menghalang-halangi, atau memaksa saudaranya untuk meninggalkan pendapat yang diadopsinya, apalagi berusaha menghentikan aktivitas dakwah dan mengajarkan pendapatnya kepada orang lain.   Pasalnya, amar makruf nahi ‘anil mungkar tidak berlaku dalam masalah-masalah yang hukumnya masih diperselisihkan di kalangan para ulama.

Imam al-Haramain, Abu al-Ma’aliy al-Juwainiy Asy Syafi’iy rahimahullah ta’ala, menyatakan:

ثم ليس للمجتهد أن يعترض بالردع والزجر على مجتهد آخر في موقع الخلاف إذ كل مجتهد في الفروع مصيب عندنا ومن قال إن المصيب واحد فهو غير متعين عنده فيمتنع زجر أحد المجتهدين الآخر على المذهبين ( الإرشاد ص 312 )

“Kemudian, seorang Mujtahid tidak berhak menghalang-halangi mujtahid lain dengan cara (memberikan) penolakan dan pencegahan dalam persoalan khilaf (persoalan yang hukumnya masih diperselisihkan).  Sebab, setiap mujtahid, dalam masalah furu’, menurut kami, adalah orang yang benar. Dan orang yang berpendapat bahwa orang yang benar hanyalah seorang, maka dia bukanlah orang tertentu saja menurut dirinya.  Sehingga tercegahlah seorang mujtahid menghalangi mujtahid lain atas dua madzhab”.[Imam al-Haramain, Abu al-Ma’aliy al-Juwainiy, al-Irsyaad, hal. 312. Lihat dalam al-Khulashah fiy Ushuul al-Hiwaar wa Adab al-Ikhtilaaf, dikumpulkan oleh ‘Aliy bin Nayif al-Syahuud, Juz 2/87]

Imam Abu Zakariya al-Nawawiy dalam Kitab al-Minhaj menyatakan:

وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِق الْأَفْعَال وَالْأَقْوَال وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ

“Jika perkara itu termasuk perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang mendalam, dan termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan ijtihad, maka orang awam tidak berhak melibatkan diri ke dalamnya, mereka juga tidak boleh mengingkarinya, tetapi hal itu menjadi tugas ulama. Kemudian, ulama pun hanya boleh mengingkari perkara yang telah disepakati (ijma’); adapun perkara yang masih diperselisihkan (mukhtalaf fiih) tidak boleh ada pengingkaran.  Sebab, atas masing-masing pendapat dari dua pendapat (yang berbeda), maka setiap mujtahid adalah benar.  Ini adalah sikap yang dipilih mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiqin)”. [Al-Minhaj, 1:131]

Adapun dalam pemikiran dan pendapat Hizbut Tahrir yang masuk dalam ranah mujma’ ‘alaihi (hukumnya telah disepakati ulama), atau perkara-perkara yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy,  maka tidak ada alasan untuk berselisih pendapat di dalamnya, misalnya wajibnya menerapkan syariat Islam, nashb al-Khalifah (mengangkat seorang Khalifah), kesatuan wilayah dan kepemimpinan Khilafah, dan lain sebagainya.    Siapa saja yang menyelisihi perkara-perkara semacam ini, sungguh ia melakukan kemungkaran yang wajib diingkari dan ditegakkan amar makruf nahi ‘anil mungkar atas dirinya.

Inilah sikap yang harus ditempuh seorang Muslim dalam memperlakukan saudara-saudara Muslimnya yang berbeda pendapat dan pemikiran dengan dirinya.

Berikut ini akan kami ketengahkan realitas Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir, agar tersingkap dengan jelas, bahwasanya Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir merupakan Khilafah yang juga diajarkan Nabi dan para shahabat, disepakati ulama aswaja, dan dijaga kelangsungannya oleh generasi terbaik umat Islam.

Realitas Khilafah Yang Diperjuangkan Hizbut Tahrir Sama Dengan Realitas Negara Islam Di Era Nabi saw dan Para Sahabat

Khilafah, Imamah, atau Imaratul Mukminiin memiliki fakta dan karakteristik tertentu.   Realitas Khilafah dapat dilihat dengan jelas dari praktek kenegaraan Rasulullah saw dan para shahabat.   Ulama aswaja selanjutnya merumuskan realitas Khilafah dalam kitab-kitab yang secara khusus membahas tentang sistem politik syar’iy (al-siyaasah al-syar’iyyah). Berikut ini adalah realitas Khilafah menurut ulama aswaja yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir

Karakteristik Pertama: Khilafah Adalah Negara Islam, Bukan Organisasi atau Kelompok

Khilafah adalah sistem pemerintahan negara Islam (Daulah Islamiyyah) yang memiliki wilayah dan teritorial.  Khilafah bukan organisasi politik, baik yang berujud partai politik, jama’ah dakwah, organisasi masa, dan lain sebagainya.  ISIS, Khilafatul Muslimin, dan organisasi-organisasi yang tidak memiliki teritorial, kelengkapan, dan karakteristik negara, tidak boleh (haram) dianggap sebagai Khilafah.  Kekhilafahan yang mereka klaim wajib ditolak, karena bertentangan dengan realitas Khilafah yang dipraktekkan para shahabat.

Fakta Khilafah berujud negara yang memiliki wilayah dan teritotial merupakan perkara yang telah diketahui, dan ditetapkan berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir.  Khilafah dengan karakteristik seperti inilah yang diusung dan diperjuangkan Hizbut Tahrir, bukan Khilafah semu (pseudo Khilafah) ala organisasi-organisasi menyimpang, semacam ISIS, dan lain sebagainya.

Realitas Khilafah sebagai sebuah negara, selain ditetapkan berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir, juga disimpulkan dari perkara-perkara di bawah ini;

 

1. Status Orang Kafir Dalam Daulah Khilafah

            Di dalam kitab-kitab fikih, orang kafir diklasifikasi menjadi beberapa macam, yakni kafir dzimmiy, kafir mu’ahid, kafir harbiy, dan kafir musta`min. Kafir dzimmiy adalah sebutan bagi orang kafir yang menjadi warga negara Daulah Islam dan mendapatkan dzimmah (perlindungan) dari Daulah Khilafah.  Kafir mu’ahid adalah orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Daulah Khilafah.  Kafir musta’min adalah orang kafir yang masuk ke dalam negara Khilafah untuk mendapatkan keamanan.  Sedangkan kafir harbiy adalah orang kafir yang tinggal di negara kafir dan statusnya boleh diperangi karena alasan-alasan tertentu.  Fakta ini menunjukkan bahwasanya Khilafah Islamiyyah merupakan sebuah negara yang memiliki wilayah dan teritorial tertentu yang tegas dan jelas. Jika Khilafah tidak berujud negara yang memiliki wilayah tertentu, yang memisahkan dirinya dengan negara kafir, niscaya tidak dikenal klasifikasi kafir dzimmiy, mu’ahid, musta`min, dan harbiy.  Padahal, Rasulullah saw dalam riwayat-riwayat shahih, telah menyebut istilah-istilah kafir dzimmiy, mu’ahid, dan kafir harbiy. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa membunuh kafir mu’ahid (kafir yang mengadakan perjanjian dengan Daulah Islam) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga bisa dicium dari jarak 40 tahun.”[HR. Imam Bukhari].  Hadits ini memberikan pengertian adanya batas wilayah yang tegas antara negara Islam dengan negara kafir.   Rasulullah saw bersabda:

من ظلم ذميا مؤديا الجزية (1) مقرا بذلته ، فأنا خصمه يوم القيامة

“Barangsiapa mendzalimi dzimmiy [kafir dzimmiy] yang telah membayar  jizyah, mengakui kehinaannya, maka pada hari kiamat aku akan memperkarakannya.”[HR. Imam Abu Na’iim; lihat pada Ma’rifat al-Shahabah, juz 11/339].

Rasulullah saw juga bersabda:

أَخْرِجُوا الْمُشْرِكِينَ مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ ، وَأَجِيزُوا الْوَفْدَ بِنَحْوِ مَا كُنْتُ أُجِيزُهُمْ

“Keluarkanlah kaum musyrikin [posisinya sebagai kafir dzimmiy –lihat Mukhtashar Nailul Authar–dari Jaziratul Arab, dan kenakan upeti  para utusan itu, seperti aku pernah mengenakan upeti kepada mereka.[HR. Imam Ahmad, Bukhari,dan Muslim, dari Ibnu ‘Abbas] Hadits ini dengan jelas menyebut istilah kafir dzimmiy.  Kafir Dzimmiy adalah seorang kafir yang tunduk dan berada di dalam kekuasaan Daulah Islamiyah.  Hadits ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa Khilafah merupakan negara yang memiliki wilayah tertentu. Kafir musta’min, adalah orang kafir yang lari dari negaranya [negara kafir] dan masuk ke dalam Daulah Islamiyah untuk meminta jaminan keamanan.  Inipun dijelaskan dalam sunnah.  Rasulullah saw pernah memberikan keamanan kepada utusan-utusan orang musyrik.[1]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Khilafah merupakan negara yang memiliki wilayah dan teritorial tertentu, bukan organisasi, kelompok, maupun gerakan dakwah.

 

2. Hukum Jihad fi Sabilillah

Keberadaan Khilafah sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah dengan demarkasi tertentu yang memisahkan dirinya dengan negara kafir, ditunjukkan oleh hukum jihad fi sabilillah.  Allah swt berfirman:

 وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan agar semua agama karena Allah…”[TQS Al Anfaal (8):39]  Jihad fi sabilillah adalah berperang melawan orang kafir di jalan Allah swt.  Di antara tujuan jihad adalah merebut dan  menaklukkan wilayah mereka dan benteng mereka.   Disyariatkannya jihad fi sabilillah menunjukkan bahwa Khilafah merupakan negara yang memiliki wilayah yang tegas untuk membedakan dirinya dengan negara kafir.  Kalau Khilafah bukan negara Islam yang memiliki wilayah tertentu, bagaimana kita bisa menegakkan hukum jihad atas mereka?

