Mediaumat.id – Penistaan terhadap Rasulullah SAW dan simbol-simbol Islam lainnya yang makin massif terbaru terjadi di India, dinilai Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) sebagai cerminan dari disinformasi dan misinformasi yang telah didesain sebelumnya maupun terjadi secara natural.
“Ini sebenarnya cermin dari disinformasi dan misinformasi, yang sebagiannya itu terjadi secara natural tetapi sebagiannya (lagi) terjadi by design,” ujarnya dalam Fokus: Berulang Penghinaan kepada Nabi di India, Sampai Kapan? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (12/6/2022).
Lebih lanjut UIY menerangkan, disinformasi (informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menipu) dan misinformasi (informasi yang memang tidak benar atau tidak akurat, namun orang yang menyebarkannya berkeyakinan bahwa informasi tersebut sahih dan dapat dipercaya) memang bisa dimungkinkan.
“Mengingat sekarang ini tak ada lembaga otoritatif (negara) yang bisa melancarkan dakwah secara intensif ke seluruh penjuru dunia (untuk meluruskan informasi yang salah tentang Islam).
Jika pun ada, sambungnya, sekadar lembaga-lembaga yang tentu secara kemampuan jauh dibanding dengan ketika dakwah dilakukan oleh negara, dalam hal ini ketika kekhilafahan masih ada.
“Mereka yang tidak paham menjadi paham, kemudian yang salah paham bisa cepat diluruskan pemahamannya,” jelasnya tentang pentingnya dakwah dilakukan oleh negara.
Contoh sederhana, ia memisalkan kisah Siti Aisyah, istri Rasulullah SAW, yang kerap oleh para pembenci, distigma dengan sebutan-sebutan yang tidak pada tempatnya.
“Di antara yang paling sering dilekatkan itu adalah bahwa Nabi itu pedofilia karena menikahi anak-anak,” ucapnya yang juga prihatin terhadap pelecehan lain yang kerap ditujukan kepada Nabi SAW.
Padahal dalam konteks peristiwa yang sedang terjadi, seringkali justru ditutupi. Sehingga pandangan umat pun ikut buruk ketika hal itu dibaca dalam kerangka pemikiran dan konteks hari ini yang telah dibengkokkan dan sengaja disebarkan.
Objektivitas
Membandingkan lebih jauh, ia pun membeberkan figur-figur di luar Islam yang apabila dipersoalkan justru tampak objektivitas yang juga sangat jauh. Di antaranya Saint Agustine, sekitar tahun 350 M. “Kurang lebih sekitar 300 tahun sebelum Nabi, itu menikahi wanita berusia sepuluh tahun,” bebernya.
Lalu Raja Inggris Richard II, tahun 1400 M yang menikahi wanita berusia tujuh tahun. Begitu pula Raja Henry VIII, tahun 1500 M, 900 tahun setelah tahun kenabian, menikahi wanita berusia enam tahun.
“Ini kan menunjukkan bahwa objektivitas itu memang sudah sangat jauh. Dan itu hanya bisa dipahami di dalam kerangka islamofobia tadi itu,” tandasnya.
“Bahkan menurut ensiklopedia Katolik, Siti Maryam itu menikah pada usia dua belas tahun,” imbuhnya.
Belum lagi di negara bagian Amerika Serikat (AS), Delaware yang pada tahun 1880 memiliki ketentuan usia pernikahan minimal 7 tahun.
Hal serupa juga diberlakukan di Massachusetts yang sampai sekarang, kata UIY, usia minimal pernikahan di sana adalah 12 tahun. “Kemudian di New Hampshire itu tiga belas tahun. Di New York itu empat belas tahun,” ungkapnya lagi.
Meski belakangan, di tahun 2017 diketahui baru diubah menjadi minimal 17 tahun.
Dengan demikian, jelaslah semua disinformasi tentang Siti Aisyah dan Rasulullah SAW tadi tergolong upaya mendeskreditkan untuk menimbulkan antipati kepada beliau SAW.
Penantang Paling Potensial
Oleh karenanya, UIY mengatakan, Barat sangatlah tahu penantang masa depan paling potensial selepas era perang dingin berakhir adalah Islam. “Dari segi apa pun Islam itu harus diperhatikan sebagai penantang paling potensial bagi dunia Barat,” jelasnya.
Dari sisi demografi menurut Pew Research Center, kata UIY, jumlah umat Muslim menjadi terbesar di dunia yakni 1,7 miliar orang. Begitu juga dengan letak wilayah-wilayah negeri Muslim yang menurut Barat juga sangat strategis berikut kekayaan sumber dayanya.
