Pengurus MUI yang Baru Tetap Kritis atau Hanya Jadi Stempel Pemerintah?
Mediaumat.news – Menanggapi terpilihnya Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang baru Dalam Munas ke sepuluh MUI, Pengamat Sosial Politik Iwan Januar mempertanyakan MUI apakah tetap kritis atau hanya jadi stempel pemerintah.
“Apakah hanya menjadi stempel pemerintah atau tidak waktu yang akan membuktikannya akan seperti apa pengurus MUI yang baru ini,” ujarnya dalam acara Kabar Malam, Sabtu (28/11/2020) di kanal YouTube Khilafah Channel.
Ia menyebut pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bahwa ‘MUI harus menjadi mitra pemerintah’ harus dilihat ke depannya seperti apa. Apakah selalu menyetujui kebijakan pemerintah atau tetap bersikap kritis yang dalam Islam disebut amal makruf nahi mungkar.
Iwan melihat ada isu-isu seputar politik terkait terpilihnya pengurus MUI pusat yang baru ini dengan tidak masuknya sejumlah nama yang terbilang kritis terhadap pemerintah misalnya KH Tengku Zulkarnain dan KH Din Syamsudin yang dulu adalah tokoh-tokoh MUI di pengurusan lama.
Karena menurutnya pemerintah cukup risih terhadap tokoh-tokoh tersebut yang pernyataan dan opini mereka cukup membuat merah kuping rezim. “Apalagi kita jangan lupa meskipun MUI ini lembaga yang bukan lembaga pemerintah secara fungsional dan struktural tetapi ada dana dari pemerintah yang dialokasikan untuk kepengurusan MUI,” katanya.
Iwan berpendapat sikap kritis kepada pemerintah oleh pengurus MUI lama sebenarnya hal yang lumrah di dalam Islam yaitu melakukan amal makruf nahi mungkar, bahkan ini suatu kewajiban sebagai ulama dan sebagai seorang Muslim. “Kalau kemudian orang-orang yang dipercaya, diamanahi menjadi corong aspirasi umat diam maka kemungkaran pasti akan merajalela.” bebernya.
Sebagai penutup Iwan berpesan bahwa kewajiban amal makruf nahi mungkar bukan hanya kewajiban pengurus MUI tapi kewajiban setiap Muslim. “Apabila lembaga ini telah tertutup saluran aspirasinya maka umat harus lebih aktif dan giat lagi untuk melakukan amal makruf nahi mungkar tanpa bergantung lembaga mana pun,” pungkasnya.[]Agung Sumartono