 

3. Perjanjian Antar Negara (al-Shulh)

Al-Quran menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Daar al-Islaam dengan Daar al-Kufr.  Allah swt berfirman:

إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ

“…kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjianmu) dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya..”[TQS Al Taubah (9):4].   Perjanjian antar negara pasti melibatkan dan menyertakan dua negara.  Dengan kata lain, adanya hukum yang mengatur perjanjian antara negara Islam dengan negara kafir, menunjukkan dengan pasti bahwa Khilafah Islamiyyah merupakan sebuah negara yang berdaulat penuh atas teritorial tertentu.

 

4. Hukum Bersiaga di Perbatasan Negara

Eksistensi Khilafah sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah dan teritorial tertentu, ditunjukkan oleh hukum bersiap siaga di perbatasan negara.   Adanya hukum bersiap siaga di perbatasan, menunjukkan dengan jelas bahwasanya Khilafah Islamiyah adalah sebuah negara yang memiliki teritorial dengan demarkasi yang jelas.   Allah swt berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian serta tetaplah bersiap-siap (di perbatasan negerimu [Daulah Islamiyah], kemudian bertaqwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung.”[TQS Ali Imran (3):200].   Ayat memerintahkan kaum Muslim untuk berjaga-jaga di perbatasan negaranya.  Adanya batas negara, menunjukkan bahwa Khilafah adalah negara Islam yang memiliki wilayah dan batas kewilayahan yang jelas.  Jika Khilafah bukan negara, mengapa Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berjaga di perbatasan?!  Di banyak riwayat dituturkan keutamaan orang yang menjaga perbatasan negara Khilafah.  Rasul saw bersabda:

رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

“Berjaga-jaga satu hari di jalan Allah, lebih baik daripada dunia dan seisinya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

حَرْسُ لَيْلَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ لَيْلَةٍ بِقِيَامِ لَيْلِهَا وَصِيَامِ نَهَارِهَا

”Siaga (berjaga) satu malam di jalan Allah lebih baik daripada seribu malam yang dijalani dengan shalat di malam harinya dan berpuasa di siang harinya.”[HR. Imam Ahmad].  Yang dimaksud berjaga atau bersiaga di sini adalah menjaga perbatasan negara agar tidak diserang musuh.

5. Hukum Hijrah

Hijrah menurut istilah para ulama, adalah berpindah dari negara kafir menuju negara Islam.  Imam Ibnu Qudamah di dalam Kitab al-Mughniy menyatakan:

وهي الخروج من دار الكفر إلى دار الاسلام قال الله تعالى : { إن الذين توفاهم الملائكة ظالمي أنفسهم قالوا فيم كنتم قالوا كنا مستضعفين في الأرض قالوا ألم تكن أرض الله واسعة فتهاجروا فيها } الآيات وروي عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال : [أَنَا بَرِىءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ قَالَ « لاَ تَرَاءَى نَارَاهُمَا »] رواه أبو داود

”Hijrah adalah keluar dari negara kafir menuju negara Islam.  Allah swt berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”.[TQS An Nisaa’ (4):97].  Diriwayatkan dari Imam Abu Dawud dari Nabi saw bahwasanya beliau saw bersabda, “Saya berlepas diri dari seorang Muslim yang bermukim di antara orang-orang Musyrik”. Para shahabat bertanya, “Mengapa”.  Beliau saw menjawab, “Tidak saling melihat api masing-masing keduanya”. [HR. Imam Abu Dawud]

Di dalam Kitab al-Ta’riifaat disebutkan:

الهجرة هي ترك الوطن الذي بين الكفار والانتقال إلى دار الإسلام

“Hijrah adalah meninggalkan tanah air yang (dikuasai) orang-orang kafir dan berpindah menuju negara Islam”.[Al-Hafidz al-Jurjaniy, al-Ta`riifaat, Juz 1/ 319]

Imam Ahmad dan Nasaaiy meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda:

لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا قُوتِلَ الْكُفَّارُ

“Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama orang-orang kafir itu masih diperangi.” Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah ra, bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang hijrah, beliau menjawab:

لَا هِجْرَةَ الْيَوْمَ كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ

“Hari ini tidak hijrah lagi, yang ada adalah seorang Mukmin yang membawa lari agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.”  [HR. Imam Bukhari]

Disyariatkannya hijrah atas kaum Muslim, yakni berpindah dari wilayah daar al-kufr (negara kafir) menuju negara Islam (daar al-Islam), menunjukkan bahwasanya Khilafah Islamiyyah merupakan negara yang memiliki wilayah dan teritorial.

Batas wilayah Daulah Islamiyah [negara Islam] bukanlah batas wilayah yang bersifat permanen[2], tetapi terus melebar hingga mencakup seluruh dunia. Batas wilayah Khilafah berbeda dengan batas negara bangsa yang dikembangkan oleh pakar politik barat.  Batas wilayah negara yang dikembangkan oleh orang-orang barat adalah batas negara  yang bersifat tetap (fixed), yang menafikan adanya penaklukan (futuhat) atau memperlebar kekuasaan.    Batas wilayah negara Khilafah Islamiyah meluas dan melebar hingga ke seluruh penjuru dunia.  Hanya saja, batas wilayah negara Islam tetap tegas dan jelas; sebagai bentuk konsekuensi hukum-hukum mengenai kewarganegaraan, jihad fi sabilillah, perjanjian, dan hukum-hukum yang lain.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa Khilafah merupakan negara yang memiliki wilayah dan batas teritorial.   Dengan kata lain, Kekhilafahan Islam berujud negara (daulah) yang memiliki teritorial dan batas yang jelas dan tegas.  Masalah ini masyhur dan diketahui secara luas oleh kaum Muslim.   Sejarah mutawatir juga  menunjukkan dengan sangat jelas adanya kekuasaan dan teritorial negara Khilafah Islamiyah yang membentang sepanjang dua pertiga dunia.

Jika realitas Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir seperti ini, masihkah ada yang menolak dan menghalang-halangi dakwah Khilafah yang diserukan Hizbut Tahrir?

Karakteristik Kedua: Kepala Negara Khilafah Harus Tunggal Untuk Seluruh Dunia

            Karakteristik lain Khilafah Islamiyyah yang membedakan dirinya dengan sistem pemerintahan lain adalah ketunggalan kepala negara (Khalifah) untuk seluruh dunia.  Khalifah, Amirul Mukminin, atau Imam harus satu, dan tidak boleh ada dua orang Khalifah atau lebih di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, baik wilayahnya luas maupun sempit.  Hukum ini telah disepakati ulama aswaja (mujma’ ‘alaihi), yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun.

Imam Nawawiy, seorang ulama madzhab Syafi’iy mengatakan:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء ، وَقِيلَ : تَكُون لِمَنْ عُقِدَتْ لَهُ فِي بَلَد الْإِمَام ، وَقِيلَ : يُقْرَع بَيْنهمْ ، وَهَذَانِ فَاسِدَانِ ، وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا ، وَقَالَ إِمَام الْحَرَمَيْنِ فِي كِتَابه الْإِرْشَاد : قَالَ أَصْحَابنَا : لَا يَجُوز عَقْدهَا لِشَخْصَيْنِ ، قَالَ : وَعِنْدِي أَنَّهُ لَا يَجُوز عَقْدهَا لِاثْنَيْنِ فِي صُقْع وَاحِد ، وَهَذَا مُجْمَع عَلَيْهِ . قَالَ : فَإِنْ بَعُدَ مَا بَيْنَ الْإِمَامَيْنِ وَتَخَلَّلَتْ بَيْنهمَا شُسُوع فَلِلِاحْتِمَالِ فِيهِ مَجَال ، قَالَ : وَهُوَ خَارِج مِنْ الْقَوَاطِع ، وَحَكَى الْمَازِرِيُّ هَذَا الْقَوْل عَنْ بَعْض الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَهْل الْأَصْل ، وَأَرَادَ بِهِ إِمَام الْحَرَمَيْنِ ، وَهُوَ قَوْل فَاسِد مُخَالِف لِمَا عَلَيْهِ السَّلَف وَالْخَلَف ، وَلِظَوَاهِر إِطْلَاق الْأَحَادِيث . وَاَللَّه أَعْلَم .

“Jika dibai’at seorang Khalifah setelah dibai’atnya seorang Khalifah, maka bai’at yang pertama sah dan wajib dipenuhi.  Sedangkan bai’at kedua bathil dan haram dipenuhi dan haram bagi khalifah kedua menuntutnya; dan sama saja, apakah mereka mengangkat orang yang kedua itu dalam keadaan mengetahui pengangkatan orang yang pertama, maupun mereka tidak tahu.  Dan sama saja, apakah keduanya berada di dua negeri yang berbeda, atau satu negeri yang sama, atau salah satu dari keduanya berada di negeri yang sama, namun terpisah dari Imam (orang yang pertama dibai’at), sedangkan yang lain berada di negeri lain.  Inilah pendapat benar yang dipegang teguh oleh ulama-ulama kami, dan mayoritas para ulama. Ada yang berpendapat, “Khilafah adalah hak bagi orang diangkat di negeri Imam. Ada pula yang berpendapat, “Diundi di antara keduanya”. Dua pendapat ini fasid.  Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh menyerahkan aqad kekhilafahan kepada dua orang Khalifah pada masa yang bersamaan, sama saja, apakah Daar al-Islam itu luas maupun tidak. Di dalam Kitabnya, Al-Irsyad, Imam Haramain berkata, “Ulama kami berpendapat bahwasanya tidak boleh menyerahkan aqad khilafah kepada dua orang.  Beliau berkata, “Menurutku sesungguhnya tidak boleh menyerahkan aqad Khilafah kepada dua orang pada saat yang sama.  Hal ini sudah menjadi sesuatu yang diijma’kan. Beliau berkata, “Seandainya letak kedua imam itu berjauhan dan keduanya dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, maka ada tempat untuk ihtimal (kemungkinan) di dalamnya.  Beliau berkata, “Ini telah keluar dari (ketetapan-ketetapan yang) qath’iy”.  Al-Mazariy meriwayatkan pendapat ini dari sebagian ulama mutaakhir dari kalangan ulama ushul, yang dimaksud adalah Imam Haramain. Dan pendapat ini adalah pendapat fasid yang bertentangan dengan pendapat yang dipegang oleh ulama salaf dan khalaf, dan juga berdasarkan dzahir kemuthlakan hadits. Wallahu a’lam”. [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, Juz 6, hal. 316]

Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy di dalam Kitab Fath al-Baariy menyatakan:

وَالْمَعْنَى أَنَّهُ إِذَا بُويِعَ الْخَلِيفَة بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة ، قَالَ النَّوَوِيّ : سَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَمْ لَا ، سَوَاء كَانُوا فِي بَلَد وَاحِد أَوْ أَكْثَر . سَوَاء كَانُوا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل أَمْ لَا . هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُور ، وَقِيلَ : تَكُون لِمَنْ عُقِدَتْ لَهُ فِي بَلَد الْإِمَام دُون غَيْره ، وَقِيلَ : يُقْرَع بَيْنهمَا قَالَ : وَهُمَا قَوْلَانِ فَاسِدَانِ ، وَقَالَ الْقُرْطُبِيّ : فِي هَذَا الْحَدِيث حُكْم بَيْعَة الْأَوَّل وَأَنَّهُ يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَسَكَتَ عَنْ بَيْعَة الثَّانِي . وَقَدْ نَصَّ عَلَيْهِ فِي حَدِيث عَرْفَجَة فِي صَحِيح مُسْلِم حَيْثُ قَالَ : ” فَاضْرِبُوا عُنُق الْآخَر ” .

“Maknanya, jika dibai’at seorang Khalifah setelah dibai’atnya seorang Khalifah, maka bai’at yang pertama sah, wajib dipenuhi.  Sedangkan bai’at kedua batal. Imam Nawawiy berkata, “Sama saja apakah orang-orang yang membai’at (menyerahkan aqad Khilafah) kepada orang yang kedua mengetahui penyerahan aqad Khilafah kepada orang yang pertama atau tidak;  sama saja apakah mereka berada di satu negeri atau lebih; sama saja apakah mereka berada di negeri imam yang terpisah atau tidak.  Ini adalah pendapat yang benar yang dipegang teguh oleh jumhur ulama.  Dinyatakan, “Khilafah diberikan kepada orang yang dibai’at di negeri imam, bukan yang lain.  Dan dinyatakan pula, “Diundi di antara keduanya.   Beliau (Imam Nawawiy) menyatakan, “Keduanya adalah pendapat fasid.  Imam Qurthubiy berkata, “Di dalam hadits ini menjelaskan hukum bai’at pertama, dan bahwasanya seseorang wajib memenuhi bai’at pertama dan berdiam diri terhadap bai’at yang kedua”.  Di dalam hadits ‘Urfajah yang terdapat di dalam Shahih Muslim disebutkan, “Pukullah leher yang lain (orang kedua yang dibai’at setelah pembai’atan seorang Khalifah)”.[Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Baariy, Juz 10, hal. 255]

Imam Badruddin al-‘Ainiy al-Hanafiy dalam Kitab ‘Umdat al-Qaariy menyatakan:

قوله بيعة الأول فالأول معناه إذا بويع لخليفة بعد خليفة فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها وبيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها سواء عقدوا للثاني عالمين بعقد الأول أو جاهلين وسواء كانا في بلدين أو أكثر وسواء كان أحدهما في بلد الإمام المنفصل أم لا

“Adapun sabdanya [bai’at al-awwal fa al-awwal], maknanya adalah jika dibai’at seorang Khalifah setelah dibai’atnya seorang Khalifah, maka bai’at pertamalah yang sah yang wajib dipenuhi.  Sedangkan bai’at kedua batal, haram memenuhinya.  Sama saja apakah orang-orang yang membai’at orang yang kedua itu telah mengetahui pembai’atan orang yang pertama atau tidak tahu.  Sama saja, apakah kedua Khalifah itu berada di dua negeri atau lebih, atau salah satu Khalifah itu berada di negeri Imam (Khalifah) secara terpisah atau tidak terpisah”.[Imam Badruddin al-‘Ainiy al-Hanafiy, ‘Umdat al-Qaariy Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 23, hal. 454]

Di dalam Kitab Faidl al-Qadir Syarah al-Jaami’ al-Shaghiir dinyatakan:

إشارة إلى أن الإمام الأعظم لا يكون في الأرض كلها إلا واحدا ولهذا قال في حديث آخر : إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما

“Ini adalah isyarat bahwasanya Imam al-A’dzam tidak boleh ada di seluruh muka bumi kecuali seorang saja.  Oleh karena itu, beliau saw bersabda di dalam hadits lain, “Jika dibai’at dua orang Khalifah, bunuhlah yang terakhir (yang kedua) dari keduanya”.[Imam ‘Abdu al-Ra’uf al-Munawiy, Faidl al-Qadir, Juz 1, hal. 441]

Imam Abu Zakariya An Nawawiy menyatakan:

قوله صلى الله عليه وسلم : ( فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر ) معناه : ادفعوا الثاني , فإنه خارج على الإمام , فإن لم يندفع إلا بحرب وقتال فقاتلوه.

“ Sabda Nabi saw [fa in jaa`a akharu yunaazi’uhu fadlribuu ‘unuqa al-akhari: jika yang lain dating menyelesihinya, maka penggallah leher yang lain itu], maknanya adalah: tolaklah yang kedua.  Sesungguhnya ia (pemimpin kedua) telah khuruj (membangkang) dari imam.  Jika penolakan itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan perang atau pembunuhan , maka perangilah dia”. [Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 3431]

Imam Al Hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri:

واتفقوا أن   الامامة  فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد …

“…Meraka (para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya imam itu merupakan  suatu keharusan, kecuali An Najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…” [Imam Al Hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124]

Di dalam riwayat-riwayat shahih dituturkan, Nabi saw memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi siapa saja yang membangkang dan merebut kekuasaan dari Khalifah yang telah dibai’at oleh kaum Muslim secara sah.  Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Nabi saw bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

“Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya jika ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya (kekuasaan itu) maka penggallah leher orang itu.” [HR. Imam Muslim].

Imam Muslim juga mengetengahkan sebuah riwayat, Nabi saw bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” [HR. Imam Muslim].

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Imam Muslim].

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwasanya kepala negara Daulah Khilafah Islamiyyah, yakni Khalifah, harus satu untuk seluruh kaum Muslim di dunia.  Tidak ada dua pemimpin, atau lebih, dalam Khilafah Islamiyyah, baik wilayahnya sempit maupun luas.

Inilah karakteristik Amirul Mukminin atau Khalifah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir dalam agenda dakwah syariah dan Khilafahnya.  Lantas, setelah penjelasan ini, masihkah ada orang yang ragu untuk menghimpunkan diri dalam barisan dakwah Khilafah Islamiyyah bersama Hizbut Tahrir?

Karakteristik Ketiga: Daulah Khilafah Islamiyyah Adalah Negara Yang Tegak Di Atas ‘Aqidah Islam dan Menjadikan Syariat Islam Sebagai Satu-satunya Aturan Untuk Mengatur Urusan Negara dan Rakyat

Daulah Khilafah Islamiyyah adalah negara yang tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah.  ‘Aqidah Islamiyyah adalah dasar negara, dan asas hukum dan perundang-undangan.  Syariat Islam adalah satu-satunya aturan yang diadopsi untuk mengatur urusan negara dan masyarakat.

Imam Nawawiy menyatakan:

الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها, لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها.قلت تولي الإمامة فرض كفاية فإن لم يكن من يصلح إلا وأحد تعين عليه ولزمه طلبها إن لم يبتدئوه والله أعلم.

“Pasal kedua mengenai wajibnya imamah (kepemimpinan) dan penjelasan jalan menuju imamah.  Sudah menjadi keharusan bagi umat adanya seorang imam yang menegakkan agama, menolong sunnah, menolong orang-orang yang didzalimi, memenuhi hak dan menempatkannya sesuai dengan tempatnya.  Saya katakan, bahwa menegakkan imamah adalah fardlu kifayah.  Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu orang, maka imamah wajib diserahkan kepadanya, dan wajib baginya menuntut Imamah, meskipun mereka tidak memintanya terlebih dahulu. Allah yang lebih mengetahui. [Imam An Nawawiy, Raudlat al-Thaalibiin wa ‘Umdat al-Muftiin, Juz 3/433].”

Imam Al-Mawardiy mengatakan:

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia.” [Imam Al Mawardi, Ali bin Muhammad, Al-Ahkaam Al Sulthaniyyah, hal 5]

Syeikh Musthafa Shabari, Syeikhul Islam Khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:

الخلافة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به من شريعة الاسلام

“Khilafah itu adalah penganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang melalui beliau saw”.

‘Allamah al-Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy rahimahullah mengatakan:

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وهي عينها الإمامة، فالإمامة والخلافة بمعنى واحد.

“Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru alam.  Al-Khilafah substansinya sama dengan al-Imamah.  Imamah dan Khilafah memiliki makna yang sama”.[‘Allamah al-Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy, Al-Khilafah,  hal. 1]

Di dalam riwayat-riwayat shahih dituturkan mengenai bolehnya memerangi penguasa yang terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah sendi dan syariat Islam.   Riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa negara Khilafah harus tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah, dan untuk menjaga kelangsungannya,  kaum Muslim diperintahkan memerangi penguasa yang mengubah sendi-sendi Islam, Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan datang  para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa  saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Imam Nawawi, dalam Kitab Syarah Shahih Muslim menyatakan:

“قوله صلى الله عليه وسلم : ( ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف فقد برئ ومن أنكر سلم , ولكن من رضي وتابع , قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . . . ما صلوا ” هذا الحديث فيه معجزة ظاهرة بالإخبار بالمستقبل , ووقع ذلك كما أخبر صلى الله عليه وسلم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فمن عرف فقد برئ ) وفي الرواية التي بعدها : ( فمن كره فقد برئ ) فأما رواية من روى ( فمن كره فقد برئ ) فظاهرة , ومعناه : من كره ذلك المنكر فقد برئ من إثمه وعقوبته , وهذا في حق من لا يستطيع إنكاره بيده لا لسانه فليكرهه بقلبه , وليبرأ . وأما من روى ( فمن عرف فقد برئ ) فمعناه – والله أعلم – فمن عرف المنكر ولم يشتبه عليه ; فقد صارت له طريق إلى البراءة من إثمه وعقوبته بأن يغيره بيديه أو بلسانه , فإن عجز فليكرهه بقلبه . وقوله صلى الله عليه وسلم : ( ولكن من رضي وتابع ) معناه : لكن الإثم والعقوبة على من رضي وتابع . وفيه : دليل على أن من عجز عن إزالة المنكر لا يأثم بمجرد السكوت . بل إنما يأثم بالرضى به , أو بألا يكرهه بقلبه أو بالمتابعة عليه . وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .

“Sabda Nabi saw, “(Satukuunu umaraaun fa ta’rifuuna wa tunkiruun faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radliya wa taaba’a, qaaluu: afalaa nuqaatiluhum? Qaala : Laa…ma shalluu)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw.  Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a).  Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya.  Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati.  Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui–, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya.  Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya.  Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radliya wa taaba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti.   Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukut (mengingkari kemungkaran dengan diam).  Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika  tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya.  Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalaa nuqaatiluhum? Qaala ” Laa, maa shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para Khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka  tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.[3]

Imam Abu Zakariya An Nawawiy Asy Syafi’iy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan;

قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر , وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل , قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها , ….. قال القاضي : فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك.

Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir.  Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan.  Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.[4]

Uraian di atas menunjukkan bahwa Khilafah Islamiyyah adalah negara yang tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah, dan menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur urusan masyarakat dan negara.  Di antara bukti yang menunjukkan negara Khilafah adalah negara yang bersendikan  ‘aqidah Islamiyyah adalah perintah untuk memakzulkan dan atau memerangi penguasa yang hendak mengubah ‘aqidah Islam dan syariat sebagai asas dan aturan negara.

Karakteristik Keempat: Memiliki Struktur Pemerintahan Yang Khas

Khilafah Islamiyyah merupakan sistem pemerintahan yang memiliki struktur khas, yang berbeda dengan sistem pemerintahan lain.  Di dalam riwayat-riwayat shahih, Nabi saw telah mewariskan struktur tersebut ke para shahabat, begitu seterusnya hingga Kekhilafahan terakhir.  Imam Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Abu Hazim berkata:

قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ ». قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ « فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ ».

“Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW.  Yang bersabda: “Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi.  Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain.  Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja.”  Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim]

‘Allamah Asy Syaikh Imam Taqiyyuddin An Nabhani di dalam Kitab Nidhaam al-Islaam menjelaskan:

وأمَّا بالنسبةِ لنظامِ الحكمِ فإنَّ جهازَ الدولةِ في الإسلامِ يقومُ على سبعةِ أركانٍ هيَ : الخليفةُ وهوَ رئيسُ الدولةِ، والمُعَاوِنُونَ لَهُ في الحُكْمِ، والوُلاةُ، والقُضَاةُ، والجَيْشُ، والجِهازُ الإدارِيُّ، ومَجْلِسُ الشُورَى، وهذا الجهازُ كانَ موجوداً، فإنَّ المسلمينَ لمْ يَمُرَّ عليهمْ زَمَنٌ لمْ يكنْ لهمْ فيهِ خليفةٌ، إلاَّ بعدَ أنْ أزالَ الكافِرُ المستعمرُ الخلافةَ على يدِ كمالٍ أتاتورك سنةَ 1342 هجريَّةً و1924 ميلاديَّةً . أمَّا قبلَ ذلكَ فقدْ كانَ خليفةُ المسلمينَ دائِمِيَّاً لا يذهبُ خليفةٌ إلاَّ وقدْ أتَى بعدَهُ خليفةٌ، حتَّى في أشدِّ عصورِ الهبوطِ. ومتى وُجِدَ الخليفةُ فقد وُجِدَتِ الدولةُ الإسلاميَّةُ، لأنَّ الدولةَ الإسلاميَّةَ هيَ الخليفةُ، وأمَّا المُعَاوِنُونَ فقدْ كانوا كذلك موجودينَ في جميعِ العصورِ، وكانوا معاونينَ مُنَفِّذِينَ ولَيْسُوا وُزَرَاءَ، وإنَّهمْ وإنْ أُطْلِقَ عليهمْ في عصرِ العبَّاسيِّينَ لقبُ وزراءَ ولكِنَّهُمْ كانوا معاونينَ. ولمْ تكنْ لهمْ صِفَةُ الوِزَارَةِ الموجودةِ في الحكمِ الديمقراطيِّ مطلقاً، بلْ كانوا معاونينَ، وهيئَةً تَنْفِيذِيَّةً فقطْ، والصلاحِيَّاتُ كلُّهَا للخليفةِ. وأمَّا الولاةُ والقضاةُ والجِهازُ الإدارِيُّ فَإِنَّ وُجُودَهَا ثابتٌ. والكافرُ المستعمِرُ حينَ اسْتَلَمَ البلادَ كانتْ أمورُهَا سائِرَةً، وفيها الولاةُ والقضاةُ والجهازُ الإداريُّ ممَّا لا يحتاجُ لدليلٍ. وأمَّا الجيشُ فإنَّهُ كانَ جيشاً إسلامِيَّاً، وكانَ العالمُ يَتَرَكَّزُ في ذهنِهِ أنَّ الجيشَ الإسلاميَّ لا يُغْلَبُ، وأمَّا مجلسُ الشُورَى فإنَّهُ بعدَ الخلفاءِ الراشدينَ لمْ يُعْنَ بوجودِهِ، والسببُ في ذلكَ أنَّ الشورى ليستْ قاعدةً منْ قواعدِ الحكمِ، وإنْ كانتْ منْ جهازِ الدولةِ، وإنِّمَا هيَ حقٌ منْ حقوقِ الرَعِيَّةِ على الراعي، فإنْ لمْ يفعلْ بها يكنْ قدْ صَّرَ، ولكنَّ الحكمَ يبقى حكماً إسلاميَّاً، وذلكَ لأنَّ الشورى هيَ لأخذِ الرأيِ وليستْ للحكمِ، بخلافِهَا في مجالِسِ النُوَّابِ الديمقراطيَّةِ. ومِنْ هذا يتبيَّنُ أنَّ نظامَ الحكمِ كانَ مُطبَّقاً في الإسلامِ.

“Adapun jika dinisbahkan kepada sistem pemerintahan, jelas sekali bahwa struktur negara di dalam Islam terdiri dari tujuh bagian, yaitu: (1)      Khalifah, sebagai kepala negara, (2) para mu’awin Khalifah dalam pemerintahan, (3) Amirul Jihad, (4) Wali  (gubernur), (5) Qadla (pengadilan), (6) Struktur Administrasi Negara, dan (7) Majlis Ummat.  Struktur ini pernah ada. Kaum Muslim belum pernah melewati zaman, melainkan di tengah-tengah mereka ada seorang Khalifah, kecuali setelah para penjajah kafir melenyapkan sistem Khilafah melalui tangan Mustafa Kamal Ataturk pada tahun 1342 H (1924 M). Sebelum itu, kaum Muslim selalu dipimpin oleh seorang Khalifah. Belum pernah terjadi kekosongan seorang Khalifah tanpa disertai pengangkatan Khalifah lain sebagai penggantinya, bahkan pada masa-masa kemundurannya sekalipun.  Apabila seorang Khalifah diangkat, maka saat itu terbentuk Daulah Islamiyah. Sebab, Daulah Islamiyah itu adalah Khalifah. Adapun para Mu’awin, mereka selalu ada di setiap masa. Kedudukan mereka sebagai para pembantu pelaksana, dan mereka bukanlah wuzaraa (para menteri).  Walaupun mereka dijuluki dengan julukan wazir pada masa Dinasti ‘Abbasiyah, tetapi mereka adalah para pembantu (mu’awwin).  Mereka tidak memiliki sifat-sifat perdana menteri (wazir) seperti yang ada dalam sistem demokrasi.  Mereka adalah para pembantu dan badan pelaksana saja, sedangkan seluruh wenangan  ada di tangan Khalifah. Adapun para Wali, Qadli, dan Aparat Administrasi Negara, jelas sekali bahwa eksistensi mereka selalu ada.  Pada saat para penjajah kafir menduduki negeri-negeri Islam, urusan pemerintahan masih berlangsung dan dijalankan oleh para Wali, Qadli dan aparat administrasi negara, sehingga keberadaan mereka tidak perlu pembuktian lagi.   Akan halnya al-jaisy (pasukan perang), ia adalah pasukan Islam, yang saat itu berkembang opini umum di seluruh dunia bahwa pasukan Islam adalah pasukan yang tidak terkalahkan.    Tentang Majlis Ummat, aktivitasnya sepeninggal masa Khulafaur Rasyidin tidak lagi tampak. Sebab, sekalipun termasuk salah satu struktur pemerintahan, tetapi Majelis Umat bukan termasuk bagian dari pilar pemerintahan. Syura merupakan salah satu hak rakyat terhadap para penguasa. Apabila penguasa tidak meminta pendapat dari rakyat (dalam berbagai urusan), berarti penguasa itu telah melakukan suatu kelalaian. Meskipun demikian pemerintahan itu tetap merupakan pemerintahan Islam. Sebab, syura adalah pengambilan pendapat, bukan untuk menetapkan hukum. Berbeda dengan peranan parlemen (Majelis Rakyat) pada sistem demokrasi. Dari sini tampak jelas bahwa sistem pemerintahan Islam telah diterapkan di dalam Islam”.[Asy Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhaniy, Nidhaam al-Islaam, hal. 63-64. Maktabah Syamilah]

Untuk memperjelas struktur negara Khilafah yang dijelaskan Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, berikut ini adalah riwayat-riwayat shahih yang menuturkan eksistensi struktur yang menjadi pilar Daulah Khilafah; sekaligus menjadi bukti tak terbantahkan bahwa sistem Khilafah yang didakwahkan Hizbut Tahrir merupakan sistem pemerintahan Islam yang juga dipraktekkan sejak era Nabi saw dan para shahabat.  Siapa saja yang menolaknya, sama artinya telah menolak ketetapan yang termaktub dalam nash-nash qath’iy.