Di sisi lain seperti diketahui, IMF baru-baru ini juga telah melaporkan adanya pergeseran kekayaan dunia dari wilayah Utara ke bagian tengah. “Kita menyebut Asia Barat, mereka menyebut Middle East,” timpalnya.
Sebab itulah, lanjut UIY, mereka tidak bisa melawan Islam kecuali dengan menggencarkan misinformasi dan disinformasi. “Kalau mau head to head, mereka (Barat) pasti kalah,” ujarnya.
Artinya, semakin dibuka peradaban Islam, yang muncul justru kegemilangan era Islam. Termasuk kelemahan teologi agama Nasrani yang berpangkal dari orisinalitas Bibel.
Sampai-sampai, seorang Karen Armstrong, penulis tentang agama-agama Yudaisme, Kristen, Islam dan Buddhisme, mengatakan di dalam bukunya, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths (London: Harper Collins Publishers, 1997), ‘Di bawah Islam, Yahudi menikmati masa keemasan di Andalusia.’
“Orang Yahudi saja menikmati abad keemasannya di bawah Islam, bagaimana umat Islamnya!?” sahut UIY.
Sehingga sekali lagi, melemahkan kekuatan politik Islam, serta memojokkan dengan pendiskreditan figur-figur utamanya melalui misinformasi dan disinformasi memang cara yang menurut mereka efektif untuk membendung kebangkitan Islam.
Paling Merepotkan
Terlepas itu, yang paling merepotkan bagi UIY justru serangan-serangan dari tubuh umat Islam sendiri.
Pasalnya, untuk memurtadkan seorang Muslim, sebenarnya tidaklah mudah bagi mereka, sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 217 yang artinya, ‘Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.’
Maka itu orang-orang kafir, dalam hal ini Barat, senantiasa berupaya agar paling tidak seorang Muslim memiliki pemikiran sama dengan mereka.
Sebutlah cara berpolitik yang sama-sama menggunakan demokrasi yang cenderung kepada kekuasaan memaksa (machiavelli).
“Di Mesir, siapa yang menghantam Ikhwanul Muslimin? Kan orang Islam di Mesir,” ungkapnya menyinggung perpolitikan di negeri-negeri Muslim.
Begitu juga yang terjadi di Aljazair berikut FIS-nya. “Di sini (Indonesia) yang sekarang ini lagi ngejar-ngejar orang-orang Islam, dianggap sebagai radikal radikul segala macam, orang-orang Islam juga,” sesalnya.
Tak hanya cara berpolitik, tambah UIY, terkait sistem ekonominya pun diarahkan ke kapitalis. Sedangkan budayanya cenderung westernis. “Dan itulah yang kini terjadi,” tukasnya.
Solusi Tuntas
Atas semua itu, UIY pun menyampaikan, solusi tuntasnya tak lain adalah menerapkan sistem Islam secara nyata.
Meski penghinaan terhadap Islam kemungkinan tetap ada, karena di zaman Nabi Muhammad masih hidup saja, penghinaan kerap ada, tetapi setidaknya kata UIY, tidak berulang seperti sekarang ini.
Sementara jika pun itu belum terwujud, ia mengemukakan dua alternatif yang bisa dilakukan umat. Pertama, meningkatkan pemahaman terhadap Islam hingga seorang Muslim menjadi penjaga Islam terpercaya.
“Dia mesti merasa bahwa ini adalah risalah Allah yang harus kita jaga, yang harus kita peluk, kita yakini, kita jaga,” urainya, seraya mengatakan bahwa hal demikian bukan hanya untuk urusan di dunia tetapi hingga negeri akhirat kelak.
Kedua, melakukan amar makruf nahi mungkar bersama kelompok dakwah. Sebabnya, itu sebagai sebuah proses menuju pencapaian cita-cita berupa tegaknya kembali kehidupan Islam secara kaffah.
Kendati tidak pernah sepi dari ATHGR (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan, rintangan), baik eksternal lebih-lebih dari internal, UIY berharap para pengemban dakwah tetap istiqamah dengan arah yang telah jelas sebagaimana yang diajarkan Nabi SAW.
Yakni senantiasa mendasarkan Islam untuk seluruh aktivitas politik sebagai alat untuk meraih tujuan Islam. “Menggerakkan atau menjalankan politik sesuai dengan ajaran Islam. Itulah islamisasi politik,” pungkasnya.[] Zainul Krian