Pertama, Khalifah, Amirul Mukminin, atau Imam.  Di dalam riwayat-riwayat shahih, di antaranya telah mencapai derajat mutawatir, dituturkan keberadaan Khalifah, Amirul Mukminin, atau Imam, nama, kebijakan, dan sifat-sifat mereka.  Kaum Muslim mengenal keberadaan Khulafaur Rasyidin yang empat, yakni Khalifah Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib ra.  Tidak hanya itu saja, mereka juga kenal Khalifah Hasan bin Ali, Mu’awiyyah, Mu’tashim, dan lain sebagainya.   Kaum Muslim juga mengetahui beberapa kebijakan di masa Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khaththab ra, dan para Khalifah setelahnya.  Kaum Muslim di masa Abu Bakar ra, kaum Muslim melaksanakan sholat tarawih sendiri-sendiri, atau berjama’ah dalam kelompok terpisah-terpisah.  Pada masa Kekhalifahan ‘Umar ra, ‘Umar ra memerintahkan kaum Muslim untuk sholat tarawih secara berjama’ah dipimpin oleh seorang imam.  Tidak hanya itu saja, beliau juga berkirim surat kepada para wali agar mereka melaksanakan sholat tarawih berjama’ah di masjid.  Peristiwa ini terjadi pada tahun 14 Hijriyyah.   Beliau menunjuk Ubay bin Ka’ab ra untuk mengimami jama’ah laki-laki.  Untuk jama’ah wanita, beliau menunjuk Sulaiman bin Hatsmah ra. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’, Juz 3/528]

Dituturkan pula dari Al-Saaib bin Abiy Yazid ra, bahwasanya beliau juga menetapkan secara bergiliran bagi imam, berapa raka’at sholat dan berapa jumlah ayat yang dibaca.  Umar bin Khaththab ra memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Daariy untuk memimpin sholat jama’ah sebanyak 11 raka’at.  Al-Saib bin Abiy Yazid berkata, “Imam membaca hingga 200 ayat, sampai-sampai kami bersandar di atas tongkat karena begitu lamanya berdiri.  Kami tidak beranjak dari masjid, kecuali sudah hampir fajar”.[al-Muwatha’, juz 1/115]

Imam Muslim menuturkan dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya beliau berkata:

كَانَ اَلطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ ( وَأَبِي بَكْرٍ , وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ , طَلَاقُ اَلثَّلَاثِ وَاحِدَةٌ , فَقَالَ عُمَرُ بْنُ اَلْخَطَّابِ : إِنَّ اَلنَّاسَ قَدْ اِسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ , فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ ? فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ } . رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Thalaq pada masa Rasulullah saw dan Abu Bakar dan dua tahun dari Kekhilafahan ‘Umar, thalaq tiga ditetapkan sebagai thalaq satu.  ‘Umar bin Khaththab ra berkata, “Sesungguhnya manusia terburu-buru dalam suatu urusan yang bagi mereka ada kesabaran di dalamnya. Seandainya kami memutuskannya untuk mereka? Maka beliau memutuskan untuk mereka”. [HR. Imam Muslim.]  Hadits ini menjelaskan bahwasanya di masa Nabi saw, Kekhilafahan Abu Bakar, dan dua tahun masa Kekhilafahan ‘Umar bin al-Khaththab ra, orang yang menjatuhkan thalaq tiga sekaligus ditetapkan sebagai satu kali thalaq.  Lalu, ‘Umar memutuskan orang yang menjatuhkan thalaq tiga sekaligus, dihitung sebagai thalaq tiga.

Imam Muslim menuturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ

“Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menta’atinya jika ia mampu.  Apabila ada orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu”.[HR. Imam Muslim]

Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, dari Sa’id al-Khudriy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Jika dibai’at dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”[HR. Imam Muslim]

Sejarah mutawatir membuktikan bahwasanya hingga tahun 1924 Masehi, kaum Muslim hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyah dan dipimpin seorang Khalifah yang wajib ditaati. Dalam sejarahnya, kaum Muslim pernah diperintah oleh 104 khalifah.  Mereka adalah 5 khalifah dari khulafaur rasyidin, 14 khalifah dari Dinasti Umayyah, 18 khalifah dari Dinasti ‘Abbasiyyah, diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah, dari Bani Seljuk 11 orang khalifah, dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke Kairo, yang kemudian dilanjutkan oleh 18 orang khalifah.  Setelah itu Khilafah berpindah kepada Bani ‘Utsman.  Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah dari khalifah-khalifah ‘Utsmaniyyah.   Sejarah ini begitu terang benderang, sehingga tak mungkin dihapus maupun diingkari.  Mengapa sistem Khilafah dipertahankan hingga tahun tersebut?  Jawabnya adalah karena kaum Muslim memahami bahwasanya mendirikan dan mempertahankan sistem Khilafah termasuk kewajiban dalam agama Islam.

Kedua, Mu’awwin (Pembantu Khalifah).  Mu’awwin adalah pembantu Khalifah dalam urusan pemerintahan.  Mu’awwin ada dua macam; mu’awwin tafwiidl dan mu’awwin tanfiidz. Di dalam Kitab al-Taraatiib al-Idaariyyah, Asy Syaikh al-Kattaniy menyatakan:

قال القاضي أبو بكر بن العربي في أحكام القرآن الوزارة عبارة عن رجل موثوق به في دينه وعقله يشاوره الخليفة فيما يعن له من الأمور . وقد صرح ابن العربي في سراج المريدين والأحكام بتحسين حديث فيه أن أبا بكر وعمر وزراء النبي صلى الله عليه وسلم من أهل الأرض

“Al Qadliy Abu Bakar Ibnu al-‘Arabiy, di dalam Kitab Ahkaam al-Quran, mengatakan bahwa al-Wuzarah (mu’awwin) adalah ungkapan dari seorang laki-laki yang dipercaya agama dan akalnya, yang Khalifah selalu bermusyawarah dengannya dalam urusan-urusan yang diperbantukan kepadanya”.  Ibnu al-‘Arabiy menegaskan di dalam Kitab Siraah al-Muridiin wa al-Ahkaam, hasannya hadits yang menuturkan bahwasanya Abu Bakar dan ‘Umar adalah pembantu Nabi saw di muka bumi”.[Asy Syaikh ‘Abd al-Hayy al-Kattaniy, al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/17]

Keberadaan mu’awwin juga dituturkan dalam riwayat-riwayat shahih. Di dalam sebuah hadits dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda:

ما من نبي إلا له وزيران من أهل السماء ووزيران من أهل الأرض فأما وزيراي من أهل السماء فجبريل وميكائيل وأما وزيري من أهل الأرض فأبو بكر و عمر

”Tidaklah seorang Nabi kecuali memiliki dua orang pembantu dari penduduk langit dan dua pembantu dari penduduk bumi.  Dua orang pembantuku (waziiraaya) dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail as, dan dua pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ’Umar. [HR. Imam Tirmidziy.  Beliau menyatakan hadits ini hasan gharib]  Kata waziir di sini bermakna mu’awwin (pembantu); berbeda dan tidak berhubungan sama sekali dengan kata waziir yang bermakna perdana menteri dalam sistem demokrasi.  Sebutan “wazir” di era Kekhilafahan ‘Abbasiyyah, pada dasarnya adalah mu’awwin.

Di dalam Kitab al-Taraatiib al-Idaariyyah disebutkan:

وأخرج الحاكم عن ابن المسيب قال كان أبو بكر من النبي صلى الله عليه وسلم مكان الوزير فكان يشاوره في جميع أموره وكان ثانيه في الإسلام وثانيه في الغار وثانيه في العريش يوم بدر وثانيه في القبر ولم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم يقدم عليه أحدا وقد جاء ذكر الوزير في كثير من الأحاديث أخرج النساءي عن عائشة رضي الله عهنا قالت قال النبي صلى الله عليه وسلم من ولي منكم عملا فأراد به خيرا جعل له وزيرا صالحا فإن نسي ذكره وإن ذكره أعانه

“Imam Al-Hakim mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Musayyab, bahwasanya ia berkata, “Kedudukan Abu Bakar dari sisi Nabi saw adalah waziir (pembantu).  Nabi saw selalu bermusyawarah dengannya dalam seluruh urusan beliau saw. Abu Bakar adalah orang kedua Nabi saw di dalam Islam, di dalam gua, di dalam kemah saat perang Badar, dan di dalam kubur.  Nabi saw tidak pernah mendahulukan seorang pun di atas beliau ra.   Penyebutan “wazir” terdapat dalam banyak hadits. Imam Nasaaiy mengeluarkan sebuah riwayat dari ‘Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata, “Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang mengangkat di antara kalian seorang amil, dan Allah berkehendak kebaikan dengannya, maka ia akan diberi seorang wazir (pembantu_ yang shaleh.  Jika dirinya lupa, ia mengingatkan, dan jika telah ingat maka ia membantunya”. [Al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/17-dan seterusnya]

Ketiga, Para Wali (Wulaat).  Dituturkan di dalam riwayat-riwayat shahih, bahwasanya Nabi saw mengangkat para wali untuk wilayah-wilayah tertentu. Baliau juga pernah mengangkat wali (semacam pimpinan daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para amil (semacam pimpinan daerah tingkat II) untuk beberapa negeri.  Beliau pernah menunjuk Utab bin Usaid untuk menjadi wali di Mekah setelah kota itu ditaklukkan.[Syaikh ‘Abd al-Hayy al-Kattaaniy, al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/240].

Setelah masuk Islam, Badzan bin Sasan diangkat menjadi wali di Yaman.  Al-Tsa`labiy menyatakan bahwasanya Badam (Badzan bin Sasan) adalah raja non Arab yang pertama kali masuk Islam dan pertama kali menjadi wali (amir) di Yaman. Setelah beliau meninggal, Nabi saw mengangkat puteranya, Syahr bin Badzan menjadi wali di Shana’aa`. [Syaikh ‘Abd al-Hayy al-Kattaaniy, al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/241].

Beliau juga pernah mengangkat Mu’ad bin Jabal al-Khazraji untuk menjadi wali di Janad. Di dalam Kitab al-Siirah al-Syaamiyyah, dituturkan bahwasanya Nabi saw mengangkat Khalid bin Walid menjadi ‘amil di Shun’a’, Mughirah bin Abiy Umayyah al-Makhzumiy sebagai wali Kindah, Ziyad bin Labib menjadi wali di Hadlramaut, Abu Musa al-Asy’ariy sebagai wali di Zabid, ‘Adn, dan Rii` al-Saahil, Mu’adz bin Jabal ra menjadi wali di Janad, Abu Sufyan sebagai wali di Najran, dan Abu Zaid bin Sufyan menjadi wali di tempat lain.  [Syaikh ‘Abd al-Hayy al-Kattaaniy, al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/245].

Di dalam Alfiyah-nya al-Hafidh al-‘Iraqiy dituturkan bahwasanya ‘Amr bin al-‘Ash di Oman. [Syaikh ‘Abd al-Hayy al-Kattaaniy, al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/245].

Nabi saw mengangkat Mu’adz bin Jabal sebagai wali di Yaman.  Imam Baihaqi, Ahmad, dan Abu Dawud telah meriwayatkan dari Mu’adz; bahwa ketika beliau mengirim Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya kepadanya, ”

بما تقضي ؟ قال : بكتاب الله . قال : فإن لم تجد في كتاب الله ؟ قال : فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم . قال : فإن لم يكن ؟ قال : اجتهد . قال : الحمد لله الذي وفق رسول رسوله.

“Dengan apa engkau memutuskan?  Mu’adz menjawab, ”Dengan Kitabullah”. Nabi bertanya, ”Jika engkau tidak mendapati di dalam Kitabullah?  Mu’adz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah saw”. Nabi saw bertanya lagi, ”Jika tidak ada di dalam sunnah? Mu’adz menjawab, ”Saya akan berijtihad”. Nabi saw bersabda, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah”.

Ibnu Sa’ad dalam Kitab Ath Thabaqat al-Kubra, telah meriwayatkan dari Mohammad bin ’Umar ra:

وكان رسول الله، صلى الله عليه وسلم، قد كتب إلى العلاء بن الحضرمي أن يقدم عليه بعشرين رجلا من عبد القيس فقدم عليهم منهم بعشرين رجلا رأسهم عبد الله بن عوف الأشج، واستخلف العلاء على البحرين المنذر بن ساوى فشكا الوفد العلاء بن الحضرمي فعزله رسول الله، صلى الله عليه وسلم، وولى أبان بن سعيد بن العاص وقال له: استوص بعبد القيس خيرا وأكرم سراتهم.

“Rasulullah saw menulis surat kepada al-‘Ila’ bin al-Hadlramiy agar ia menghadap Nabi saw dengan membawa 20 orang laki-laki dari Bani ‘Abd al-Qais.  Ia pun menghadap dengan disertai 20 orang laki-laki yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin ‘Auf al-Asysyaj.  Lalu, Beliau saw mengangkat al-‘Ila’ al-Hadlramiy menjadi wali di Bahrain menggantikan al-Mundzir bin Sawiy.  Utusan itu mengadukan al-‘Ila’ bin al-Hadlramiy.  Rasulullah saw segera mengganti al-‘Ila’ al-Hadlramiy, dan mengangkat Aban bin Sa’id al-‘Ash sebagai wali di sana, seraya berpesan, “Mintalah nasehat kebaikan kepada ‘Abd al-Qais, dan mulyakan pembesar-pembesar mereka”.[Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat al-Kubra, bab al-‘Ilaa` al-Hadlramiy]

Dalam keadaan tertentu Rasulullah saw mengirim utusan khusus untuk mengurusi masalah harta.  Setiap tahun Rasul selalu mengutus ‘Abdullah bin Rawahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka.  Dalam kitab al-Muwatha’ dinyatakan:

فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللهِ بْنِ رَوَاحَةَ فَيَخْرِصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ ثُمَّ يَقُوْلُ اِنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ وَاِنْ شِئْتُمْ فَلِيْ فَكاَنُوْا يَأْخُذُوْنَهُ

“Bahwa Nabi saw pernah mengirim ‘Abdullah bin Rawahah untuk memungut (kharaj) (dari Yahudi Khaibar). Lalu, ‘Abdullah bin Rawahah menaksir bagiannya dan bagian mereka.  Beliau berkata, “Bila kalian mau, maka ini  menjadi milik kalian.  Dan bila kalian mau, maka ini menjadi milikku.  Mereka kemudian mengambilnya.”[HR Imam Malik, Al-Muwatha’]

Dari Salman bin Yasar  menyatakan:

فجمعوا حليا من حلي نسائهم فقالوا: هذا لك وخفف عنا وتجاوز في القسمة فقال : يا معشر اليهود والله إنكم لمن أبغض خلق الله إلي وما ذاك بحاملي أن أحيف عليكم أما الذي عرضتم من الرشوة فإنها سحت وإنا لا نأكلها قالوا : بهذا قامت السموات والأرض  قال محمد : وبهذا نأخذ . لا بأس  بمعاملة النخل على الشطر والثلث والربع وبمزارعة الأرض البيضاء على الشطر والثلث والربع وكان أبو حنيفة يكره ذلك ويذكر أن ذلك هو المخابرة التي نهى عنها رسول الله صلى الله عليه و سلم

“Mereka mengumpulkan perhiasan dari perhiasan-perhiasan isteri mereka.  Mereka berkata, “Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah (pungutan) yang menjadi beban kami.  Dan bagilah secara merata.  ‘Abdullah bin Rawahah kemudian menjawab. ” Hai orang-orang Yahudi, (dengarkanlah).  Bagiku, kalian adalah makhluk yang paling dimurkai Allah.  Aku tidak akan membawanya dengan harapan aku akan memperingan (pungutan) yang telah menjadi kewajiban kalian.  Suap yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan “suht” (barang haram).  Dan sungguh kami tidak akan memakannya.  Mereka kemudian berkomentar, ” Karena sikap semacam inilah, maka langit dan bumi ini akan tetap tegak. “[HR. Imam Malik, al-Muwatha’]

Rasulullah saw selalu mencari tahu tentang keadaan para wali dan amil beliau.  Beliau juga memperhatikan informasi-informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau.  Beliau pernah memberhentikan Ila’ bin al-Hadrami dari jabatannya sebagai amil beliau di Bahrain, karena ada utusan dari Abd al-Qais yang mengadukannya kepada Nabi saw.  Ibnu Sa’ad mengatakan, “Kami telah diberitahu oleh Mohammad bin ‘Umar yang mengatakan, “Saya telah diberitahu ..dari Amru bin Auf, wakil bani Amir bin Luayyi, bahwa Rasulullah saw telah mengirim Ila’ bin al-Hadhrami ke Bahrain, kemudian memberhentikannya dari Bahrain.  Lalu beliau mengirim Abban bin Sa’id sebagai Amil di sana.  Mohammad bin ‘Umar mengatakan, “Rasulullah saw telah menulis surat kepada Ila’ bin al-Hadhrami agar mengirimkan dua puluh orang kepada beliau”.  Maka ia pun mengirimkan dua puluh orang kepada beliau.  Mereka dipimpin oleh ‘Abdullah bin Auf al-Asyaj.  Kedudukan Ila’ di Bahrain (ketika itu) kemudian digantikan oleh Mundzir bin Saawi.  Delegasi tersebut mengadukan Ila’ bin al-Hadhrami.  Maka Rasulullah saw  pun memberhentikannya, dan mengangkat Abban bin Sa’id al-‘Ash.  Dan beliau bersabda kepadanya,” Mintalah nasehat kepada Abd al-Qais, dan muliakanlah bangsawannya.” Dan Nabi saw pun selalu memenuhi kritik yang ditujukan kepada Amil beliau.  Beliau juga selalu mengontrol anggaran dan pengeluaran mereka.”

Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hamid al-Saa’idiy, “Bahwa Rasulullah saw telah mengangkat Ibnu Luthiyah sebagai Amil untuk mengurusi zakat Bani Sulaim, maka tatkala ia datang di hadapan Rasulullah saw dan beliau menanyainya, dia berkata, “Ini untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini merupakan hadiah yang telah dihadiahkan kepadaku.” Beliau saw bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk di rumah bapak dan rumah ibumu sampai hadiahmu datang sendiri kepadamu, jika engkau memang jujur.” Rasulullah saw kemudian berdiri dan berkhutbah di hadapan orang, memuji Allah dan mengagungkanNya, lalu bersabda, “‘Amma ba’du.  Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian sebagai Amil untuk mengurusi urusan-urusan yang telah diserahkan oleh Allah kepadaku (agar diurusi).  Kemudian salah seorang diantara kalian itu datang dan mengatakan, “Ini untukmu, dan ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepadaku.  Apakah tidak sebaiknya dia duduk saja di rumah ayah dan rumah ibunya sampai hadiah itu datang sendiri kepadanya, jika dia memang jujur.  Demi Allah, salah seorang diantara kalian tidak boleh mengambil harta tersebut dengan cara yang tidak benar, kecuali kelak pada hari kiamat, dia pasti akan menghadap Allah dengan memikulnya.  Ketahuilah, pasti akan aku saksikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, seorang dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang bersuara, atau kambing yang bersuara (hewan yang sudah besar).  Orang itu kemudian mengangkat tangannya hingga engkau melihat putihnya kedua ketiaknya.  Ketahuilah apakah aku sudah menyampaikan? Imam Abu Dawud juga telah meriwayatkan  dari Buraidah dari Nabi saw yang bersabda, “Siapa saja yang telah kami angkat sebagai Amil, untuk melaksanakan tugas tertentu, kemudian kami bayar dengan bayaran tertentu, maka harta yang diperoleh di luar itu tidak lain hanyalah harta Ghulul (harta haram).”

Penduduk Yaman juga pernah melaporkan bacaan yang dibaca Mu’adz bin Jabal yang terlalu panjang ketika menjadi imam sholat, maka Nabi segera menegurnya.  Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Abi Mas’ud al-Anshariy yang mengatakan, “Ada seseorang melapor (kepada Rasul), ” Wahai Rasulullah, saya hampir tidak pernah mengikuti sholat (berjama’ah) karena panjangnya (bacaan) fulan yang menjadi imam kami.  Maka saya tidak melihat Nabi saw dalam memberikan nasehat dengan sangat marah melebihi hari itu.  Beliau lalu bersabda, “Wahai manusia kalian harus bergegas (bersama untuk sholat).  Siapa yang menjadi imam sholat orang lain hendaknya memperpendek, sebab di situ juga ada yang sakit, lemah, dan orang yang mempunyai hajat”.  Dalam riwayat Muslim yang lain, dari Jabir dengan menggunakan lafadz, “Wahai Mu’adz, apakah engkau memberikan ujian..”

Keempat, Para Qadliy (Hakim).  Qadliy merupakan struktur negara Khilafah yang bertugas memutuskan perselisihan, menghilangkan kedhaliman, dan memutuskan pelaranggaran terhadap hak-hak umum.

Fakta keberadaan qadliy juga terdapat dalam riwayat-riwayat shahih, bahkan banyak di antaranya mutawatir.   Di masa Kenabian, kadang-kadang Nabi saw memutuskan sendiri perselisihan di tengah-tengah kaum Muslim.   Imam Malik di dalam Al Muwatha`, Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Ummu Salamah ra, bahwasanya beliau saw bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ وَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka.”[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Nabi saw kadang-kadang mengangkat shahabat untuk memberikan keputusan-keputusan yang bersifat mengikat.  Nabi saw pernah mengangkat para qadli untuk memutuskan perkara hukum di tengah-tengah rakyat.  Beliau pernah mengangkat ‘Ali bin Abi Thalib sebagai qadli di Yaman[5]. Dituturkan bahwasanya ‘Abdullah bin Naufal sebagai qadli pertama di Madinah[6] di era Mu’awiyyah[7].  Beliau juga pernah menugaskan Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ariy untuk menjadi qadli di Yaman[8] (Yaman Utara dan Selatan).  Rasul pernah menanyai keduanya, “Dengan apa kalian menghukumi?”  Mereka berdua menjawab, “Jika kami tidak menemukannya di dalam al-Kitab dan al-Sunnah, kami akan mengqiyaskan satu masalah dengan masalah lain.  Mana yang lebih mendekati kepada kebenaran, maka itulah yang akan kami pergunakan.” Dan Nabi pun membenarkannya.   Sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau senantiasa memilih para qadli serta menentukan cara mereka mengambil keputusan.

Imam Al Thabaraniy dalam al-Mu’jam al-Kabiir menuturkan sebuah hadits dari Masruq, bahwasanya beliau berkata:

كَانَ أَصْحَابُ الْقَضَاءِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةٌ : عُمَرُ ، وَعَلِيٌّ ، وَعَبْدُ اللَّهِ ، وَأُبَيٌّ ، وَزَيْدٌ ، وَأَبُو مُوسَى

“Para qadliy dari kalangan sahabat Rasulullah saw adalah enam; ‘Umar, ‘Ali, ‘Abdullah, Ubay, Zaid, dan Abu Musa”.[HR. Imam Al Thabaraniy dalam al-Mu’jam al-Kabiir]

Syaikh al-Kattaniy di dalam al-Taraatiib al-Idaariyyah menyatakan:

ومنهم معاذ بن جبل بعثه النبي صلى الله عليه وسلم كما في الإستيعاب إلى الجند يعلم الناس القرآن وشرائع الإسلام ويقضي بينهم وجعل له قبض الصدقات من العمال الذين باليمن وذلك عام فتح مكة

“Dan di antara mereka (para qadliy) adalah Mu’adz bin Jabal, yang mana Nabi saw pernah mengutusnya ke Janad — sebagaimana disebut dalam Kitab al-Isti’aab—mengajari manusia al-Quran dan syari’at Islam, serta memutuskan perkara yang terjadi di antara mereka, dan Nabi saw memberikan kewenangan menarik zakat dari para amil yang ada di Yaman.  Hal ini terjadi pada tahun penaklukkan kota Mekah”.

Riwayat-riwayat yang menuturkan keberadaan qadliy (hakim) dan juga praktek peradilan di dalam Khilafah Islamiyyah amatlah banyak, hingga tak seorang pun mengingkari keberadaan qadliy sebagai salah satu struktur negara Khilafah Islamiyyah. Selain itu, di dalam kitab-kitab fiqh, hadits, tarikh, dan lain sebagainya dijelaskan secara panjang lebar semua hal yang terkait dengan syarat, kewenangan, tugas, dan gaji untuk para qadliy.

Kelima, Aparat Administrasi Negara.  Nabi saw juga mengatur seluruh kepentingan masyarakat.  Beliau mengangkat para penulis untuk mengatur kepentingan tersebut.  Mereka itu (para penulis) layaknya seperti dirjen sebuah departemen.  Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian, apabila Nabi sedang melakukan perjanjian serta menulis perdamaian, apabila beliau saw melakukan perdamaian. Abu ‘Umar berkata, “Penulis perjanjian-perjanjian Nabi saw, saat beliau saw membuat perjanjian dan perdamaian adalah Ali bin Abi Thalib”.[Al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/123]

Mu’aiqib bin Abi Fathimah mengurusi cincin beliau (yang menjadi stempel negara). Abu Bakar dan ‘Umar mengangkatnya untuk mengurus Baitul Maal. [Imam Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Istia’aab, Juz 1/465.  Lihat pula Imam Nawawiy, Tahdziib al-Asmaa` wa al-Lughaat, Juz 2/135].   Di dalam Kitab Siyar A’laam al-Nubalaa`, dituturkan bahwasanya di masa Khilafah Abu Bakar, Mu’aiqib bin Abi Fathimah diangkat untuk mengurusi fai’ (harta rampasan perang), sedangkan pada masa Umar, beliau diangkat untuk menangani Baitul Mal [Siyar A’laam al-Nubalaa`, Juz 2/491].

Zaid bin Tsabit bertugas menulis surat yang dikirim kepada raja-raja, dan menjawab surat-surat mereka di hadapan Nabi saw dengan bahasa Persia, Romawiy, Qibthiy (Mesir), Habasiy, dan lain sebagainya. [Syaikh ‘Abd al-Hayy al-Kattaaniy, al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/202-203].

Hudzaifah menjadi pencatat taksiran hasil kurma.  [al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/124]. Zubeir bin Awwam menjadi pencatat zakat[9].  Mughirah bin Syu’bah menjadi pencatat hutang-hutang serta transaksi-transaksi mu’amalah.  Surahbil bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. [Al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/124].  Zaid bin Tsabit ra, selain bertugas menulis wahyu, beliau juga bertugas menterjemahkan bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Arab.  Nabi saw memerintahkan beliau untuk mempelajari bahasa asing. [al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/203].  Dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis), yang bertugas mengurus urusan meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.  Ini juga menunjukkan bahwasanya Nabi saw menetapkan struktur administrasi modern di masanya.

Keenam, Majelis Syura. Nabi saw sering bermusyawarah dengan para shahabat beliau.  Beliau tidak pernah lepas dari saran-saran ahli ra’yu (para pemikir) serta orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan dan kelebihan berfikir.  Dimana mereka, memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketaqwaan mereka dalam rangka menyebarkan dakwah Islam.  Mereka berjumlah tujuh dari kaum Anshar dan tujuh lainnya dari kaum Muhajirin. Di antaranya adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, dan ‘Utsman bin ‘Affan.

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari ‘Ali yang mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

لَيْسَ مِنْ نَبِيٍّ كَانَ قَبْلِي إِلا قَدْ أُعْطِيَ سَبْعَةَ نُقَبَاءَ وُزَرَاءَ نُجَبَاءَ ، وَإِنِّي أُعْطِيتُ أَرْبَعَةَ عَشَرَ وَزِيرًا نَقِيبًا نَجِيبًا، سَبْعَةً مِنْ قُرَيْشٍ، وَسَبْعَةً مِنَ الْمُهَاجِرِينَ “

“Tak seorang Nabi pun sebelumku, kecuali diberi tujuh wakil (kaum) dan pembantu yang mulia.  Sedangkan aku telah diberi empat belas waziran naqiban (pembantu yang mewakili) mulia, tujuh dari Quraisy dan tujuh dari Muhajirin.”  [HR. Imam Ahmad].

Beliau juga meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka.  Hanya saja bedanya, frekwensi beliau bermusyawarah dengan mereka lebih intens.  Jadilah mereka layaknya majelis syura.

Keberadaan Majelis Syura juga didasarkan pada perilaku Abu Bakar ra yang memilih orang-orang tertentu untuk memusyawarahkan persoalan-persoalan penting.  Imam Abu Ishaq Al-Syiraziy dalam Kitab Tabaqat al-Fuqahaa` , saat menjelaskan biografi Ustman bin ‘Affan ra, menyatakan:

وكان من كبار الفقهاء رضي الله عنه؛ روى سهل بن أبي خيثمة أنه كان من المفتين على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ وروى عبد الرحمن بن القاسم عن أبيه أن أبا بكر كان إذا نزل به أمر يريد فيه مشاورة أهل الرأي والفقه دعا رجالاً من المهاجرين والأنصار، دعا عمر وعثمان وعلياً وع الرحمن ومعاذ بن جبل وأبي بن كعب وزيد بن ثابت رضي الله عنهم، فمضى أبو بكر على ذلك، ثم ولي عمر فكان يدعو هؤلاء النفر.

“Beliau (‘Ustman bin ‘Affan ra) termasuk pemuka ahli fikih.  Sahal bin Abi Khaitsamah ra meriwayatkan bahwasanya ‘Utsman bin ‘Affan termasuk mufti di masa Rasulullah saw.  ‘Abdurrahman bin al-Qasim meriwayatkan dari bapaknya, bahwa Abu Bakar jika mendapati suatu urusan yang hendak beliau musyawarahkan dengan ahli pendapat dan fikih, beliau memanggil laki-laki Muhajirin dan Anshor.  Beliau memanggil ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit.  Abu Bakar terus melakukan hal itu.  Lalu, setelah ‘Umar diangkat menjadi (Khalifah), beliau juga memanggil mereka.”[Imam Abu Ishaq al Syiraziy, Thabaqaat al-Fuqahaa’, Juz 1/40. Maktabah Syamilah]

Ketujuh, Amirul Jihad, yakni struktur Daulah Khilafah yang mengatur urusan militer dan perang. Nabi saw membangun kekuatan militer sejak berdirinya Daulah Islamiyyah di Madinah.  Beliau juga mengirim pasukan perang untuk melawan negara-negara kafir.   Beliau saw pernah mengirim Hamzah bin ‘Abd al-Muthalib, Muhammad bin ‘Ubaidah bin al-Harits, serta Sa’ad bin Abi Waqqas dalam sebuah detasemen untuk menyerang kaum Quraisy.  Beliau mengirim Zaid bin Haritsah, Ja’fah bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah untuk menyerang bangsa Romawi.  Beliau saw juga mengirim Khalid bin Walid untuk menyerang penduduk Dumat al-Jandal.  Dalam beberapa peperangan, terkadang beliau memimpin sendiri pasukannya secara langsung.  Beliau saw juga terjun langsung dengan pasukannya dalam pertempuran yang dahsyat.

Di dalam Kitab al-Taraatib al-Idaariyyah dituturkan bahwasanya Abu ’Umar bin ’Abd al-Barr di dalam Kitab al-Istii’aab menyatakan bahwa Rasulullah saw mengirim pasukan dan detasemen perang sebanyak 35 kali.  Ulama lain menyatakan jumlahnya mencapai 56 kali, sebagaimana yang dituturkan oleh al-Hafidh al-Dimyathiy.  Dinyatakan pula sebanyak 48 kali, 36 kali. [Al Taraatiib, Juz 1/314]

Dituturkan pula, saat Nabi saw memimpin peperangan, beliau mengangkat ’Abdullah bin Ummi Maktum sebagai pengganti beliau di kota Madinah sebanyak 13 kali, baik pada saat beliau memimpin perang Badar, Tabuk, dan Haji Wada’.  [Al-Taraatiib, Juz 1/314].  Hanya saja, sebagian ahli tarikh menyatakan, sahabat yang menggantikan Nabi saw di kota Madinah, saat perang Tabuk, adalah Mohammad bin Maslamah. [Al Taraatiib, Juz 1/314]

Adapun peperangan-perangan terkenal yang tercatat dalam sejarah adalah Perang Badar Al Kubra, Perang Uhud, Perang Tabuk, Perang Mu’tah, Perang Khandaq, Perang Hunain, dan lain sebagainya.

Fakta di atas menunjukkan bahwasanya struktur negara yang mengatur urusan militer , yang disebut dengan Amirul Jihad, merupakan pilar dari struktur negara Khilafah.

Rasulullah saw telah membangun struktur daulah Islam yang khas yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang ada di muka bumi ini.  Beliau, selain berkedudukan sebagai Nabi dan Rasul, juga berkedudukan sebagai kepada negara.  Beliau membentuk dan mengangkat dua mu’awwin (pembantu), wali, amil, qadli, pasukan, dirjen departemen-departemen, serta majelis syura.  Struktur seperti ini baik bentuk maupun kewenangannya merupakan thariqah (metode) yang wajib diikuti.  Dan semuanya telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.

Rasulullah saw menjalankan tugas sebagai kepala negara semenjak tiba di Madinah hingga beliau wafat.  Adapun Abu Bakar dan ‘Umar ra adalah mu’awin beliau.  Para shahabat sepeninggal beliau saw, berijma’ (sepakat) untuk mengangkat kepala negara yang menjadi penerus Rasulullah saw dalam memimpin negara, bukan sebagai penerus kerasulan dan kenabian.  Sebab, kenabian dan kerasulan telah berakhir pada beliau saja.

Realitas ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw telah membangun struktur negara sempurna di Madinah yang berbeda dengan struktur negara lainnya.  Selanjutnya, beliau mewariskan bentuk pemerintahan  dan struktur negara yang sangat jelas dan gamblang ini kepada umat Islam.  Struktur Khilafah seperti inilah yang diperjuangkan dan didakwahkan Hizbut Tahrir.

Setelah penjelasan ini, masihkah ada orang yang menolak Khilafah yang diusung Hizbut Tahrir, dengan dalih “ala Hizbut Tahrir”?  Bukankah dengan penjelasan di atas terbukti secara menyakinkan bahwa Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir merupakan Khilafah yang diajarkan Nabi saw dan para sahabat, serta diakui ulama aswaja.

Sebaliknya, mempertahankan negara sekuler NKRI yang tidak tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah, dan yang menerapkan hukum buatan manusia, jelas-jelas merupakan perbuatan maksiyat yang harus diingkari dan sesegera mungkin dihentikan.

Demikianlah, opini yang menyatakan Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir adalah Khilafah versi Hizbut Tahrir yang tidak wajib diterima dan diikuti, telah terbukti jelas-jelas merupakan opini keliru, bahkan menyesatkan.  Pasalnya, Khilafah yang diusung dan diperjuangkan Khilafah, sejatinya adalah ajaran Nabi saw dan praktek kenegaraan para shahabat.   Opini dan propaganda tersebut secara tidak langsung menjerumuskan umat untuk membenci dan menolak ajaran Khilafah Nabi saw yang telah tetapkan ulama aswaja.   Pelakunya kelak akan mempertanggungjawabkan di sisi Allah swt.

Sungguh, kami telah menjelaskan kepada Panjenengan dengan penjelasan jernih dan mendalam.  Semoga dengan penjelasan ini, keraguan tertepis, dan yang tersisa hanyalah penjelasan yang gamblang, kuat, dan menenangkan jiwa.   Setelah itu, kebencian berubah menjadi kecintaan, kecurigaan berubah menjadi kesepemahaman, persekusi berubah menjadi dukungan murni, dan permusuhan berubah menjadi persahabatan karena Allah swt.

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعاً مَرْحُوْماً، وَ تَفَرُّقَناَ مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا  وَ لاَ تَجْـعَلْ فِيْنَا وَ لاَ ِمنَّا وَ لاَ مَعَناَ شَقِياً أَوْ مَحْرُوْماً .اَللَّهُمَّ اهْدِنَا وَاهْدِ بِنَا وَ اجْعَلْناَ سَبَبًا لِمَنِ اهْتَدَى

“Yaa Allah, jadikanlah pertemuan kami ini, pertemuan yang dirahmati, dan jadikan perpisahan kami setelah ini, perpisahan yang dilindungi dari dosa, dan janganlah Engkau jadikan kami, atau dari kami, atau orang yang bersama kami,  kesengsaraan dan kemiskinan.  Yaa Allah, berilah petunjuk kepada kami, dan berilah petunjuk hamba-hambaMu dengan perantara kami, dan jadikanlah kami menjadi sebab bagi orang-orang yang mendapatkan petunjukMu”. [Wallahu al-Haadiy al-Musta’aan wa Huwa Waliyyu al-Taufiiq]

 

[1]     Lihat hadits riwayat Imam Ahmad, dari jalan Ibnu Mas’ud, dalam kitab Nailul Authar, karangan Imam Syaukani.

[2] Lihat, Dr. Husain ‘Abdullah, Dirasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 63.

[3] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz  12/243-244

[4] Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36

[5] HR. Imam Ibnu Majah. Hadits No. 2310’ Imam Al Hakim  dalam al-Mustadrak, hadits no. 7003. Maktabah Syamilah. Lihat juga al-Istii’aab, Juz 1/338. Maktabah Syamilah.

[6] Imam Ibnu Hibban, al-Tsiqaat, Juz 5/5, Lihat juga dalam Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, Juz 5/22

[7] Usud al-Ghaabah, Juz 1/680

[8] Syaikh al-Kattaaniy, al-Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/259

[9] At Taraatiib al-Idaariyyah, Juz 1/398. Maktabah Syamilah. Al-Kattaniy mengutip penuturan Ibnu Hazm di dalam Kitab Jawaami` al-Sair, bahwasanya Zubeir bin al-‘Awwam diberi tugas mencatat zakat.  Jika beliau pergi atau berhalangan, digantikan oleh Jahm bin al-Shalat dan Hudzaifah bin al-Yamaniy.

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *